[Jika kalian berani, lakukan seperti apa yang saya katakan.]
Setelah membaca pesan dari akun No Name, Joni keluar kamar, mencari keberadaan Ferdi. Dia yang tadi baru saja masuk kamar dan melihat laptop masih dalam keadaan menyala, terlintas dengan komentar sebelumnya di akun tersebut. Setelah ditunggu, akhirnya mendapat balasan.
Ferdi ternyata berada di kamar Ayu, terdengar dari suaranya yang sedang berbicara dengan Farizal. Meskipun pintu dalam keadaan setengah terbuka, Joni tetap mengetuk seraya memberi salam. Semua orang di sana langsung menoleh, kecuali Afrizal, anak kedua Fandi yang masih terlelap.
Joni menyunggingkan senyum kepada Ayu, lalu berdesis sambil menatap Ferdi. “Fer, sini sebentar,” suruhnya kemudian.
Keluar kamar, Joni mengatakan tentang akun itu. Mereka segera pergi, tetapi langkahnya terhenti saat terdengar panggilan Nabila dari arah belakang.
“Ibuku masuk rumah sakit,” ucap Nabila. Wajahnya sendu, terlihat juga bekas air mata di kedua pipinya.
Mendengar itu, Joni dan Ferdi tersentak. Nabila kembali menjelaskan bahwa ibunya, Septi, ditemukan pingsan di kamar mandi. Kemudian, orang-orang rumah yang menemukan Septi, bergegas membawa wanita itu ke rumah sakit.
Ayu tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Dia tidak sengaja mendengar percakapan antara Nabila dan Ferdi. Ditatapnya Ferdi, lalu perempuan berumur 27 tahun itu menyuruh adik suaminya mengantarkan Nabila pulang.
Baik maupun Joni sempat ragu, mengingat ucapan Nabila yang terkesan mendadak. Mereka belum persiapan apa-apa, itu yang menjadi masalahnya.
“Kamu antar saja Nabila dulu, nanti ke sini lagi,” kata Ayu, memberi saran.
Nabila merasa lega dan bahagia ketika Ferdi menyanggupi. Disekanya air mata, lalu dia bergegas, kembali ke kamar untuk bersiap-siap.
“Biar aku yang anter Nabila, kamu di sini saja,” ucap Joni sesampainya di kamar.
Langkah Ferdi terhenti. Dia berbalik badan. “Udahlah, enggak apa-apa. Lagian, cuma aku yang hafal sama jalan ke sini,” katanya.
“Aku masih ada urusan di sini. Kalau mau, kamu bisa sekalian pulang. Nanti, sisa-sisa barangmu biar aku saja yang bawa. Aku bisa pakai mobil punya Fandi.” Ferdi berucap lagi.
“Kenapa malahan panjang urusannya? Aku juga belum mau pulang. Nabila biar aku saja yang anter, nanti aku ke sini pakai GPS. Kamu di sini saja,” sahut Joni.
Mereka sempat adu debat, tetapi akhirnya tetap Joni-lah yang pergi. Dia juga berpikir, jika ada di rumah Samsudin, jatuhnya seperti orang asing. Joni akan kesulitan kalau tidak ada Ferdi, pasti menjadi canggung.
Ferdi berniat turut menamani, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Joni. Sebagai jalan keluarnya, Joni mengatakan bahwa seandainya dirinya takut tidak tahu arah jalan pulang, nanti Ferdi akan menyusul.
Karena sudah memakan waktu cukup lama, Ferdi mengiakan saja ucapan Joni. Dia berpikir, sahabatnya pasti masih ingin meliput lagi di Tanah Haram, terlebih ketika katanya akun itu sudah membalas.
***
“Besok malam adalah waktu yang tepat untuk melakukannya.”
Akun itu membalas kembali setelah hampir satu jam setelah Ferdi mengomentari balasannya.
[Kamu itu siapa sebenarnya? Dan kenapa kami harus mengikuti apa yang kamu mau?]
Balasan terkirim, laptop dimatikan. Sudah cukup bagi Ferdi tentang Tanah Haram. Jika mau, dia bisa saja tidak meng-upload video di sana atau diganti dengan yang lain.
Ferdi beranjak dan tidak sengaja menatap seseorang di hutan. Orang yang tengah mencangklong tas itu adalah Samsudin. Tidak lama kemudian, Ratih juga muncul.
Suara ketukkan mengagetkan Ferdi. Pintu kamar terbuka, lalu muncul Ayu. Dia berkata setelah menyunggingkan senyum. “Sudah makan?”
