Hari kelulusan tiba setelah ujian panjang yang terlewati dengan kesulitan melanda dari berbagai mata pelajaran. Seluruh murid kelas 12 bersuka cita menyambut hari kelulusan tersebut dengan saling bertukar kado.
Dari rumah, Ankara sudah menyiapkan sebuah kado berisi bros berbentuk mawar merah. Tak lupa, dia menyelipkan surat tentang isi hatinya selama ini, namun dia lupa menambahkan namanya, pun kadonya sudah terbungkus rapi.
Tak jauh berbeda dari Ankara, Muara juga telah menyiapkan kado untuk Ankara sebelum dia kembali ke kota nantinya.
Bertempat di depan kelas. Muara memberikan kado itu, namun Ankara mendahului.
"Kau tidak sedang menyukai Muara, kan?"
"Kau sendiri?"
"Sepertinya aku menyukai Muara. Tidak, tidak hanya menyukainya, tapi sangat menyukainya. Apa aku dan Muara cocok?"
"Aku akan sangat mendukung kalian. Kulihat, Muara juga menyukaimu."
"Kau juga merasa begitu? Aku juga. Tapi, benar, kau tak menyukai Muara? Aku tak ingin, hanya karena menyukai satu gadis yang sama persahabatan kita hancur."
"Itu tidak akan terjadi. Aku tak menyukai Muara."
Mendadak, Ankara teringat percakapannya dengan Syam di sungai waktu itu. Lekas, dia mengurungkan niatnya untuk berterus terang akan perasaannya.
Dengan isyarat tangan, Ankara berujar, "Ini dari, Syam. Katanya, dia menyukaimu."
Gadis itu sontak tertegun. "S-Syam?"
Ankara tersenyum lebar. "Dia tidak berani menyatakan cintanya padamu, jadi, dia memintaku untuk membantunya."
Muara menerima hadiah dari Ankara. Lalu, dia menyerahkan hadiah di tangannya pada Ankara.
"Em, ini dari Sonya. Sama, katanya dia juga menyukaimu." Setelah hadiahnya telah sampai di tangan Ankara, Muara buru-buru meninggalkan laki-laki itu dengan suasana hati yang buruk. Dia mengira Ankara akan mengatakan bahwa dia mencintainya bukan malah Syam. Padahal, Muara telah menyiapkan hadiah terbaik untuk Ankara atas namanya.
Maafkan aku, Muara. Mungkin ini belum saatnya kau tahu.
Ankara membuka hadiah pemberian Muara sambil duduk di kursi panjang depan kelas.
Apa benar ini dari Sonya? Tanyanya dalam hati.
☆☆☆
Di rumahnya, Anita terkejut mendapat tamu yang tak diundang. Perasaannya tak karuan ketika berhadapan dengan Imran Dharmawan.
"I-Imran?"
"Assalamualaikum, Kak. Bagaimana kabarmu, sudah lama aku kita tidak berjumpa."
Anita yang baru saja kembali dari peternakan itu mempersilakan Imran untuk duduk di kursi di teras rumah.
"Akan kuambilkan minum."
"Tidak usah, Kak. Aku tidak akan lama." Imran melihat sekitar, mencari seseorang. "Di mana Ankara?"
"Anak itu ... anak itu belum pulang."
Imran manggut-manggut saja sembari berpikir tentang keadaan rumah Anita yang tak berubah sejak kepergiannya ke kota. Dalam hati Imran bertanya, kemanakah uang-uang yang selama ini dia transferkan kepada Anita sehingga kehidupannya sama saja. Jika benar uang itu sudah dipergunakan dengan baik, pasti Anita akan memberikan fasilitas terbaik untuk keponakannya itu, terutama rumah, kendaraan, dan baju-baju yang layak. Imran kerap memperhatikan Ankara yang terkadang memakai baju lusuh, bahkan beberapa sisi ada yang robek. Imran heran saja, namun dia tak akan langsung menyimpulkan yang tidak-tidak sebelum menemukan bukti.
Ankara pulang menuntun sepeda dengan ban depan yang kempes. Mendapati Imran bertamu di rumahnya, Ankara cepat-cepat menaruh sepedanya dan menyalami Imran.
"Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga."
Ankara tersenyum dan duduk setelah Imran memintanya.
"Ya, beginilah keadaan Ankara setelah kecelakaan itu, Imran. Dia masih kesulitan dalam berbicara, untungnya dia belajar bahasa isyarat," tukas Anita mencoba mengamankan posisi.
