Mata dengan lingkar hitam itu terbuka, yang pertama kali ditangkap oleh sang pemilik mata adalah langit-langit kamar bernuansa hitam gelap.
Ia bangkit dengan tenggorokan yang teramat sakit, mengedipkan matanya untuk menghilangkan buram.
"Akh," menyentuh leher yang membuatnya tidak nyaman, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia bisa berada di sini?
Ini adalah kamar apartemennya, seingatnya dia terjatuh di kamar mandi karena serangan jantung dan pukulan di kepalanya, harusnya dia sudah tiada kalau masih hidup harusnya ia terbangun di rumah sakit.
Apa orang tuanya membuangnya demi melindungi adik laki-lakinya?
"Apa yang lo pikirin Rafaela? Tentu saja, mereka pasti enggak peduli sama lo," gumamnya sambil tersenyum miris.
Matanya melirik jam, ternyata hari sudah hampir siang, tepatnya pukul 09.24 dan entah mengapa jadi sangat malas melakukan apapun.
Rafaela memang sering malas melakukan apapun kecuali belajar, mungkin karena tuntutan yang orang tuanya berikan. Rafaela itu paling malas melakukan kegiatan yang namanya mandi.
Cantik-cantik males mandi.
Rafaela tidak sengaja menatap layar komputer miliknya yang berada dalam beranda games, ia beranjak dari ranjangnya tapi tiba-tiba kakinya seperti menginjak sesuatu.
Kulit kuaci.
"Kapan gue makan kuaci?" Rafaela tidak pernah merasa jika dirinya pernah memakan kuaci di apartemennya.
Memilih untuk tidak peduli Rafaela duduk di kursi game miliknya, meraih segelas air putih yang berada di dekat meja game lalu meminumnya hingga habis.
Rafaela mulai mengotak-atik komputernya, ia menghubungi salah satu teman online-nya untuk ia ajak bermain game bersama, bodoh amat dengan lukanya lagian dia tidak merasa sakit.
"Weh anjer kemana aja lu cok?!" baru saja ia mulai sudah disambut dengan sangat sopan oleh teman baiknya di dunia online.
"Banyak omong," ucap Rafaela dengan jari-jari yang sibuk mengatur game-nya.
"Cok lu tahu gak kalau–"
"Kagak."
"BELUM BEGO!"
"Ha? Lo bego? Lah kan emang," Rafaela tersenyum tipis ketika mendengar temannya yang mengumpat di sebrang sana.
"Aaron cowok baik, Aaron diem," temannya bernama Aaron, mereka berada di satu team yang sama di game.
"Lo mau bilang apa tadi?"
"Lu tahu enggak kalau team jadi sepi padahal lu cuma ilang sehari, kemana aja sih lu?" Aaron tidak pernah berubah, dirinya selalu menjadi orang yang paling khawatir dengan teman-temannya.
"Masalah keluarga," jawab Rafaela dengan singkat.
"Ha? Sama Om Albert?"
Jari Rafaela berhenti menari-nari di keyboard-nya, wajahnya tampak bingung dengan dahi yang tertekuk. Ini aneh, bahkan sangat aneh, dari mana Aaron tahu dan bagaimana?
"Aaron."
"ANJENG LU NGE-CHEAT! Ha? Apa?"
"Dari mana lo tahu bokap gue namanya Albert?"
"Kan lu yang ngasih tahu cuk?"
"Ha?"
***
"GUE ENGGAK PERNAH BULLY DIA! KENAPA LO ENGGAK PERNAH PERCAYA?" suara melengking itu terdengar nyaring di telinga banyak orang.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAFAELLA
FantasyTentang Rafaela yang bertransmigrasi ke dalam novel ciptaan sahabatnya dan menjadi kakak tiri tokoh antagonis. Rafaela yang 'ini' dan Rafaella yang 'itu' adalah orang yang sama. Sama-sama seorang pecandu internet dan sama-sama seorang pemalas. Karen...