“Besok malam aja, masih capek. Kamu, sih, enak, cuma duduk. Lah aku? Aku yang nyetir padahal itu mobil punyamu.”
Merasa tidak terima, Joni membantah, “Aku juga nyetir, cuma ... memang kamu yang lama, he-he.”
Ferdi berdecak kesal. Dia memilih langsung ambruk ke kasur, membelakangi Joni, dan langsung menarik selimut. Tubuh perlu istirahat, selama liburan pun juga tidak banyak tugas yang harus dikerjakan. Mereka bisa lebih banyak waktu luang, tidak perlu harus terburu-buru.
Hanya tinggal Joni yang masih terjaga. Karena sudah terbiasa tidur di atas jam sebelas malam, rasa kantuknya belum datang. Kamar tidur cukup luas itu hanya berisikan beberapa barang dan tidak ada satu pun yang menarik perhatian.
Ferdi meninggalkan rumah sejak lulus SMP. Dia membawa hampir semua barang-barangnya, termasuk poster pemain bola favoritnya. Di kota, laki-laki berkulit lebih putih dari Joni itu tinggal bersama Rudiyanto, pamannya.
Dari SMP sampai kuliah, hanya terhitung tidak lebih dari tiga kali pulang kampung. Sewaktu disuruh balik, ada-ada saja alasan, bahkan tetap tidak tergerak saat Samsudin sakit. Ferdi lebih suka di kota, berkumpul dengan teman-teman daripada kembali ke desa.
Joni adalah teman Ferdi, sekaligus tetangga terdekat. Mereka baru bisa dibilang akrab ketika duduk di kelas satu di SMA yang sama. Sementara Nabila, perempuan yang terkadang memakai kacamata itu baru dikenal saat kelas dua.
Joni-lah yang pertama kali mengajak Nabila dan Ferdi membuat konten. Awalnya hanyalah konten yang berisi game, tetapi karena kurang diminati, entah kenapa Joni tiba-tiba mengganti dengan hal-hal berbau horor.
Konten-konten horor itu cukup disukai, beberapa video memiliki jumlah viewers dua kali lebih banyak daripada konten pertama. Mereka juga menerima tantangan dari para komentator dan terakhir menerima tantangan mengeksplorasi sebuah tempat bernama Tanah Haram.
Joni yang belum ngantuk, memilih duduk di kursi belajar yang terletak dekat jendela. Dia teringat jika akan meng-upload video baru, sebuah video ketika berada di sebuah gedung kosong. Harapannya cukup besar apa yang di-upload bisa mendapatkan viewers banyak, bahkan subscriber.
Tangannya lihai memencet keyboard, mengetik kata-kata menarik, mengajak orang-orang agar mau menonton. Sebenarnya, Joni kurang begitu suka memakai jaket, tetapi karena hawa terasa begitu dingin, dia mengenakannya, hasil dari mengambil milik Ferdi yang dari dahulu memiliki hobi mengoleksi jaket.
Terasa lebih baik sebelum memakai jaket. Sesekali saat tengah sibuk memikirkan kalimat apa yang akan diketik, ada sesuatu di luar rumah yang seakan-akan meminta Joni untuk melihatnya. Beberapa kali dia menoleh ke jendela, rasa penasarannya makin kuat.
Gorden ditarik, suasana di luar sepi dan remang-remang. Samping rumah itu menghadap hutan, hanya ada pepohonan, sebuah jalan setapak, dan dua buah lampu jalan. Makin diperhatikan, sama sekali tidak ada sesuatu yang menarik perhatian.
Pekatnya hutan sama sekali tidak bisa terlihat lebih dalam. Angin tiba-tiba berembus, menjatuhkan dedaunan dan ranting pohon. Salah satu lampu jalan di sana aneh, berkedip-kedip; mati-hidup, mati-hidup sendiri cukup lama.
“Rusak atau gimana itu?”
Pandangan Joni masih mengarah ke lampu aneh itu sampai tiba-tiba lampu mati cukup lama. Dugaannya benar, memang rusak dan minta diganti. Karena merasa bosan, gorden pun ditutup. Akan tetapi, tiba-tiba lampu yang semula padam, menyala kembali.
Tepat di bawah terpaan cahaya, tiba-tiba muncul makhluk berbentuk aneh: tinggi lebih dari dua meter, berwarna hitam, sedikit membungkuk, dan memiliki kuku panjang sampai hampir menyentuh tanah. Tanpa rambut, ukuran kepala lebih besar dari manusia, hanya terlihat bagian punggung.
Makhluk itu masih berdiri, jemarinya bergerak-gerak, kuku panjangnya menggaruk-garuk tanah. Joni yang melihat itu, membatu dengan tatapan mengarah ke tiang lampu sampai pada akhirnya berhasil menggerakkan tubuh, dan langsung mundur teratur tanpa menutup gorden.
Joni terus berjalan mundur sampai kakinya terpentok kasur. Dengan tatapan masih mengarah ke makhluk aneh itu, salah satu tangannya menggerak-gerakkan selimut Ferdi.
“Ferdi, bangun, Fer,” kata Joni mulai gemetar. Dia mulai merasa cemas dengan pandangan tidak beralih sedikit pun.
Yang dibangunkan tidak kunjung bergerak, Ferdi hanya terbatuk-batuk dengan mata masih terpejam.
Sebenarnya, Joni adalah seorang yang penakut. Dia sok pemberani di hadapan teman-temannya. Akan tetapi, ketika sendiri, sifat aslinya akan muncul.
Makhluk aneh di bawah terpaan lampu jalan masih berdiri sebelum perlahan mulai bergerak. Mata Joni pun mengikuti arah pergerakan makhluk tersebut yang tengah melangkah ke sisi timur.
Joni masih berdiri di tempat yang sama sampai tiba-tiba muncul sebuah tangan hitam berkuku panjang di belakang jendela. Tangan itu bergerak-gerak, mencakar kaca, membuat goresan cukup panjang.
Laki-laki berambut pendek itu kaget bukan kepalang, lalu menghempaskan diri ke kasur. Ditariknya selimut sampai menutup seluruh tubuh. Napasnya mendadak sesak, detak jantung berdebar kencang.
***
Pagi pertama di desa, kediaman Samsudin kembali kedatangan tamu. Beruntung halaman rumah itu cukup luas sehingga mampu menampung dua buah mobil sekaligus.
Samsudin sendiri masih berbaring di kasur. Tubuhnya lemas, bahkan berjalan pun kedua kakinya gemetar. Ratih-lah yang sekarang bertugas menggantikan sang ayah sejak beliau sakit.
Perempuan yang sampai sekarang masih sendiri itu, sudah terbangun pagi-pagi buta. Tugasnya selalu banyak: memasak, menyapu, mencuci, mengurusi orang tua, bahkan pergi ke kebun. Pekerjaan yang seharusnya dibagi-bagi itu, justru dilakukan seorang diri.
Ferdi terbangun lebih dahulu daripada Joni. Ditatapnya jendela, gorden masih terbuka, bahkan terlihat goresan memanjang di kaca. Pikirannya tidak aneh-aneh, mungkin dahulu ada sesuatu yang menggores kaca itu.
Joni masih terlelap dengan tangan kiri terulur ke lantai. Tidak biasanya dia tidur dengan kaus masih melekat di tubuh. Ketika Ferdi menginap di rumah Joni, sahabatnya itu pasti menanggalkan pakaian ketika hendak tidur, tidak peduli hawa sedang dingin.
Dibiarkannya Joni masih berada dalam alam mimpi. Ferdi sudah tahu bahwa sahabatnya baru akan bangun lewat dari pukul delapan. Setelah menatap jam dinding yang berada di atas pintu, Ferdi beranjak dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi.
“Lagi ngapain?” tanya Ferdi saat melihat Nabila berada di dapur, tengah menghadap kompor dengan tangan memegang sudip.
Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab, tetapi karena tidak sadar saja Ferdi menanyakan demikian.
“Lagi masak, bantu-bantu mbakmu,” jawab Nabila, menoleh sekilas ke arah Ferdi berdiri.
Masalah memasak, Nabila sudah jago. Ibunya memiliki usaha katering sejak dia masih duduk di bangku SMA. Ketika memiliki waktu luang, tidak perlu disuruh pun, Nabila akan membantu meringankan pekerjaan sang ibu.
Meskipun memiliki sifat judes dan terkesan galak, sikap pedulinya patut diacungi jempol. Nabila tidak segan-segan membantu seseorang tanpa harus disuruh, kecuali masalah pekerjaan rumah. Dia juga bangun lebih pagi dari Ferdi, malahan sudah sibuk bantu-bantu di dapur.
Ferdi menatap sekeliling, mencari-cari seseorang yang tidak lain adalah Ratih, kakak keduanya, anak perempuan satu-satunya Samsudin.
“Mbak mana?” tanya Ferdi sambil berjalan memasuki dapur.
“Tadi di luar sama seseorang, kagak tau kenapa belum balik-balik,” jawab Nabila dengan tangan masih sibuk mengaduk-aduk masakan di wajan.
“Siapa—”
“Ferdi.”
Terdengar seseorang dari arah belakang Ferdi berdiri. Suaranya tidak asing. Ferdi menerka-nerka sekian detik sambil membalikkan badan. Dia terkejut dengan kehadiran seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Haram
HorrorMendapat juara dua dalam parade menulis yang diselenggarakan Penerbit Nahwa. Demi konten, Ferdi, Nabila, dan Joni rela memasuki tempat berbahaya. Mereka mendatangi Tanah Haram, sebuah hutan belantara yang kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri. P...