“Fer, lagi apa?”
Ferdi sebenarnya mendengar panggilan Joni, tetapi ada sesuatu yang lebih menarik daripada sekadar menoleh. Dari kejauhan, Fandi sedang berdiri di samping pohon, dekat lampu jalan.
Awalnya terlihat samar-samar, setelah diperhatikan lebih saksama, orang berpakaian hitam itu memang Fandi. Dia berdiri dengan tatapan mengarah ke sang adik. Terakhir, sebelum pergi, Fandi melambai.
Dengan cepat, Ferdi menyusul, menghiraukan teriakan Joni yang memanggilnya. Namun, tatkala memasuki hutan, dia kehilangan jejak. Fandi dipanggil, tidak ada sahutan.
Tidak lama kemudian, Fandi muncul. Ferdi memanggil, tetapi masih tidak ada sahutan. Mumpung jalanan masih cukup terlihat, Ferdi pun memutuskan mengejar sang kakak lagi.
Makin dalam memasuki hutan, anehnya jalanan masih cukup terlihat. Fandi sesekali muncul, menghilang, terlihat kembali, dan sampai benar-benar tidak muncul lagi.
Selepas itu, pandangan Ferdi menjadi buram. Pohon-pohon tetap terlihat, tetapi tidak dengan jalan pulang. Dia tidak ingat jalan mana yang diambil karena terlalu fokus mengejar sang kakak.
“Tolooong!” Suara Ferdi bergema.
Dengan langkah penuh keraguan, Ferdi berdoa agar arah yang dituju bisa mengantarnya pulang. Dia berada di tempat baru, sangat asing dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan patokan.
Jika mendengar arus sungai, kesempatan untuk bisa pulang akan lebih besar. Akan tetapi, yang terdengar hanyalah deru napasnya sendiri.
Saat itu, harapan Ferdi hanya teman-teman dan keluarga. Dia yakin, mereka pasti akan mencarinya. Sambil berjalan dalam remang-remang, bayang-bayang Fandi kerap terlintas.
Bagaimanapun, Fandi adalah saudara kandung. Mau seburuk apa pun sifatnya, dia tetap anggota keluarga.
“Fandi!” teriak Ferdi, diselingi dengan memanggil teman, ayah, dan kakaknya.
Dari kejauhan, terlihat sesuatu yang menyala. Ferdi berhenti melangkah, pandangannya tertuju ke cahaya kecil di sampingnya.
“Tolooong!” Ferdi berteriak, meminta tolong seseorang di sana.
Karena minimnya pencahayaan, langkah Ferdi menjadi kesusahan. Sempat tersandung, kaki menabrak akar pohon, bahkan tergores duri tanaman.
Orang di sana pun berhenti. Wajahnya terlihat karena dekat dengan nyala obor.
“Tolooong!” Ferdi berteriak lagi.
“Kenapa ada di sini?” tanya laki-laki pembawa obor itu.
“Tolong saya, Pak. Saya tersesat.” Ferdi menjawab, lalu menjelaskan kronologi kejadiannya.
Kekhawatiran Ferdi makin berkurang setelah bertemu seseorang. Dia sangat berharap orang itu mau mengantarkannya pulang.
“Saya akan mengantarkanmu pulang, tapi setelah kamu bantu saya,” kata laki-laki seumuran dengan Fandi.
“Apa?” tanya Ferdi sambil masih menatap laki-laki berkumis itu.
Laki-laki berkaus dan bercelana panjang itu tidak menjawab. Dia berjalan, Ferdi mau tidak mau mengikutinya.
“Mas orang sini?” Ferdi mencoba mencari informasi orang di sampingnya.
“Bukan,” jawab laki-laki itu. Dia menyebut sebuah nama daerah.
Ferdi tersentak. Tempat orang itu berada cukup jauh dari Tanah Haram. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Akan tetapi, ada sedikit keraguan untuk mencoba menanyakannya kepada orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Haram
HorrorMendapat juara dua dalam parade menulis yang diselenggarakan Penerbit Nahwa. Demi konten, Ferdi, Nabila, dan Joni rela memasuki tempat berbahaya. Mereka mendatangi Tanah Haram, sebuah hutan belantara yang kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri. P...