Seperti Kisah

14 4 0
                                    

Seperti kisah yang pernah ada, bagaimana tidak ada rasa cemburu kala orang yang kita suka akrab dengan orang lain? Muara mundur beberapa langkah masih dengan segelas es teh di tangannya. Dia memilih menepi dari Ankara dan Sonya yang makan siang berdua di kantin.

Meskipun Ankara hanya diam saja dan Sonya mendominasi suasana, setidaknya Ankara merasa kehadiran Sonya mengusir sejenak rasa cemburunya pada Muara dan Syam.

Melihat Muara yang duduk sendirian, Syam yang baru saja memesan makanan menyambanginya.

"Kau sedang lihat apa?" tanya Syam ikut melihat Ankara dan Sonya yang ada di meja seberang.

"Kau cemburu?" imbuh Syam.

"Untuk apa aku cemburu, Syam?"

"Ya ... mungkin saja."

"Tidak mungkin."

"Kita tak mau gabung saja dengan mereka?" tanya Syamsul kemudian.

"Tak usah. Mereka saja seperti tak butuh kehadiran kita, lebih baik kau di sini bersamaku saja," ucap Muara dengan nada malas.

"Oke. Aku temani."

Ankara melirik bangku sebelah, dia terkejut melihat Muara sudah bersama Syam. Syam yang melihat itu melambaikan tangan saja, mempersilakan Ankara bersama Sonya. Ankara mengangguk-angguk, tentu saja dia tak ingin menganggu kebersamaan Muara dan Syam.

Mengapa tali kisah ini tak bermuara? Muara, kau kenapa, kenapa kau kembali diam padaku? Aku kira kau akan kemari bersama Sonya, tapi ternyata ...

☆☆☆

Pulang sekolah, Syam mengajak Muara untuk mengunjungi sebentar Ayahnya yang ada di sawah. Rencananya, Syam ingin meminta izin pulang terlambat karena harus ke rumah Muara dulu.

Muara menunggu Syam di sebuah gubuk yang berada di tengah hamparan sawah. Muara duduk-duduk santai sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung karena gubuk itu cukup tinggi dari tanah. Mata Muara begitu dimanjakan lautan padi yang mulai menguning. Dengan kamera ponselnya, Muara mengambil beberapa potret sawah. Saat kamera ponselnya menangkap sosok Syam, Muara iseng mengambil gambar Syam.

"Ini beneran Syam? Kenapa di foto dengan aslinya berbeda?" ujarnya diiringi tawa kecil. "Tampan aslinya."

Syam datang dan membuat Muara cepat-cepat menyembunyikan ponselnya.

"Maaf menunggu lama. Kau sedang apa?"

"Tidak. Aku duduk-duduk saja tadi. Kau sudah minta izin?"

"Iya. Ayo kita berangkat!"

Syam membiarkan Muara di depan sambil menenteng sepatunya. Muara yang berlari kecil di jalan setapak itu pun membuat Syam terheran-heran. Setibanya di tempat sepeda mereka terparkir, dia bertanya.

"Aku heran." Ucapan itu memancing Muara menoleh ke arahnya. "Aku heran saja. Kau bukanlah anak dari orang biasa, Ayahmu orang yang paling dihormati di desa ini, begitu pula kakekmu dulu. Kata Ayahku, keluarga kalian banyak membantu desa ini bangkit dari keterpurukan. Hebatnya lagi, Ayahmu bisa menjadi seorang militer dan dikenal banyak orang."

"Militer? Kau setahu itu tentang keluargaku? Kau tahu, bahkan aku sendiri tak begitu tahu tentang silsilah keluargaku. Ayahku kerja apa saja aku tak tahu."

Syam terkejut. "Kau tak tahu apa pekerjaan Ayahmu?"

Muara mengangguk mantap. Keduanya kini memilih untuk mendorong sepeda mereka agar bisa bercengkerama.

"Astaga. Ayahmu itu orang penting, beliau bekerja di sebuah badan intelejen negara, kudengar dari Ayahku, Ayahmu itu pemimpin tertinggi di sana."

"Ha? Benarkah? Aku baru tahu. Ayah hanya bilang, dia bagian dari militer, itu saja."

Syam geleng-geleng kepala. "Aku yakin, kau dan keluargamu dikirim kemari karena ada sesuatu yang tengah Ayahmu sembunyikan, mungkin saja itu untuk menghindarkan kalian dari ancaman musuh. Desa ini, kan, cukup jauh dari kota."

"Benar juga. Ayahku itu selalu memprioritaskan keluarganya dalam keadaan apapun. Karena itulah, aku sangat menyayanginya melebihi siapapun. Apapun akan aku lakukan demi kebahagian Ayah. "

Kepada Ayahnya saja, Muara sangat menyayanginya, apalagi kepada orang yang kelak dia cintai?

