Disinari bulan purnama yang menyusup dari jendela kamarnya. Jari jemari Ankara sibuk menghantam keyboard laptopnya.
Aku menemukannya.
Merasa tak pas untuk kata pertama, Ankara langsung menghapus dua kata tersebut. Ankara mencari kata pertama di dalam mesin otaknya.
Ankara menulis asal sembari membayangkan sosok Muara dalam pikirannya.
Kudapati dia pada satu waktu. Suatu waktu yang menampilkan rasa rindu ingin bertemu. Sempat membuatku bertanya, siapakah namanya? Apakah dia cinta? Aku ingin berkenalan dengannya. Namun, dia malah memberiku permintaan untuk menandatangani bukunya.
Andai dia tahu, sejak dia melabuhkan senyuman memikat itu, untuk kali pertama, jantungku tak berdetak untuk kesekian kali, di belakang seakan ada nyanyian yang mengalir, angin bersemilir menambah aura tak tampanku muncul, dan mendadak aku menciut mengetahui siapa dirinya. Aku enggan berkenalan, aku takut dia menjauh karena kurangku yang begitu banyak.
Aku mencoba menghindar, tetapi, dia kerap hadir tanpa kabar. Tiba-tiba kami berteman tanpa obrolan singkat. Keajaiban apa yang telah tertulis dalam kisah ini? Kita lihat saja nanti.
Sebelum memosting tulisannya itu, Ankara membaca lagi tulisan yang barusan diketik.
"Jika aku mempublikasikan tulisan ini, pasti Muara akan tahu. Tidak, lebih baik kusimpan saja. Aku tak mau Muara curiga." Ankara menyimpan file yang sengaja di beri nama Menuju Muara itu, lalu berdiam sejenak di kursi belajarnya.
"Keterbatasan apa? Hanya karena kau tak bersuara? Ankara, dengar, kau bisa menyuarakan suaramu dengan tulisan, tulisan yang mampu membuat semua orang mencarimu, bukan untuk mendengar suaramu, tapi karena tulisanmu. Tetaplah menulis untuk kebaikan, justru aku kagum padamu, dengan keterbatasan yang ada, kau mampu melewati batas keterbatasanmu. Kau hebat, Ankara."
Mendadak, Ankara teringat ucapan Muara hari itu. Dia tersenyum tipis mengingat wajah Muara. Saking salah tingkah, Ankara berlari ke tempat tidur dan menutupi wajahnya dengan bantal, berharap wajah Muara menepi dari pikirannya.
☆☆☆
Muara terdiam usai mendengar percakapan kakaknya dengan Ritika. Tak ingin membuat kakaknya bersedih, Muara menghampiri Fathur.
"Kak."
Fathur yang kelihatan frustasi memikirkan Ritika memandang datar adiknya.
"Muara, sejak kapan kau di sini?"
"Maaf aku masuk tidak mengetuk pintu dulu, aku ingin memanggilmu untuk makan malam. Tapi ..."
"Tidak apa."
"Kakak baik-baik saja?"
Fathur mencoba mengangguk, dia tak ingin adiknya turut bersedih atas masalah yang menimpa dirinya.
"Ya. Aku baik-baik saja."
"Kak Ritika?"
Sontak, nama yang Muara sebut kembali membuat Fathur tertegun.
"Entahlah," ujar Fathur memandang lepas keluar jendela. "Semoga saja dia baik-baik saja. Ayo kita turun, Ibu pasti sudah menunggu kita." Fathur menggandeng adiknya untuk menuju ruang makan.
Aku tahu, ada yang tidak beres dari Kak Fathur dan Kak Ritika. Pasti ada sesuatu, tapi apa?
☆☆☆
Muara menutup halaman terakhir novel "Ranah Cinta Almeera" dengan tangis. Dia merasa akhir kisah itu tak adil bagi Meera yang harus meninggalkan Satria, laki-laki yang dicintainya hanya karena kesalahpahaman, apalagi Meera dibuat meninggal karena kecelakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Muara [NOVELET]
Ficção Adolescente[END] Teenfiction-Religi ○○○ Ankara jatuh hati pada sosok Muara Kalani, gadis dengan senyuman memikat. Namun, Ankara sadar, dia hanyalah seorang pemuda yang penuh kekurangan, ditambah dia tuna wicara. Ajaibnya, Muara Kalani justru menjadi penggemar...