Ferdi masih menunggu pesannya dibalas Joni. Dia yakin sahabatnya sengaja mematikan sambungan internet agar tidak bisa dihubungi. Jika dari awal akun No Name itu tidak berkomentar, pasti semua akan baik-baik saja.
Meskipun berkomentar, jika Ferdi tidak menanggapi, juga akan baik-baik saja. Namun, semua sudah terlambat. Sifat buruk Joni muncul, sifat keras kepalanya itu yang tidak disukai Ferdi.
“Udah gila atau bagaimana, sih, hah?!” Ferdi mengumpat saat panggilannya tidak dijawab.
Laki-laki itu lantas melempar ponsel ke kasur, lalu berjalan menuju jendela. Beban yang awalnya sedikit berkurang, kini bertambah lagi. Ferdi pusing, kesal, dan marah. Rasa-rasanya, dia ingin sekali saja menonjok muka Joni agar sahabatnya mau menurut apa kata orang.
Tidak mungkin juga baginya menyusul Joni, belum tentu tahu juga lokasi keberadaannya. Dalam kekesalan dan kemarahan, Ferdi juga khawatir terhadap sahabatnya. Jika tadi siang dia yang mengantar Nabila atau mungkin sama-sama mengantar, Joni tidak akan bertindak konyol.
“Fer, bantuin Bapak gelar tiker.”
Suara dari belakang membuat lamunan Ferdi ambyar. Dia menoleh, Ratih tengah berdiri di ambang pintu.
“Kamu kenapa?” tanya Ratih. Ferdi tampak aneh menurutnya.
Kedua mata Ferdi terbuka lebar. “Hah? Enggak kenapa-kenapa,” jawabnya kemudian.
“Ya, udah. Bantuin Bapak gelar tiker, ya?” Ratih mengulang ucapannya.
Ferdi mengangguk. Sebelum melangkah, tatapannya mengarah ke kasur, mengamati ponselnya. Benda itu masih dalam keadaan mati, berarti belum ada pesan balasan dari Joni. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa jadi sahabatnya sudah membalas. Daripada dibuat penasaran, Ferdi pun mengambil handphone. Ternyata tidak ada notifikasi masuk.
***
Para warga yang mengikuti kegiatan tahlil sudah pulang semua, rumah Samsudin yang sebelumnya ramai, menjadi sepi lagi. Ratih dan Ayu keluar dari dapur sambil membawa baskom. Mereka mengambil gelas-gelas kotor dan meletakkannya dalam wadah.
Samsudin yang tadinya berada di teras, masuk rumah, lalu mengunci pintu. Dia melihat Ratih dan menantunya tengah berkutat dengan gelas-gelas kotor. Tidak lama kemudian, Ferdi pun muncul.
Ferdi berjalan dengan tangan kiri mengacak-acak rambut, sedangkan tangan satunya memegangi ponsel. Joni belum membalas, pesan darinya masih centang satu.
“Kamu itu kenapa, Fer?” tanya Ratih. Dia makin yakin ada sesuatu yang terjadi dengan adiknya.
“Hah?” Joni menjawab singkat dengan pandangan tertuju kepada Ratih.
“Kamu itu kenapa? Dilihat-lihat, dari tadi kayak gelisah. Lagi mikirin apa? Temenmu si Nabila sama Joni?” Ratih bertanya lagi, sedangkan Ayu dan Samsudin memilih menjadi pendengar.
Ferdi sempat berpikir akan mengatakan masalah Joni, siapa tahu sang ayah dan Ratih bisa membantu. Namun, makin dalam dipikir, sepertinya mereka tidak perlu diberi tahu. Lagi pula, yang terjadi berawal dari dirinya dan Joni sehingga tidak perlu bawa-bawa orang lain.
“Kagak lagi mikirin apa-apa,” jawab Ferdi pada akhirnya meski terpaksa berbohong.
Ferdi lantas memasukkan handphone ke saku celana samping. Sedari tadi dia belum sempat makan, hanya makan dua buah roti. Perutnya keroncongan. Ferdi berjongkok, lalu mengambil roti yang masih tersisa.
“Kabar ibunya temen kamu bagaimana?” tanya Samsudin. Dia duduk bersila menghadap Ferdi.
Ferdi menggeleng. Setelah magrib tadi, dia menyempatkan memanggil Nabila, tetapi tidak bisa terhubung. Di-chat pun hanya centang satu, pertanda Nabila belum membuka ponsel.
“Orangnya belum bisa dipanggil,” jawab Ferdi sebelum memakan roti.
“Semoga ibunya baik-baik saja, cepet sembuh.” Ayu menimpali.
Ayu berdiri sambil membawa baskom berisi gelas dan piring kotor. Dia berjalan ke dapur, lalu tidak lama kemudian disusul Ferdi. Sebenarnya, ada rasa keraguan dalam diri Ferdi. Dia bingung harus mengatakan apa kepada Ayu.