Ferdi menggeleng. Meskipun sarapan tadi pagi sudah terurai dalam perut, dia belum merasa lapar. Akan tetapi, Ayu justru menyuruhnya makan karena sudah waktunya makan siang.
Dari dalam tas yang terbuat dari karung, Samsudin mengeluarkan hasil kebun. Di lantai tergeletak singkong dan pepaya matang. Sementara Ratih membawa daun singkong, cabai, dan bunga pepaya.
Saat melihat hasil kebun itu, Ferdi teringat masa lalu ketika sang ayah mengajaknya ke kebun. Dia juga turut membantu membawa hasil panen, bahkan kerap membakar singkong bersama Fandi. Tidak jarang, ayahnya memanjat pohon kelapa tanpa disuruh terlebih dahulu. Kenangan masa lalu yang sangat indah.
“Temen-temenmu mana?” tanya Ratih karena Ferdi makan seorang diri.
Ferdi pun menjelaskan masalah Nabila sebelum melanjutkan makan.
***
“Besok aja pulangnya. Atau kamu enggak perlu ke sini lagi, sekalian pulang saja kamu,” ucap Ferdi sambil bertelepon.
Setelah ditimbang-timbang, Ferdi memutuskan untuk tidak melanjutkan membuat video di Tanah Haram. Dia merasa di sana terlalu berbahaya, takutnya akan terjadi hal yang lebih buruk lagi jika tetap melanjutkan.
Ferdi juga sudah menanggung risiko jika Joni akan marah dan menganggapnya sebagai pengecut karena tidak berani memasuki tempat berbahaya itu. Dia berpikir, karena Joni sudah telanjur di tempat kelahiran, bisa sekalian pulang saja.
Namun, ternyata Joni tidak mau. Dia bersikeras kembali dan tetap melanjutkan membuat video. Setelah mengantar Nabila ke rumah sakit, dia hanya mampir ke warteg untuk makan, tidak berniat pulang ke rumah.
Setelah istirahat, makan, dan mengisi bensin, Joni akan segera kembali menemui Ferdi. Terlebih, dia juga membaca komentar akun No Name. Akun tersebut seakan-akan menantangnya untuk tetap menaklukkan Tanah Haram.
Meskipun Joni sendiri tahu di sana banyak hal menakutkan, tetapi sepertinya channel YouTube-nya bisa lebih ramai ketika meng-upload konten di Tanah Haram.
“Enggak bisa, kita tetap harus lanjutkan membuat konten ini. Kita udah sampai setengah jalan, masa gagal. Aku enggak setuju sama kamu,” protes Joni.
“Apa kata orang lain kalau kita sampai gagal? Kolom komentar akan dipenuhi dengan sindiran. Apa kamu yakin komentar akun itu tidak dibaca akun-akun lain? Awalnya, kamu juga setuju, ‘kan kita buat konten di sana, nerima tantangan darinya?” Joni berusaha meyakinkan Ferdi.
Hal menyebalkan dari Ferdi terjadi lagi. Dia selalu saja membuat usaha orang gagal karena terlalu banyak pertimbangan yang dipikirkan. Jika Nabila atau Joni tidak selalu meyakinkannya, konten pertama pun tidak akan bisa sampai ter-upload.
“Kita bisa buat konten di tempat lain. Kali ini, kamu percaya sama aku—”
“Kalau kamu tidak mau, aku saja yang melanjutkan!” Joni memotong ucapan Ferdi.
Sebelum Ferdi membalas, telepon darinya segera diputuskan. Jika bukan karena menyimpan data-data penting, HP yang digenggam bisa saja dibanting saking kesalnya dengan tingkah Ferdi.
Joni meremas tangan, geram dengan Ferdi. Dia sudah merasa sahabatnya memang kurang berniat membuat konten horor. Namun, yang lebih menyebalkan lagi, Ferdi seolah-olah tidak peduli dengan perjuangan teman-temannya. Jika bukan sahabat, Ferdi sudah digantikan orang lain.
Setelah azan magrib selesai berkumandang, Joni akan pergi dari rest area. Namun, sebelumnya dia akan mengunjungi salah satu sahabat lama untuk meminjam handycam karena miliknya berada di rumah Ferdi.
Joni sudah berencana tidak akan ke rumah Ferdi terlebih dahulu dan memilih untuk membuat konten sendirian. Tanpa Ferdi dan Nabila, dia juga bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Haram
HorrorMendapat juara dua dalam parade menulis yang diselenggarakan Penerbit Nahwa. Demi konten, Ferdi, Nabila, dan Joni rela memasuki tempat berbahaya. Mereka mendatangi Tanah Haram, sebuah hutan belantara yang kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri. P...