Muara Celaka

17 6 4
                                    

Ankara menghentikan sepedanya di ujung jembatan ketika mengetahui Muara ada di depannya entah tengah menuju kemana. Dia membiarkan Muara pergi begitu saja.

Apa Ankara kesal pada Muara? Sama sekali tidak. Karena baginya, sejak awal Ankara harus sadar diri siapa dirinya yang dengan berani menaruh hati pada seorang putri. Bukankah, dia hanya rakyat jelata yang tak punya apa-apa? Bahkan, dia hidup tanpa keluarga dan mengandalkan keahlian menulisnya untuk mencari pundi-pundi rupiah.

Ankara turun dari sepeda dan duduk di tepi jembatan.

Terkadang, mencintai tak harus memiliki. Ternyata, ungkapan itu benar adanya.

Sebuah mobil melaju kencang tiba-tiba membuat netra Ankara memperhatikan saksama laju mobil tersebut.

“Kencang sekali mobil itu, apa dia tak tahu batasan mengemudi yang baik?”

“Tolong! Tolong! Siapapun tolong!”

Jeritan itu sigap membuat Ankara berdiri. Ankara tahu suara minta tolong itu tak jauh dari tempatnya saat ini. Cepat-cepat Ankara menghampiri siapa orang yang minta tolong tersebut.

“Muara?” Ankara berlari tanpa memedulikan sepedanya ambruk sembarangan.

Muara yang terjatuh dari sepeda akibat terserempet mobil itu pun mengalami luka sobek di beberapa sisi tangan kiri, dan dagunya.  

“Kau diserempet mobil barusan?” tanya Ankara menggunakan bahasa isyarat.

Muara asal menjawab. “Iya. Tiba-tiba saja mobil itu melaju mengarahku, untung aku sigap berbelok. Hampir saja aku ketabrak.”

“Ya Allah. Kau bisa berdiri sendiri?”

Karena Ankara menunjuk kakinya, Muara sedikit tahu apa yang Ankara ucapkan. Dia menggeleng. “Kakiku rasanya sakit, sepertinya aku jatuh di posisi yang salah.”

Ankara mencari cara agar dia dapat memberikan pertolongan segera pada Muara tanpa menyentuhnya sedikit pun. Ankara meminta Muara untuk tetap tinggal di tempat. Dia hendak menghubungi Sonya, namun, dia tak menemukan ponsel di saku manapun. Dia kehilangan ponselnya atau mungkin tertinggal di rumah, Ankara tak tahu. Ankara panik saat Muara menangisi luka-luka di tubuhnya.

“Tidak mungkin juga aku menggendong Muara sampai rumahnya. Ck, Ya Rabb. Apa yang harus kuperbuat? Aku tak ingin membiarkan Muara kesakitan seperti ini,” ujar Ankara dalam hati.

Ankara berjongkok, menepuk punggungnya sendiri, memerintahkan Muara untuk naik ke punggung.

“Tidak. Kita bukan mahram. Aku tidak ingin ada salah sangka nantinya.”

Ankara menoleh, lalu berbicara dengan gerak tangan. “Aku juga tidak mau. Tapi kau tahu, keadaannya sedang darurat. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini.”

“Tapi ... aku berat, memangnya kau sanggup menggendongku sampai rumah?”

Ankara menunjuk dirinya sendiri, lalu memperlihatkan kedua otot di lengannya.

“Kau yakin?”

Ankara mengangguk mantap.

“Lalu sepedanya?”

Ankara meminta agar Muara tak memikirkan hal-hal lain selain kesehatan dan keselamatannya.

Muara sempat ragu untuk digendong Ankara. Dia takut, nantinya Ankara tak kuat menahan beban tubuhnya dan ambruk di jalan.

Kembali, Ankara menepuk punggung, meminta Muara untuk naik. Setelah Muara naik, Ankara mencoba sekuat tenaga mengangkat beban tubuh Muara dan beban tubuhnya sendiri. Awalnya, jujur di merasa berat, namun, mengingat Muara butuh pertolongan segera, Ankara menghiraukan beban berat yang dia bawa.

Ankara Muara [NOVELET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang