Kebiasaan Samsudin di pagi hari adalah membuat api unggun di luar rumah. Jika tidak di halaman depan, pasti di samping, dan terkadang di belakang. Samsudin yang sudah terbiasa bangun pagi, terlebih dahulu membuat kopi sebelum pergi ke luar.
Ratih sendiri juga sudah bangun dan tengah menanak nasi sambil disambi merebus air. Kali ini dia hendak mengolah lagi sisa kembang pepaya karena itu makanan kesukaan sang adik.
Samsudin sudah bersiap dengan sabut kelapa, belarak, dan beberapa potongan kayu. Kali ini dia berniat membuat api unggun di samping halaman. Cuaca pun memang mendukung. Hawa dinginnya mirip seperti malam hari. Jika tidak mengenakan sarung atau pakaian tebal, pasti akan dibuat menggigil.
Bahan-bahan pembuatan api unggun diatur sedemikian rupa. Setelah selesai, tinggal menyalakan belarak atau pelepah daun kelapa kering. Saat mengambil korek api di saku baju Samsudin, benda itu tidak ditemukan.
Samsudin mencari di kantong celana, tetap tidak ada, padahal dia yakin sebelum keluar rumah sudah mengantongi korek api. Samsudin berpikir, mungkin karena faktor umur sehingga membuatnya menjadi pelupa. Dia pun berdiri setelah meletakkan belarak ke tanah.
Pandangannya seketika tertuju ke jendela kamar Ferdi. Satu sisi jendela itu dilihat-lihat seperti terbuka. Untuk memastikannya, Samsudin pun berjalan ke sana.
Dugaan Samsudin benar, jendela kamar sang anak sedikit terbuka. Pasti lupa dikunci, pikirnya.
“Fer, ayo, bangun. Sudah siang. Kita bikin api unggun bareng,” ucap Samsudin.
Sudah sangat lama mereka tidak saling menghangatkan diri di depan api unggun, terakhir saat Ferdi masih duduk di kelas dua SMP. Samsudin masih ingat saat dirinya disuruh sang anak untuk sekalian membakar singkong. Mereka sama-sama lupa dan akhirnya beberapa singkong belum matang sempurna karena apinya sudah padam.
Semenjak Ferdi pergi dan akhirnya pulang, perubahan terjadi padanya. Dia yang sering bangun pagi, kali ini masih berada di kasur. Samsudin pun tidak jadi menutup jendela, justru makin lebar membukanya.
Ferdi tidak ada di kamar. Selimutnya berantakan dan salah satu pakaiannya terjatuh dari hanger. Meskipun kondisi di dalam kamar tidak benderang, Samsudin masih cukup bisa melihat keseluruhan tempat itu.
“Ke mana dia? Apa sudah bangun, ya?” Samsudin berbicara sendiri. Dia belum tahu bahwa anaknya sedang berada di hutan.
Karena mendapati sang anak tidak ada, Samsudin pun menutup jendela. Dia tidak merasa curiga sama sekali atau berpikir macam-macam. Baru saja jendela ditutup, angin tiba-tiba berembus.
Hawa dingin langsung terasa. Samsudin segera masuk rumah untuk mengambil korek api agar bisa cepat-cepat menghangatkan diri.
“Fer, Ferdi! Ayo, kita bikin api unggun!” ucap Samsudin setengah berteriak. Kerinduan masa lalu, membuatnya ingin mengulanginya.
“Ferdi masih di kamar, Pak. Sejak tinggal bersama Paman di kota, dia bangunnya jadi siang,” jawab Ratih yang baru saja meletakkan termos ke meja.
Ucapan Ratih tentu saja membuat Samsudin kaget. Laki-laki itu lalu mengatakan jika Ferdi tidak ada di kamar. Samsudin berpikir, anaknya sudah bangun, tetapi ternyata ....
“Ke mana dia? Dari tadi aku ndak lihat dia,” kata Ratih. Dia menoleh kanan-kiri, mencari-cari keberadaan Ferdi, siapa tahu tiba-tiba terlihat.
Samsudin berjalan ke kamar sang anak. Dia membuka pintu dan ternyata dikunci. Tidak lama kemudian, Ratih dan Ayu menghampiri.
“Sandalnya juga endak ada,” ucap Ratih.
Samsudin berpikir sejenak, mencari tahu kira-kira apa yang dilakukan Ferdi sampai keluar rumah.
“Kayaknya Ferdi nyusul temannya, Pak.” Ayu menduga-duga. Dia teringat ucapan Ferdi semalam.
Samsudin beralih pandang, menatap Ayu. Kecemasan mulai datang, dia takut jika Ferdi pergi ke hutan.
“Coba kamu hubungi dia,” perintah Samsudin ke Ratih.
