Hubungan saudara tiri biasanya akan disangkut pautkan dengan ketidak akraban dan rasa benci. Tapi bagaimana jika dalam hubungan saudara tiri kali ini justru tersangkut pada sebuah perasaan juga hubungan yang diragukan kelanjutannya?
WARNING: You ent...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bagi Kevin, duduk berhadapan dengan ibu kandungnya adalah seperti mimpi buruk terberat yang membuatnya ingin cepat bangun dari tidur. Rasa bencinya pada wanita yang melahirkannya 22 tahun lalu itu agaknya sudah membumbung tinggi layaknya langit yang sulit diukur. Bahkan lelaki itu tak memperdulikan seberapa sering tangan wanita berusia 40 tahunan itu mengibas ke udara setiap kali asap dari puntung rokok yang diapit jemarinya mengepul tinggi terlebih setiap kali Kevin menyesap rokoknya, pria itu seperti sengaja menghembuskan asap sedikit miring ke arah wanita itu. Pria itu seakan berusaha membuat wanita dihadapannya berada diposisi setidak nyaman mungkin.
Memuakkan.
Kevin menyundut rokok ke-dua nya ke asbak kaca diatas meja. Meraih gelas kopi yang ia pesan kurang dari 5 menit lalu kemudian menyesapnya sedikit.
"Gue sibuk." Ucapnya setelah membasahi kerongkongannya. "Dan gue juga tau lu nggak ada waktu. Jadi nggak usah basa-basi, langsung to the point aja."
Wanita itu, Liana, mengernyit tak suka. Rahang wanita itu mengeras namun senyumnya tak sedikitpun luntur dari wajah cantik nan tegasnya. Dia berusaha menahan marah agar tidak meledak. Bagaimanapun dia harus menjaga citranya, terlebih sekarang mereka ada ditempat umum.
"Udah lama kita nggak ketemu, dan sekarang kamu mau ngusir mamah?" Tanyanya.
Kevin hanya tersenyum remeh mendengar penuturan Liana. Kenapa juga wanita itu harus bersikap seakan mereka adalah sosok ibu dan anak yang akrab terhadap satu sama lain? Citra bodoh seperti apa yang ingin ia bangun ketika semua orang sudah tahu perihal masalah perceraian wanita itu adalah karna kebusukannya sendiri.
Cih! Kevin benar-benar ingin melempari wajah wanita itu dengan semua bukti perselingkuhan yang ia simpan di meja belajarnya. Sungguh, Kevin sangat muak.
Liana tak ambil pusing. Meski tangannya ingin sekali mendarat di wajah Kevin atas sikap kurang ajar anak semata wayangnya itu, namun ego nya masih cukup tinggi untuk membuatnya menahan diri dan tidak merusak citranya dimata publik. Bagaimanapun seorang politikus sepertinya harus bisa membangun citra sebaik mungkin jika tidak ingin karirnya hancur dalam sekali kedipan mata.
"Minggu depan bakal ada acara di hotel ini." Liana meletakkan sebuah undangan berwarna coklat dengan pola emas disetiap sudut sisinya. Kevin mengangkat sebelah alisnya, tak mengerti mengapa wanita itu ingin ia terlibat dalam urusan politik yang ia sendiri tak punya sedikitpun ketertarikan disana.
"Akan ada banyak tamu undangan yang punya pengaruh cukup kuat disana. Bentar lagi kamu lulus kan?" Kevin bisa melihat Liana tersenyum. Sebuah senyum penuh ambisi yang mengisyaratkan jika Kevin harus mengambil peluang pada kesempatan yang diberikan padanya.
Hhh. Benarkan. Hubungan keduanya tak sebaik itu. Kevin sudah cukup muak untuk menjadi anak penurut dan berakhir terluka. Dan sekarang? Tak puas hanya dengan mencampakkan anaknya, sekarang wanita ini ingin menjadikannya pion untuk melangkah semakin jauh!