Dari perkenalan singkat tersebut, ditambah, Ankara dan Muara disatukan dalam satu kelas, membuat keduanya memendam rasa melebihi rasa kagum satu sama lain. Kekaguman yang tak bersuara dan hanya tersimpan rapat begitu saja.
Karena Muara orang baru dan tak paham bahasa isyarat, untuk berkomunikasi dengannya, Ankara selalu memberikan buku kosong untuk Muara menjawab apapun yang dia tanyakan mengenai materi pembelajaran, kebetulan Muara adalah sosok cerdas di kelas.
"Aku masih belum paham, bisa kau ulangi lagi. Tapi, jika kau tak mau, tidak masalah, aku akan mencoba memahaminya lagi." Tulis Ankara.
Muara tersenyum membaca pesan Ankara. Sonya yang ikut membaca pesan Ankara merasa jengkel.
"Kau masih tak paham? Astaga, kau ini bagaimana? Muara sudah menjelaskan materi ini tiga kali, kau mau membuat suara Muara habis sepertimu?" ungkap Sonya menurunkan semangat Ankara.
"Sonya? Kenapa kau berbicara seperti itu, sudahlah, aku tak masalah menjelaskan lagi. Lagi pula, jika Anka belum paham, kelompok kita akan mendapat nilai rendah, memangnya kau mau presentasi kita gagal?"
"Aku minta maaf, Muara. Tapi ... aku heran saja, kenapa kau tak paham-paham, ha? Kau menjengkelkan sekali."
Bukannya terpojok akan ucapan Sonya, justru Ankara membalas dengan tawa ringan.
"Tertawalah sepuasmu, memangnya apa yang kau tertawakan?" tanya Sonya heran.
Muara dengan sabar menuliskan lagi seraya menjelaskan pada Ankara apa saja materi yang harus dia sampaikan nanti. Saat itu pula, diam-diam Ankara memperhatikan pemilik wajah cantik, Muara Kalani yang setiap malam dia sebutkan dalam doanya.
Tidak, Anka. Kau harus sadar diri posisimu di mana. Kau di bawah tanah, dan Muara dia atas, di antara bintang bulan yang bersinar. Posisi kalian terbentang begitu jauh, sangat jauh. Lagi pula, apa mungkin seorang Muara mau menerima perasaanku?
Sonya yang menyadari alasan mengapa Ankara tak paham-paham materi pun berdeham keras, membuat perhatian Ankara berpaling dari Muara.
"Pantas saja kau tak paham-paham, yang kau perhatian hanya Muara bukan materi yang dia jelaskan."
Ankara yang ketahuan menggaruk tengkuk leher belakangnya. Ankara menulis sesuatu, lalu menunjukkannya pada Sonya.
Kau membuatku malu dihadapan Muara
"Ya, kau harusnya memang malu membuat Muara menjelaskan materi sampai tiga kali, tapi kau tak paham-paham." Sonya menggeser buku dari hadapan Ankara. "Sini, biar aku saja yang menjelaskan padanya, Muara. Kau diam saja, oke?"
Muara tak mempunyai pilihan lain, selain menuruti permainan Sonya. Saat menjelaskan, Sonya berkali-kali dibuat geram pada Ankara yang sebenarnya pura-pura tak memahami materi yang akan mereka bawakan, sesekali bolpoin Sonya pukulkan ke kepala Ankara dan mengundang gelak tawa Muara. Tapi, tawa itu memancing candu, tak masalah bagi Ankara dipukuli Sonya jutaan kali agar dia bisa melihat tawa Muara yang tak padam itu.
Kau cantik, pandai, dari keluarga terpandang, dan sempurna, Muara Kalani.
☆☆☆
Syam mengajak Muara, Sonya, dan pastinya Ankara untuk bermain di sungai sepulang sekolah. Usai memarkirkan sepeda di jalan setapak tepi sawah, mereka yang menenteng sepatu berjalan beriringan menuju aliran sungai di bawah jembatan. Kebetulan, suasana tengah cerah dengan terik matahari yang lumayan menyengat. Tiba di sungai, Ankara dan Syam yang sejak awal berniat untuk renang membuka kancing seragam mereka. Sontak, Muara yang ada di dekat mereka berbalik badan.
"Kalian mau apa?"
"Renang, Ra."
"Kalian mau buka baju?"
"Memangnya berenang harus menggunakan seragam sekolah?" tukas Syam.
Sonya yang sudah duluan bermain di sungai meneriaki kedua laki-laki itu agar ikut serta terjun ke sungai.
"Ya tidak, jangan buka semuanya ya, aku malu melihat kalian tak berbaju," ujar Muara menyembunyikan wajah.