"Terima kasih telah memberitahuku tentang Ayahku. Ternyata, Ayahku seorang yang hebat."

"Bukan hanya Ayahmu saja, kau juga hebat Muara."

Kening Muara berkerut. "Hebat dalam hal apa? Aku merasa tak bisa apa-apa, Syam."

"Kau bercanda? Buktinya kau bisa membuat semua orang nyaman di dekatmu."

"Apa itu sebuah hal yang patut mendapatkan pujian? Tak hanya aku, kau, Ankara, dan Sonya juga, kalian cepat sekali membuatku nyaman dan betah di desa ini."

Muara, kau berniat menyanjungku apa tidak? Mengapa kau ikut menyeret nama orang lain?

Syam tersenyum simpul saja.

☆☆☆

"Ankara!" panggil wanita paruh baya menghampiri Ankara yang sibuk memerah sapi di kandang. Saking memikirkan Muara, dia sampai membiarkan susu perahannya tumpah ruah di ember.

Wanita paruh baya yang tak lain bibinya itu menepuk pundak Ankara.

"Bibi?"

"Aku memanggil-manggilmu sejak tadi. Kenapa kau menghambur-hamburkan susu itu, Anka? Astaga, kau tahu, Bibi bersusah payah mencari rumput untuk sapi ini, dan kau seenaknya saja membuang-buang susu sapi. Minggirlah! Biar bibi yang memerah susu, kau pergilah ke dapur dan masaklah makanan enak."

Ankara mengangguk. Setelah mencuci tangan, dia menuruti permintaan bibinya untuk memasak. Ketika melewati ruang tengah, netranya menangkap bingkai foto kedua orang tua dan dirinya. Ankara mengambil bingkai foto itu dari atas meja.

"Allahumaghfirlii wali walidayya, warhamhumaa kamaa Rabbayaani shagiira." Ankara memanjatkan doa untuk kedua orang tuanya yang telah pergi ke keabadian karena musibah kecelakaan. Ketika kecelakaan itu terjadi, Ankara masih berusia 12 tahun. Dirinya dan kedua orang tua melakukan perjalanan dari kota ke desa untuk menghadiri undangan Imran. Dulu, Ayah Ankara dan Imran adalah sahabat dekat, keduanya banyak menghabiskan waktu sekolah bersama, selayaknya dirinya dan Syamsul. Bahkan, keduanya mengejar cita-cita di angkatan militer berdua.

Namun, karena Imran pindah tugas. Mereka harus berpisah. Rencananya mereka akan berjumpa di pesta tersebut. Naas, kecelakaan itu terjadi. Mobil yang mereka tumpangi terpental beberapa meter ke jurang setelah menghantam truk yang kehilangan kendali. Dalam insiden tersebut, leher Ankara patah di empat bagian dan mengakibatkan suaranya hilang. Ankara juga sempat koma beberapa hari. Untuk biaya pengobatan Ankara, Imran yang menanggung semuanya, bahkan biaya pendidikannya. Hanya saja, setiap kali uang itu ditransfer, Bibi Anita tak pernah memberikan uang itu pada Ankara. Dia memilih membelanjakan uang dari Imran untuk keperluannya sendiri, mulai dari membeli berpetak-petak sawah, hewan ternak, dan perhiasan. Kadang, Ankara sendiri heran bagaimana bibinya itu bisa punya uang banyak. Beruntung, Imran dan keluarganya pindah ke kota. Jadi bibinya tak harus pura-pura memberikan uang itu pada Ankara.

Tak ingin bibinya terbebani, sejak Ankara pulih, selain bersekolah seperti biasanya, sepulang sekolah, dia membantu-bantu tetangga memanen padi dan mendapat upah.

Meskipun Anita gila harta, sesekali muncul rasa iba pada Ankara. Apalagi, dia tak memiliki keturunan dan ditinggalkan suaminya. Terkadang, diam-diam dia menyelipkan uang di tas Ankara. Bahkan, membelikan laptop dan ponsel ke Ankara dengan catatan harus menggunakan dua benda itu untuk hal yang bermanfaat. Dari situlah, karier menulis Ankara dimulai.

Ankara membersihkan debu yang menyelimuti bingkai foto keluarganya.

"Aku sangat merindukan kalian. Kapan kita akan bertemu kembali?"

Dia meletakkan bingkai foto itu ke tempat semula. Tak mau membuat bibinya marah, dia bergegas ke dapur menyiapkan makanan.

☆☆☆

Ankara Muara [NOVELET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang