Cptr 2. Sebuah Mimpi

4.8K 482 1
                                        

"Sekarang apa lagi? Papa mau nyalahin Nancy tentang apa lagi? Nancy salah bagaimana lagi Pa?" Nancy menatap nanar mata ayahnya, menatap penuh kerapuhan.

Nancy baru saja pulang dari rumah sahabat dekatnya, dia tahu jika dia salah karena pulang terlalu malam, tapi bukan berarti ia harus ditampar dengan kata-kata menyakitkan seperti yang ayahnya lakukan.

"Papa enggak perlu bandingin aku sama anak haram Papa! Papa enggak perlu bilang kalau Nancy salah, udah jelas Nancy akan selalu salah di mata Papa–"

"CUKUP NANCY! Pergi kamu ke kamar! Renungkan semua kesalahan kamu dan pikirkan cara biar kamu bisa sebaik Gracia!" ucapan itu tidak pernah berubah, selalu saja jadilah sebaik Gracia.

"Dan jangan sekali-kali kamu bilang kalau Gracia itu anak haram!" Haidan Alister memang tidak pernah mau mengerti orang lain, tempramennya terlalu buruk.

Nancy menatap ayahnya tidak percaya. "Kenapa? Kan itu faktanya, jangan menghindar dari kebenaran Papa!" Nancy berjalan kasar meninggalkan Haidan.

"JAGA MULUT KAMU NANCY! NANCY!!" Nancy tidak ingin mendengarnya, di bawah sana ada Gracia dan ibunya yang telah merusak kebahagiaan yang ia miliki.

Anaknya ingin mengambil lelaki yang ia cintai. Ibunya merebut lelaki yang merupakan ayahnya. Benar-benar buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Nancy duduk di ranjangnya dengan kasar, air mata telah menetes karena hati kecil miliknya sudah terlalu terluka. Nancy percaya segala penderitaannya terjadi karena kedatangan kedua perempuan itu.

"Hah ..." Nancy mengusap air matanya kasar sambil menghirup oksigen dengan rakus.

Ia merenung sejenak hingga matanya sampai di meja belajarnya, meja belajar berwarna coklat muda dengan banyak laci tersedia untuk menyimpan buku-bukunya.

Kaki itu melangkah, sampai di meja belajar ia membuka laci yang terdapat di paling bawah. Tangannya menggapai kotak hitam berdebu, lalu ia membawa kotak itu menuju ranjang tempatnya tidur.

Ketika dibuka air matanya kembali menetes. Terdapat foto-foto lama yang mengingatkan dirinya pada kebahagian masa dulu, sebelum dua perempuan itu hadir dalam hidupnya.

"Hiks ... Mama ..." Nancy menyebut ibu yang meninggalkannya setelah bercerai dengan sang ayah, meninggalkan dirinya bersama luka besar yang sulit sembuh.

"Gue bisa enggak sih ngulang waktu?" pertanyaan yang tidak pernah lupa ia tanyakan kepada dirinya sendiri.

Nancy selalu berharap ia dapat mengulang waktu, sebuah mimpi yang jelas mustahil terwujud, tapi berharap mendapatkan kebahagiaan dengan adanya dua perempuan itu juga sama-sama hanya sebuah mimpi.

Jarinya menyentuh sebuah foto polaroid dengan gambar tiga orang perempuan yang tampak berbeda umur, senyum tipis terlukis ketika melihat foto tersebut.

Ibu jari mengusap foto gadis yang terlihat paling tua di antara mereka, senyumnya kian melebar dengan mood yang mulai membaik.

"Kakak ..."

***

Insomnia.

Rafaela benci ketika ingat jika dirinya mengidap insomnia. Tidak bisa tidur di malam hari, terjaga hingga pagi, tertidur sejenak saat menjelang pagi dan terbangun dengan mata lelah, Rafaela jelas benci itu.

Apalagi ketika ia sedang berada di ujung rasa kantuknya, di saat itu dia merasa menjadi orang paling bodoh, contohnya seperti sekarang.

"Gue minum kopi ketika gue pengen tidur? Tolol," walau merasa bodoh Rafaela tetap meminum kopinya.

RAFAELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang