Joni memandang barisan pepohonan tinggi dan besar-besar di sepanjang jalan. Sepi, yang terdengar hanyalah suara mesin. Biasanya, di waktu-waktu menjelang azan magrib, suara serangga akan terdengar. Namun, saat memasuki hutan, sangat senyap.
Mobil hitam itu terus melaju membelah jalan, sendirian. Tidak ada kendaraan lain selama memasuki hutan. Tiga orang di dalam mobil yang semula berisik, semuanya terdiam, bahkan salah seorang di dalamnya lebih memilih memainkan ponsel daripada menikmati pemandangan suasana hutan.
“Jadi ini yang disebut Tanah Haram?” kata Joni menerka-nerka. Pemuda 22 tahun itu memang memiliki rasa keingintahuan tinggi terhadap tempat-tempat baru, terutama yang memiliki kisah menyeramkan di dalamnya.
“Pantas orang itu nantang kita buat video di sini. Lumayan serem juga,” tambahnya, terdengar meremehkan.
Ferdi Alamsyah atau lebih dikenal dengan Ferdi, hanya mengumbar senyum saat melihat Joni, sahabat satu kuliahnya, seperti biasa meremehkan sebuah tempat yang akan digunakan untuk membuat konten video. Sudah dua kali tercatat sahabatnya itu menyepelekan, tetapi berujung mendapatkan ketakutan luar biasa karena dihantui oleh sosok penunggu tempat tersebut.
“Kalau beruntung, kita bisa nemu orang gelantungan di pohon,” kata Ferdi, berniat menakut-nakuti. Kedua matanya masih fokus menatap jalan yang begitu sepi dan mulai gelap meski sesekali menoleh, sekadar melirik dua sahabatnya di belakang.
Nabila Ambar Azahra, lebih dikenal dengan Nabila dan sahabat satu kuliah Ferdi, sontak mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Perempuan 23 tahun berambut panjang dan sedikit bergelombang di ujung itu lantas bertanya, “Jadi beneran ada?”
Suara gelak tawa Ferdi kembali memecah kesunyian. Dia pun menjawab, “Ada, lah! Pas masih di sini, kagak jarang lihat orang gantung diri sini. Tetangga di rumah juga pernah gantung diri di sini.”
Mereka bertiga awalnya hendak mencari konten video di lain tempat. Saat Nabila tengah berusaha browsing sana-sini, melakukan riset lokasi mana yang cocok, tiba-tiba Ferdi bercelatuk, menyebut sebuah tempat yang katanya harus didatangi.
Awalnya Ferdi berniat merahasiakan, tetapi karena membaca komentar serupa di tiap video yang di-upload di YouTube dari satu akun, dia pun menyarankan tempat itu untuk dijadikan lokasi selanjutnya. Terlebih, yang akan didatangi berada dekat dengan tempat kelahirannya, Ferdi berniat pulang kampung setelah hampir lima tahun meninggalkan rumah, lebih memilih ikut saudara di kota.
Joni turut membaca komentar itu dan menerima tantangan darinya. Sempat mendapat penolakan dari Nabila. Perempuan bertubuh tinggi dan memiliki warna kulit terang itu berpikir bahwa hutan bukanlah tempat yang sesuai karena lebih berbahaya daripada hanya sekadar mendatangi rumah atau bangunan angker.
Kata Ferdi, tempat itu mendapat julukan tanah haram. Sebuah hutan belantara, di mana para penduduk sekitar dilarang mengambil apa pun yang ada di sana tanpa izin. Selain itu, di hutan tersebut juga digunakan untuk tempat melakukan bunuh diri. Tidak terhitung berapa banyak korban, bahkan tidak sedikit dari mereka yang masih menggantung di dahan pohon.
“Buruan, Fer! Masih lama kagak, sih, ke rumahmu?” Joni begitu antusias ingin segera menjelajahi tempat baru. Meskipun pernah beberapa kali dihantui, efek jera belum didapatnya, justru malahan makin senang jika mendatangi tempat yang bahkan lebih menyeramkan lagi.
“Eh, Jon. Kali ini, kagak usah macem-macem lagi. Gara-gara kamu, kita juga kena getahnya.” Nabila mewanti-wanti. Entah kenapa, kali ini dia merasa kurang nyaman dengan tempat yang akan dijadikan konten.
“Iya, bener apa kata Nabila. Kagak usah gegabah, apalagi sampai ngambil apa-apa di sini. Di sini bener-bener bukan tempat sembarangan. Kagak usah ngawur!” Ferdi pun sama halnya dengan Nabila, mewanti-wanti Joni agar bisa menjaga perilaku.
Joni yang seakan-akan didesak oleh kedua sahabatnya, berlagak menurut dan mengiakan perintah mereka. Dia pun terdiam, begitu pula dengan Nabila dan Ferdi. Ketiga orang sahabat itu fokus dengan diri sendiri. Ferdi fokus menyetir di jalan remang-remang, Nabila dengan ponselnya, dan Joni lebih memilih merekam pemandangan hutan.
Hutan yang cukup luas, perlu waktu dua puluh menit untuk bisa keluar dari barisan pepohonan. Kumandang azan magrib sudah menghilang, hanya terdengar deru mesin mobil. Kendaraan lain pun sampai saat ini belum terlihat. Beruntung kondisi jalan cukup baik untuk dilalui, perjalanan pun bisa lancar tanpa harus merasakan guncangan karena roda taksengaja masuk lubang.
Gelap mulai mendominasi. Dedaunan yang semula berwarna hijau, berubah menjadi kehitaman. Masih tidak ada suara hewan malam di menit-menit terakhir keluar hutan. Sorot lampu mobil menjadi satu-satunya sumber pencahayaan, mengingat tidak adanya semacam lampu penerangan.
“Eh, Jon. Ditutup, kek, itu kaca mobilnya. Dingin, nih. Kagak kerasa dingin apa?” protes Nabila. Dia mengenakan pakaian pendek nan tipis, ujung lengan bajunya bahkan tidak melebihi sikut.
Bukannya menurut, Joni justru mengejek. “Salah sendiri pakai baju kayak gitu. Orang lagi sibuk ngerekam, malahan diganggu. Ganti bajulah atau pake jaket!”
“Ganti baju, enakkan kalian, ya!”
Joni tergelak, lantas menuruti ucapan Nabila. Dia hendak mematikan rekaman di ponsel saat tiba-tiba melihat sesuatu di kejauhan. Meskipun gelap, masih terlihat siluet sesuatu yang menggantung di salah satu cabang pohon. Joni menjadi heboh, lalu cepat-cepat memberitahukan kepada dua sahabatnya.
Mobil mengerem, beberapa saat berhenti. Semua mata tertuju ke arah yang ditunjuk Joni. Setelah mencari-cari, akhirnya bisa melihatnya. Dilihat lebih saksama, dugaan-dugaan mulai bermunculan.
“Itu orang gantung diri bukan, sih?” tanya Nabila mulai merasa merinding. Suaranya pelan, dia sesekali masih memandangi sesuatu yang bergelantungan itu.
Karena agak jauh sehingga terlihat kecil dan tidak begitu jelas apakah memang benar-benar manusia atau sesuatu yang lain. Mereka masih fokus di satu titik sampai tiba-tiba sama-sama tersentak saat sesuatu yang menggantung itu bergerak-gerak.
“Ayo, pergi, Fer!” Nabila setengah berteriak sambil memukul-mukul kursi Ferdi.
Semua orang menjadi panik, pedal gas cepat-cepat ditekan. Namun, belum juga mobil bergerak, di depan kendaraan itu tiba-tiba muncul sesosok perempuan dari arah kiri jalan. Dia berjalan dengan cara mengesot, begitu pelan sambil terisak dengan wajah menghadap seberang hutan.
Wajahnya tersorot lampu, terlihat menghitam dan terdapat beberapa luka sayatan memanjang di pipi. Pakaiannya robek-robek dan terlihat sebuah tali tambang terikat di leher. Dia masih bergerak, tidak memedulikan jika ada tiga orang di dalam mobil yang tengah ketakutan melihatnya.
“Itu apa?” tanya Nabila sambil meremas kursi mobil depan.
Ferdi menggeleng. Deru napasnya berat, sorot matanya terpaku menatap sosok perempuan di jalanan. Tidak berbeda jauh dengan Joni. Dia termangu di tempat dengan tatapan juga mengarah ke jalan.
Sosok perempuan di depan masih menyeret tubuh dengan kedua tangan ke seberang jalan. Rintihannya pelan, tetapi terdengar oleh ketiga orang dalam mobil. Salah satu kakinya terdapat luka sayatan memanjang, darah segar dan kering bercampur, hampir menyelimuti seluruh kakinya, bahkan membekas di jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Haram
HorrorMendapat juara dua dalam parade menulis yang diselenggarakan Penerbit Nahwa. Demi konten, Ferdi, Nabila, dan Joni rela memasuki tempat berbahaya. Mereka mendatangi Tanah Haram, sebuah hutan belantara yang kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri. P...