Ankara dan Syam bersitatap, Muara tak tahu saja mereka sudah membawa baju ganti dari rumah.
Muara memilih duduk di sebuah batu besar di tepi sungai, menikmati deretan kata-kata yang Ankara susun di buku bersampul ungu itu. Sesekali, netra Muara berhenti pada sosok laki-laki yang asyik menciprati Sonya dengan air tanpa ampun.
Tanpa Muara tahu, Ankara diam-diam pula memperhatikan Muara yang terbius oleh buku di tangannya.
Aku tak mengira, Muara senyaman itu dengan tulisanku? Apa iya, tulisanku sebagus yang dia katakan? Bagaimana seorang Muara Kalani menyukai karyaku yang buruk itu? Aku sungguh tak percaya.
Ankara mengisyarat pada Muara agar dia ikut bermain di sungai. Muara menggeleng sambil tersenyum.
"Ayo, Muara! Ikutlah turun!" seru Syam.
"Tidak, aku di sini saja," jawab Muara sedikit berteriak.
Baru saja Muara meletakkan buku di atas tas, tiba-tiba cipratan air menghantam wajahnya.
"Ankara!" jerit Muara. "Awas kau!" Muara buru-buru berlari ke sungai, mengejar Ankara sambil membalas dendam atas apa yang Ankara perbuat.
Di kubu Muara, telah berdiri Sonya yang bersedia membantu, begitu pula Syam yang sigap menyerang keduanya bersama Ankara. Perang air pun terjadi. Tawa tak ada jeda di antara mereka.
Ankara merasakan sesuatu, sigap tangannya mencapai sungai. Yap! Seekor ikan berukuran lumayan dia tangkap dengan kedua tangan.
"Astaga, ikan!" jerit Sonya girang.
"Bagaimana kalau kita bakar? Sepertinya enak," usul Syam yang langsung diterima.
Meminjam korek api dari seorang petani yang kebetulan lewat, Syam berhasil membuat api unggun untuk membakar ikan yang Ankara tangkap.
Menunggu ikan matang, Ankara menuliskan pesan di buku kosong, tak lama, dia berikan pada Muara yang tengah mengeringkan diri di atas batu besar tadi.
Aku heran, mengapa kau menyukai tulisanku? Bukankah, tulisanku biasa saja?
Muara tersenyum. "Siapa bilang tulisanmu biasa saja? Tulisanmu itu memiliki warna tersendiri, tidak hitam, putih, ataupun abu-abu. Tulisanmu sangat berwarna, seperti halnya pelangi yang selalu dinanti usai badai datang."
Ankara kembali menulis, lalu menunjukkannya pada Muara.
Sungguh?
"Ya. Kau tidak percaya?"
Ankara menggeleng.
"Hei, kau sudah membukukan buku berkali-kali, tapi kau masih tak percaya diri?"
Ankara mengangguk.
"Bahkan saat kau sudah dikenal banyak orang karena tulisanmu?"
Lagi, Ankara mengangguk.
"Ankara, untuk apa kau merendah seperti ini? Jika tulisanmu tak bagus, untuk apa aku membeli dan membaca bukumu?"
Ankara menulis lagi, kemudian, memperlihatkannya pada Muara.
Aku tak akan pernah percaya diri karena keterbatasanku.
"Keterbatasan apa? Hanya karena kau tak bersuara? Ankara, dengar, kau bisa menyuarakan suaramu dengan tulisan, tulisan yang mampu membuat semua orang mencarimu, bukan untuk mendengar suaramu, tapi karena tulisanmu. Tetaplah menulis untuk kebaikan, justru aku kagum padamu, dengan keterbatasan yang ada, kau mampu melewati batas keterbatasanmu. Kau hebat, Ankara."
Sekarang, pipi Ankara pasti sudah memerah karena sanjungan Muara. Dengan isyarat tangan, Ankara bilang, "Kau selalu saja membuatku malu, Muara."
Muara mengerutkan kening. "Kau bilang apa?"
Ankara menggeleng.
"Kau meledekku, ya?"
Ankara membantah.
"Lalu, kau bilang apa tadi?"
"Hei! Ikannya sudah matang!" pekik Syamsul yang disampingnya duduk Sonya tengah sibuk mengipasi api yang mulai padam.
☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Muara [NOVELET]
Teen Fiction[END] Teenfiction-Religi ○○○ Ankara jatuh hati pada sosok Muara Kalani, gadis dengan senyuman memikat. Namun, Ankara sadar, dia hanyalah seorang pemuda yang penuh kekurangan, ditambah dia tuna wicara. Ajaibnya, Muara Kalani justru menjadi penggemar...