22. Cuci Darah

86 7 3
                                    

Kumpulan kata yang dijadikan sebuah kalimat, lalu dibaitkan menjadi sebuah paragraf dan disatukan dalam sebuah karangan biasa.

Happy Reading💚

"Bertahan, hanya itu yang dapat aku lakukan, untuk melihat orang disekitarku tersenyum,"- Fathaan.

_______________________

22. Cuci Darah

Semburat angin pagi menerpa wajah anak yang sedang dilanda gelisah, sesekali Ia melihat jam tangannya, seperti sedang menanti waktu yang tepat untuk mempersiapkan dirinya. Disampingnya, ada Sang Ayah yang selalu memberi semangat, menceritakan banyak hal untuk menghilangkan rasa gusar. Namun, deru jantung anak itu semakin meningkat ketika namanya disebut.

"Fathaan," panggil seseorang dengan seragam putihnya.

Fathaan menghirup napas dalam, dengan pelan Ia menghembuskannya, kemudian Ia menatap Sang Ayah dengan raut wajah yang sedikit lebih tenang.

"Doain Fathaan, Ayah," ucapnya dengan tersenyum.

Fairuz membalas senyuman Sang Anak, "Pasti, Ayah selalu berdoa untuk Fathaan," ucapnya sambil mengelus kepala putranya.

Fathaan berdiri dari kursi, dan mengikuti langkah orang yang memanggil namanya tadi, sedangkan Sang Ayah masih duduk di kursi, dengan mulut yang selalu merapalkan doa.

Hari ini, hari pertama Fathaan melakukan cuci darah, sejak dirinya diagnosa memiliki penyakit lain selain diabetes, cuci darah adalah jalan alternatifnya untuk bertahan.

Fathaan masuk keruangan Hemodialisa, disana Ia melihat seorang pasien yang baru saja melakukan terapi cuci darah. Fathaan menerka-nerka umur pasien tersebut, sepertinya umur pasien itu sekitar lima puluh tahun.

"Hai Fathaan, maaf kalau kamu menunggu lama diluar," sapa Dokter Bagas sembari meminta maaf.

"Gak juga Kak, lagian diluar udaranya adem," balas Fathaan, matanya menatap keluar melalui jendela kaca. Koridor rumah sakit ini berada di luar, jadi sembari menunggu Fathaan masih bisa menikmati semilir angin yang lewat. Meskipun, saat itu detak jantungnya tidak karuan.

"Kamu udah siap untuk melakukan terapi ini?" tanya dokter Bagas.

Sebenarnya, Fathaan sangat belum siap untuk melakukan terapi cuci darah. Apalagi, setelah Ia melihat peralatan di ruangan itu, tampak mengerikan, serasa bisa membayangkan betapa sakitnya saat alat itu masuk ketubuhnya. Tapi, kembali lagi, Fathaan melakukan hal ini untuk bisa bertahan.

"Siap, Kak."

Diluar, Fairuz mondar-mandir di depan ruangan Hemodialisa, sesekali Ia mengintip dari balik jendela. Namun, rasa gelisah Fairuz belum hilang, tanpa pikir panjang Ia masuk kedalam ruangan itu.

Fathaan terkejut melihat Ayahnya masuk ke dalam ruangan, "Ayah, kenapa masuk? Kan Ayah phobia sama darah," kata Fathaan saat Fairuz sudah didekatnya.

"Ayah lebih takut, kalau Fathaan yang berjuang di ruangan ini sendirian," sahut Fairuz dengan menatap sendu wajah anak pertamanya.

Fathaan terdiam, hingga saat ini pun rasa syukur yang hanya bisa Ia katakan di dalam hati, mempunyai keluarga yang mau merawatnya seperti ini, "Makasih Ayah," ucapan itu yang bisa terlontar.

Pasien yang Fathaan lihat tadi, kini sudah dibawa oleh salah satu perawat dengan kursi roda, sebelum keluar pasien itu menoleh ke arah Fathaan, "Semangat le', Kakek doakan cepat sembuh," ucapnya lirih.

Fathaan dan Fairuz tersenyum terhadap Pasien itu, "Terima kasih Kek," ucap mereka bersamaan.

Fathaan berbaring di atas brankar, Dokter Bagas disampingnya telah siap melakukan terapi untuknya. Saat jarum dimasukkan kedalam tubuh Fathaan, rasa gelisah kembali datang,

Funfflugel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang