Lampion dan Diamnya Muara

15 6 15
                                    

Muara yang tengah meminum susu coklat menghentikan geraknya, ponsel yang tergeletak di atas pantry bergetar, tanda panggilan telepon menyambangi.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Ayah. Ayah kapan kemari?”

“Nanti. Urusan Ayah di sini belum selesai, kau tunggu saja, pasti Ayah akan menyusul secepatnya. O iya, bagaimana kabar Ibu dan kakakmu?”

“Alhamdulillah. Mereka baik, Yah. Ayah sendiri? Pasti Ayah kesepian di rumah karena tidak ada kami.”

Terdengar, Imran tertawa sebentar. “Tentu. Tentu saja Ayah kesepian. Bagaimana, kau senang di desa? Ayah harap kau betah di sana.”

“Ayah tahu, aku sangat-sangat mencintai tempat ini. Ayah benar, tempat ini begitu indah, bukan hanya pemandangannya saja, tapi juga orangnya.” Terutama, Ankara, Yah. Bisiknya dalam hati.

“Orangnya?” tanya Imran curiga.

“Maksudku, orang-orang di sini sangat ramah.”

“Ya. Kau benar. Maaf, Ayah masih ada pekerjaan. Baik-baik di sana. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Setelah menerima telepon dari Ayahnya, Muara beranjak tidur, akan tetapi, pandangannya jatuh pada puluhan lampion yang menghiasi langit malam di desa. Muara berlari ke loteng rumah, dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengambil potret langka tersebut.

Di saat Muara asyik memotret, sebuah notifikasi Instagram Ankara muncul di layar atas ponselnya. Dia yang penasaran dengan postingan baru Ankara segera membuka Instagram. Terlihat di postingannya, Ankara yang mengenakan masker tengah berfoto dengan gadis yang juga bermasker hitam. Dari matanya saja, Muara bisa tahu siapa gadis itu. Yap! Sonya.

Postingan baru Ankara itu pun turut banjir komentar, hampir semua berkomentar menanyakan siapa gadis di sebelahnya. Apakah teman, pacar, atau siapa?

Muara meletakkan ponsel dengan malas. Dia tak berselera lagi memikirkan Ankara yang mungkin tak memikirkannya. Bukankah itu sebuah kesia-siaan belaka?

Pelan-pelan, Muara mencoba memejamkan mata, berharap wajah Ankara hilang dari edaran pikiran dan hatinya. Bahkan, dia sampai menampar kedua pipinya berkali-kali.

“Ayolah! Pergi dari pikiranku! Aku malas memikirkanmu! Pergi, Anka! Pergi!” jeritnya.

Muara beranjak dari loteng, dia yang masih kesal dengan postingan Ankara itu memilih duduk di ayunan taman depan rumah.

Gerbang rumah terbuka, seorang laki-laki yang mengayuh sepeda berhenti tepat di depan ayunan.

“Assalamualaikum.”

Tidak ada sahutan. Laki-laki itu melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Muara.

“Ra. Assalamualaikum.” Laki-laki itu kebingungan karena Muara tak juga menyahut. Alhasil, dia pun bertepuk tangan dan membuat Muara gelagapan.

“S-Syam?”

“Assalamualaikum, Ra.”

“Waalaikumsalam. Kau sudah lama di situ?”

Syam tertawa bukan main, dia kemudian turun dan duduk berjarak dengan Muara. “Kau ini kenapa? Sejak tadi melamun, ada yang mengganggu pikiranmu?”

“Tidak ada.”

“Jangan berbohong, Ra.”

Muara tersenyum saja. “Em, kenapa malam-malam begini kau kemari?”

“Aku ingin mengajakmu ke festival lampion di lapangan desa. Tadinya aku mau mengajak Ankara dan Sonya, tapi ternyata, mereka sudah berangkat duluan.”

Ankara Muara [NOVELET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang