Dari jendela mobil, mata Muara disuguhkan pemandangan yang menawan, dengan gugusan pegunungan yang kokoh berdiri, hamparan sawah yang membentang luas, dan sungai yang menambah kesan estetik, apalagi dilihat dari atas jembatan yang baru dia lewati.
"Kau menyukainya, Muara?"
"Sangat. Ibu, kenapa dulu kita tidak pindah ke sini saja?" tanya Muara tanpa memindahkan matanya dari jendela.
"Entahlah, Sayang. Hanya Allah dan Ayahmu yang tahu," jawab Heni tertawa ringan.
"Ibu benar. Hem, pemikiran Ayah itu susah sekali di tebak," ucap Muara yang kembali menegakkan punggungnya.
"Apapun yang Ayahmu putuskan, itu pasti yang terbaik untuk kita."
"Ya, semoga saja." Diam sejenak, sebelum Muara memberikan sebuah pertanyaan yang melesat tiba-tiba di kepala. "Ibu."
"Iya."
"Kenapa Ayah tak ikut serta bersama kita? Ayah akan menyusul, kan?"
Heni tersenyum saja sebagai jawaban, langsung saja hal itu membuat Muara tahu bahwa ibunya tak tahu jawaban yang sebenarnya.
"Setelah urusan Ayahmu selesai, pasti dia akan kemari."
Muara menurunkan kedua pundaknya malas. "Sebenarnya, apa pekerjaan Ayah, Bu? Setiap kali aku bertanya, Ayah atau pun Ibu selalu mengelak."
Heni mengelus pucuk kepala Muara yang terbungkus pasmina cokelat tua. Hanya senyuman yang Heni berikan tanpa jawaban lagi. Rasanya, Muara sudah muak dengan jawaban itu yang selalu menimbulkan tanda tanya besar di lubuk hatinya.
☆☆☆
Senyuman terbit di wajah Muara, menyaksikan kamar yang Ayahnya siapkan untuknya dibuat sama dengan kamar sebelumnya. Ditambah, Ayahnya memberikan sedikit ruang di kamarnya untuk dijadikan perpustakaan kecil dengan sofa yang menghadap keluar jendela.
"Makasih, Ayah. Ayah selalu tahu yang Muara mau." Muara mengambil salah satu novel yang ditulis Anka dari rak buku dan melangkah maju ke balkon kamar. Bersandar tiang yang menjulur dari atas hingga bawah itu, Muara kembali antusias untuk menyelesaikan novel "Ranah Cinta Almeera" sembari menikmati suasana desa yang tentram.
Belum selesai satu halaman dia membaca, Muara menghentikan aktivitas membacanya karena sang Ibu menyuruhnya mencoba seragam sekolah baru.
"Memangnya, aku akan sekolah di mana? Sejak perjalanan kemari, aku tak melihat ada SMA di sekitar sini," kata Muara disela merapikan seragam yang sudah melekat di badan.
"Ada, dulu, Ayahmu juga bersekolah di sekolah itu. Ya, kata Ayahmu jaraknya lumayan jauh dari sini. Nanti, kau akan diantar jemput kakakmu."
Muara melongo. "Tidak, tidak, aku bukan anak kecil lagi, Ibu. Aku tidak mau diantar jemput."
"Lalu, kau akan naik apa?"
"Aku ingin bersepeda, boleh?"
Heni manggut-manggut saja menuruti permintaan putrinya. "Hari ini, biarkan Paman Amran mengantar untuk menujukkanmu jalan ke sekolah."
Muara yang senang main peluk Ibunya tanpa permisi. "Terima kasih, Ibu. Pasti kalau Ayah tidak akan mengizinkan."
☆☆☆
Pagi-pagi sekali, suara gadis yang terdengar tengah mengobrol ria dengan penjaga rumah mencuri perhatian Muara yang tengah membaca buku sebelum pergi ke sekolah. Tak lama, gadis dengan rambut dikucir satu itu masuk ke rumah.
"Siapa gadis itu? Sepertinya dia akrab sekali dengan orang sini." Muara mengintai dari jendela langkah gadis periang tersebut.
"Assalamualaikum!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ankara Muara [NOVELET]
Roman pour Adolescents[END] Teenfiction-Religi ○○○ Ankara jatuh hati pada sosok Muara Kalani, gadis dengan senyuman memikat. Namun, Ankara sadar, dia hanyalah seorang pemuda yang penuh kekurangan, ditambah dia tuna wicara. Ajaibnya, Muara Kalani justru menjadi penggemar...