Ankara sempat ragu apakah dia harus mengucapkan selamat tinggal pada Muara atau tidak. Pun, sebenarnya dia bisa mengatakan kebenaran akan isi hatinya. Karena, dia tak tahu setelah ini dia bisa bertemu dengan Muara lagi atau tidak akan pernah sama sekali. Memburu waktu yang ada, Ankara berjibaku melewati jalanan dengan berlari pontang-panting menembus dinginnya angin malam.
Merasa napasnya sudah berat, Ankara beristirahat sejenak sambil mengatur irama napasnya. Kembali dia berlari, akan tetapi pagar rumah besar itu sudah terkunci rapat. Ankara mengintai dari luar pagar, mobil-mobil yang biasanya terparkir di rumah itu sudah tak nampak.
Ankara menendang pagar besi itu kesal. Ternyata dia sudah terlambat. Dia hendak berbalik arah, namun, netranya tak sengaja menangkap seorang gadis yang berdiri di balkon kamar. Tak salah lagi, gadis itu tak lain Muara.
Dia tak ikut ke kota?
Ankara memanggil dengan lambaian tangan tinggi-tinggi, berharap gadis itu mengetahui kehadirannya di gerbang rumah.
Benar saja, Muara menyadari Ankara di depan gerbang rumah. Dia pun mengetik pesan untuk laki-laki itu.
Muara:
Untuk apa malam-malam kau kemari?
Ankara membaca sebentar dan membalas pesan itu, sesekali dia melayangkan manik matanya ke arah Muara yang belum beranjak.
Ankara:
Aku kira kau ikut pergi bersama orang tuamu.
Pesan balasan datang.
Muara:
Tidak. Lagipula, orang tuaku pergi ke kota hanya sebentar untuk menyelesaikan masalah kakakku. Mungkin, lusa akan kembali.
Ankara tersenyum lebar, akhirnya dia ada waktu untuk mengatakan semuanya pada Muara. Dia mulai mengetik pesan.
Ankara:
Muara. Sejujurnya, hadiah itu bukan dari Syam. Itu dariku. Aku menyukaimu, Muara.
Pesan itu terkirim. Hanya saja, takdir tak memberi waktu pada gadis itu untuk membacanya. Tiba-tiba dari arah belakang orang yang sama mengarahkan pisau ke punggungnya, lalu mendorong gadis itu ke bawah.
"Imran Dharmawan harus merasakan bagaimana rasanya kehilangan putri kesayangannya," ujar orang itu setelah melakukan tindakan biadab tersebut.
Mendengar jeritan disusul suara benda jatuh. Ankara terhenyak di tempat menyaksikan tubuh gadis yang dicintainya melayang ke bawah. Dia hanya bisa berteriak tanpa suara, memanggil nama Muara yang sudah tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari kepala.
Tanpa sepatah kata apapun, Ankara memanjat gerbang rumah yang terkunci rapat. Dia berlari menghampiri tubuh Muara. Tangis dalam diam, hanya itu yang bisa dia lakukan. Berkali-kali dia menepuk pipi Muara agar gadis itu bangun, tapi gadis itu tak jua membuka mata.
Amran, dan para asisten rumah yang mendengar suara gaduh itu turut keluar. Mereka terkejut bukan main melihat putri majikan mereka sudah terkapar tak berdaya di pelukan Ankara.
Hanya tangis yang mengisi keheningan malam itu.
Tak lama, rombongan mobil Imran datang menerobos gerbang rumah. Ketika mobil itu berhenti, keluarlah Imran, Heni dan Fathur yang langsung berlari mendekati tubuh Muara. Mereka menangis, apalagi Heni sampai tak kuasa dan hampir pingsan.
Imran menyuruh anak buahnya untuk memanggil ambulan. Dia membopong tubuh putri kesayangannya untuk dibawa ke dalam, dia tak mau putrinya kedinginan.
"Bangun, Sayang. Ayah di sini, Ayah kembali. Bangun, Muara!" pekik Imran membawa putrinya yang sudah berlumuran darah.
Ketika rombongan Imran keluar gerbang desa, Imran mendapat telepon dari orang yang tak dikenal. Orang itu berkata bahwa dia harus merasakan bagaimana rasanya kehilangan putri yang dicintainya seperti yang dia rasakan. Awalnya, Imran mengira itu hanya ancaman belaka, namun, perasaannya yang terus saja kepikiran Muara akhirnya meminta rombongan untuk berbalik ke rumah. Heni sempat bertanya kenapa, namun Imran tak menjawab.
"Nak, bangun, Sayang. Jangan tinggalkan, Ibu. Muara, bangun, Nak." Heni terisak-isak memeluk tubuh putrinya yang tertidur di sofa.
Fathur yang selalu menahan air mata dalam kesempatan apapun turut menangis. Dia tak mengira adiknya yang memohon untuk tetap tinggal ternyata adalah sebuah permohonan selamat tinggal.