Ratih menyanggupi, lantas pergi ke kamar mengambil handphone. Tiba-tiba terdengar Farizal yang memanggil ibunya. Ayu lantas turut meninggalkan Samsudin.
Tidak sampai dua menit, Ratih mencari keberadaan ayahnya sambil mencari kontak telepon sang adik. Samsudin tengah berdiri di belakang jendela ruang depan. Jika dilihat, Ratih berpikir ayahnya pasti tengah dilanda kecemasan.
Karena mendengar langkah, Samsudin berbalik. Ratih tengah berjalan ke arahnya sambil menempelkan handphone ke telinga. Dia menunggu Ratih berbicara dengan Ferdi melalui handphone.
“Enggak diangkat, Pak,” ucap Ratih, masih dengan handphone menempel di telinga.
Samsudin mengembuskan napas kasar. Selain cemas, dia turut dilanda kebingungan. Dia pun meminta agar Ratih memanggil teman anaknya si Joni atau Nabila.
Namun, Ratih tidak memiliki nomor telepon Nabila dan Joni, dia tidak kepikiran meminta ke mereka. Samsudin pun makin bertambah pusing.
“Bapak mau ke mana?” tanya Ratih saat melihat ayahnya membuka pintu.
“Nyari Ferdi.”
“Tunggu dulu saja, Pak. Siapa tau Ferdi pulang.” Ayu menimpali. Dia menemui ayah mertuanya, diikuti dua anaknya.
Ayu berpikir agar ayahnya menunggu terlebih dahulu di rumah. Jika pun pergi, ke mana akan dicari? Dia masih ingat ucapan Ferdi kemarin malam yang meminta dipinjami kunci mobil suaminya untuk menjemput Joni.
Ferdi bisa jadi keluar diam-diam untuk menjemput Joni meski hanya seorang diri tanpa menggunakan mobil. Ratih juga berpikir sama, Ferdi tidak mungkin sampai masuk Tanah Haram.
“Bapak lihat semacam kamera di kamar Ferdi?” tanya Ratih, memastikan dugaannya.
Ratih belum kepikiran untuk membuka kamar Ferdi. Dia tiba-tiba teringat tentang handycam sehingga mencoba menanyakannya ke Samsudin. Jika benda itu ada di kamar, Ferdi tidak mungkin melanjutkan membuat video.
“Kamera?” Ayu bertanya. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja Ratih menanyakan kamera. Apa hubungannya dengan Ferdi?
“Handycam maksudnya, Mbak. Kata Nabila, Ferdi dan Joni ke sini sekalian membuat video buat dijadikan vlog mereka.”
“Bapak endak tau itu. Tadi bapak hanya lihat tas besar sama kamarnya berantakan, endak lihat-lihat kalau ada kamera.” Samsudin memotong ucapan Ratih.
Ratih pun memastikan. Dia buru-buru pergi ke kamar ayahnya untuk mengambil kunci cadangan. Setelah didapat, dia segera menuju kamar Ferdi. Ayu dan Samsudin pun muncul saat pintu terbuka.
Ratih melihat kamar Ferdi berantakan. Salah satu baju sang adik yang tergantung di hanger, terjatuh. Dia menatap sekeliling, sorot matanya tertuju ke meja belajar.
Di sana ada laptop dan handycam. Jika handycam masih ada, Ferdi pasti tidak sedang pergi untuk membuat vlog dengan Joni, kecuali membuat video lewat handphone.
“Handycam masih ada. Ferdi sepertinya memang hanya menjemput Joni. Dia juga sepertinya pergi terburu-buru, bajunya saja dibiarkan terjatuh. Jendela kamarnya juga belum sempat ditutup.” Ratih menjelaskan dugaan-dugaannya.
Entahlah Samsudin harus percaya atau tidak, kecemasan masih belum menurun. Bagaimanapun, Tanah Haram bukanlah tempat yang bisa didatangi dengan mudah. Tempat itu berbahaya, Fandi pun meninggal di sana. Karena kata Ratih Ferdi dan Joni suka merekam, mungkin Samsudin berpikir anak-anak itu pergi ke Tanah Haram.
Samsudin hanya tidak ingin Ferdi seperti Fandi. Dia tidak mau kehilangan orang tercinta. Kepergian Ferdi dari rumah sudah cukup membuatnya tersiksa karena harus menahan rindu. Niat hati ingin berbincang-bincang sekaligus memperdekat hubungan antara ayah dan anak, justru tidak berakhir dengan yang diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Haram
HorrorMendapat juara dua dalam parade menulis yang diselenggarakan Penerbit Nahwa. Demi konten, Ferdi, Nabila, dan Joni rela memasuki tempat berbahaya. Mereka mendatangi Tanah Haram, sebuah hutan belantara yang kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri. P...