"Beginilah bagaimana maksudmu, Kak? Seharusnya keadaan Ankara setelah kecelakaan itu tidak seperti ini, Ankara memang kehilangan segalanya, kedua orang tua, suara, dan bisa-bisanya hak dia sebagai yatim piatu kau renggut begitu saja."
Kedua netra Anita membuka lebar mendengar pernyataan Imran.
"Maaf, Kak Anita. Bukannya aku ingin menuduhmu. Tapi, cobalah lihat, Ankara. Kau kemanakan uang yang aku transfer untuk kehidupan Ankara?" Ungkap Imran menepuk punggung Ankara. "Seharusnya, kau memberikan kehidupan yang lebih dari ini. Dulu, sebelum aku pergi kau berjanji akan merawat Ankara dengan baik, tapi kenyataannya apa, Kak? Bahkan, dari penampilan Ankara yang selalu lusuh aku sampai tak percaya bahwa dia putra Adnan Baswara, sahabatku."
Setelah kedoknya terbongkar. Anita memohon ampun pada Imran seraya bersimpuh di lantai.
"Imran, maafkan aku, Imran. Aku tidak bermaksud membuat hidup putra sahabatmu menderita. Ya, aku akan berterus terang, aku memang tidak memberikan uang itu langsung kepada Ankara dan malah menggunakan uang itu untuk keperluanku sendiri. Tapi, Imran ...."
Imran meminta dengan tangannya agar Anita tak melanjutkan bicara.
"Kau sungguh keterlaluan, kak. Aku sangat kecewa padamu. Mengapa kau tega mengambil hak Ankara sebagai anak yatim piatu, lagi pula, untuk apa kau harus menyembunyikan uang itu? Ankara ini keponakanmu, kak."
Jadi, Bibi Anita selama ini ... dia mendapatkan uang-uang itu dari Paman Imran? Ujar Ankara membatin.
Ankara menarik tangan Imran dan menuliskan pesan di note ponselnya. Imran membaca pesan itu.
"Paman. Maafkan kesalahan bibiku. Dia tak sepenuhnya salah. Lagi pula, aku sudah ikhlas jika uang itu digunakan olehnya. Bahkan, uang itu tidak ada artinya dengan waktu, tenaga, keringat yang telah Bibi Anita berikan untuk merawatku sejak kecil."
Imran tersenyum, dia mengelus pucuk kepala Ankara. Imran mengambil keputusan. "Ikutlah denganku ke kota, Ankara. Aku akan memberikan kehidupan yang lebih baik dari ini."
Ankara menuliskan jawaban. "Biarkan aku tetap tinggal bersama bibiku, Paman. Aku tidak akan bisa meninggalkan bibiku sendirian."
Tangan Imran meminta Anita untuk kembali ke tempat duduknya.
"Beruntung kau mendapatkan keponakan seperti Ankara. Aku akan tetap memberikan uang pada Ankara, aku akan membuatkannya rekening sendiri."
"Imran ...."
"Kak, jangan kecewakan aku lagi. Semua fasilitas Ankara, biar aku yang mengurusi sampai dia lulus kuliah nanti." Imran beralih menatap Ankara. "Jika nanti kau ingin kuliah di kota, bilang saja padaku." Kemudian, dia meminta ponsel Ankara, menuliskan nomornya di kontak.
"Kau bisa menghubungiku kapan pun, Nak."
Kedua mata Ankara berkaca-kaca. Ini kali pertama dia merasakan rasanya di sayangi oleh seorang ayah. Ankara pun melayangkan pelukan ke Imran.
"Nanti malam, Paman akan kembali ke kota, kau tak ingin ikut serta?"
Ankara menggeleng. Imran melepas peluk.
"Baiklah. Jika kau siap, kau telepon saja. Nanti akan kusuruh anak buahku untuk mengantarmu."
"Terima kasih, Paman."
Imran membalas dengan bahasa isyarat, itu berkat Muara yang mengajari.
☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Muara [NOVELET]
Ficção Adolescente[END] Teenfiction-Religi ○○○ Ankara jatuh hati pada sosok Muara Kalani, gadis dengan senyuman memikat. Namun, Ankara sadar, dia hanyalah seorang pemuda yang penuh kekurangan, ditambah dia tuna wicara. Ajaibnya, Muara Kalani justru menjadi penggemar...