Kurang dari setengah jam kemudian, ambulan datang. Sirine yang berkoar-koar malam itu menghantarkan kedukaan di seluruh penjuru desa.
Ankara tak ikut masuk ke ambulan bersama keluarga Imran. Dia masih syok atas apa yang telah dia lihat dengan mata kepalanya. Ankara melepas ambulan itu membawa Muara ke rumah sakit.
Muara, dulu, kau menentang kematian Meera karena Satria sangat mencintainya. Sekarang, giliranku menolak takdir yang Tuhan berikan padamu. Salah, salah rasanya aku mengatakan bahwa kau harus ikhlas menerima kepergian Meera, sedangkan kini aku sangat berat jika harus kehilanganmu. Aku tak ingin Tuhan mengambilmu dariku, orang yang mencintaimu, orang yang akan setia menunggumu sampai kau bangun dan kembali tersenyum, membuatku tersipu malu karena pujianmu.
Muara ... kau harus bertahan. Maaf aku tak sempat menolongmu. Maafkan aku, Muara.
"Sudahlah, Nak. Bersihkan tubuhmu dari darah, aku akan mengambilkan baju ganti untukmu," tukas Amran menenangkan Ankara yang terduduk lemas di lantai.
"Astagfirullah, apa yang sebenarnya terjadi pada Non Muara?" tanya Aminah dengan tangis tersengal-sengal.
"Aku juga tidak tahu,Iyem. Kita doakan saja, semoga Non Muara baik-baik saja."
"Amiin. Aku harap begitu Iyem."
Ankara bangkit dari duduknya dengan tertunduk lesu.
"Nak, kau mau kemana? Amran baru mengambilkanmu baju ganti," ujar Iyem mengikuti Ankara yang pergi begitu saja.
Ankara tak menjawab. Dia berjalan pelan ke tempat Muara jatuh, di lumuran darah yang belum kering itu, dia mengamati bros berbentuk mawar merah pemberiannya yang lepas dari jilbab Muara. Di sana juga ada ponsel Muara yang jatuh tak jauh dari tempatnya tergeletak di tanah.
Bagaimana jika kau tak datang lagi ke kehidupanku, Muara? Apa yang harus aku lakukan? Aku akan merasa kembali kosong dan menanyakan dimana cintaku. Muara, apa yang sebenarnya terjadi padamu, siapa orang yang tega mendorongmu? Siapa orang itu? Aku tak akan pernah memaafkannya seumur hidupku jika kau tak selamat.
Ankara tersenyum kecut. Tidak. Muara akan selamat, itu pasti. Muara tak akan meninggalkanku.
Ikhlas tak sepenuhnya ringan untuk merelakan segala sesuatu yang terjadi, entah itu atas kemauan ataupun di luar jalan pikir manusia. Manusia hanya bisa berencana akan apa yang akan terjadi kedepannya, tapi lihatlah bagaimana Allah menyusun kejutan-kejutan yang tak pernah kita sangka sebelumnya.
Ketika musibah datang, menerobos barisan kebahagiaan. Sertakan sabar dan salat untuk menaruh rasa ikhlas. Seperti yang tertulis dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 153 yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan [kepada Allah] dengan sabar dan salat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar."
Tidak ada tempat terbaik untuk kita menaruh keluh kesah yang menurut kita teramat berat untuk dipikul kecuali pada-Nya, tempat mengharap pertolongan, satu-satunya pemilik nyawa setiap manusia.
Tiba di rumah sakit, Imran beranjak dari ruang tunggu UGD. Dia membasuh dirinya dengan air wudhu, menganti pakaian dengan baju koko dan sarung yang tersedia di mushola rumah sakit.
Imran bermunajat, meminta Sang Khaliq memberinya ketabahan atas musibah yang terjadi pada Muara. Harapan besar Muara selamat tak luput dari doanya, doa seorang yang tulus mencintai putri kecilnya. Putri yang dulu ketika lahir dia sambut dengan senyuman suka cita dan azan yang merdu di telinganya. Lalu, menginjak Muara berdiri dan berlari, dia sigap menemaninya, menjaganya agar tak jatuh. Muara beranjak bocah, dia mulai menanyakan hal-hal yang dia lihat. Dia akan tanggap menjawab. Momen-momen Muara senang bermain layang-layang di loteng rumah, itu tidak akan dia lupakan.
"Engkaulah pemilik segala sesuatu ya Tuhanku. Aku pasrahkan ketetapan yang Engkau berikan pada hambamu ini. Aamiin."
☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Muara [NOVELET]
Teen Fiction[END] Teenfiction-Religi ○○○ Ankara jatuh hati pada sosok Muara Kalani, gadis dengan senyuman memikat. Namun, Ankara sadar, dia hanyalah seorang pemuda yang penuh kekurangan, ditambah dia tuna wicara. Ajaibnya, Muara Kalani justru menjadi penggemar...