“Mbak,” panggil Ferdi.
Yang dipanggil menoleh, sedangkan Ferdi dibuat gugup.
“Apa, Fer?”
Setelah terdiam beberapa detik, Ferdi pun mengutarakan apa keinginannya yang ingin meminjam mobil Fandi. Tidak lama kemudian, Ratih datang.
“Buat apa? Udah malam, kagak usah keluyuran,” kata Ratih memberi tahu.
“Mau ke mana?” Ayu bertanya. Nada bicaranya lembut, tidak seperti Ratih yang ceplas-ceplos.
Yang jadi masalah datang, Ferdi bingung penjelasan apa yang akan dikatakan ke Ayu dan Ratih. Setelah cukup lama berpikir, pada akhirnya Ferdi berkata jujur bahwa dirinya ingin menjemput Joni.
“Kenapa ke sini kagak besoknya saja? Seharusnya dia sudah tau kalau tempat itu berbahaya. Kamu bilang sama Joni, suruh putar balik,” omel Ratih dengan suara cukup lantang.
“Paling dia juga belum jauh. Udah, buruan kamu bilang! Ke sininya besok saja.” Ratih menambahkan. Dari raut wajahnya, dia kesal terhadap Joni dan Ferdi.
Ferdi juga sudah memberitahukan bahwa dirinya telah menyuruh Joni tidak perlu kembali, bahkan meminta agar pulang saja. Namun, ponsel sahabatnya tidak bisa dihubungi. Ferdi terpaksa tidak menjelaskan masalah konten itu, pasti akan makin rumit, Ratih pun makin emosi.
Ratih terdiam, dia tengah berpikir. Samsudin pun muncul karena mendengar keributan di dapur.
“Kayak kagak ada hari saja.” Ratih berbicara sendiri, mengungkapkan kekesalannya terhadap Joni.
“Udah, biarin saja dia. Kamu tidak perlu pergi, di rumah saja. Bapak ndak mengizinkan,” ucap Samsudin. Semua orang di dapur, seketika memandanginya.
“Tapi, Pak,” sergah Ferdi. Bagaimanapun, dia tidak tega jika membiarkan Joni tetap pulang ke rumahnya.
“Nanti kamu hubungi lagi. Kalau masih belum bisa, ya, sudah, biarin saja. Meskipun Joni itu teman kamu, Bapak endak mengizinkan kamu keluar rumah.” Nada bicara Samsudin terkesan mengancam.
Ferdi makin terpojok. Tidak ada satu pun yang mendukung. Ayu pun sama halnya dengan Samsudin dan Ratih.
***
Ferdi masih tetap terjaga sampai hampir pukul sebelas malam. Dia tidak bisa tidur, masih kepikiran Joni. Ponsel sahabatnya masih belum aktif, membuat Ferdi kesal.
Tidak mungkin baginya nekat keluar rumah atau mengambil kunci mobil Fandi tanpa izin. Sekalipun bisa, dia tidak tahu di mana Ayu meletakkan kunci. Jika pun berjalan kaki, akan banyak memakan waktu dan tentu harus melewati Tanah Haram. Bisa jadi dirinya yang akan kena sial.
Teman-teman se-desanya kebanyakan merantau ke kota atau menetap di tempat lain. Sempat ingin menyuruh Dayat, tetapi sahabat lamanya itu tidak mau dan kendaraan miliknya sedang berada di bengkel.
Dalam posisi berbaring dan mencoba terlelap, ponsel Ferdi menyala. Joni mengirim sebuah video. Ferdi beranjak, lalu menunggu video tersebut selesai terunduh.
“Maunya apa, sih, dia?” Ferdi mengumpat, kesal setelah menonton video yang dikirim Joni.
Ferdi mengetik pesan balasan. Karena saking kesalnya, sampai-sampai hampir selalu salah dalam mengetik. Pesan terkirim, hanya centang dua dan belum terbaca. Ferdi pun mengirim pesan lagi dan terakhir memanggil Joni.
Joni sengaja mengabaikan panggilan, membuat Ferdi makin dibuat kesal karenanya.
“Angkat, Jon, angkat!”
Panggilan tidak terhubung, handphone pun dilempar ke bantal. Saat mengetahui Joni sudah berada di Tanah Haram, membuat Ferdi makin tidak tenang. Pikirannya kalut, tidak bisa diajak berpikir.
Pandangannya beralih ke arah jendela. Ferdi teringat saat dirinya, Joni, dan Nabila keluar rumah dari sana. Dia beranjak dari tempat tidur, lalu bergegas pergi ke dapur untuk mengambil sandal. Senter diambil, ponsel, sudah berada dalam saku celana, Ferdi pun membuka jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Haram
HorrorMendapat juara dua dalam parade menulis yang diselenggarakan Penerbit Nahwa. Demi konten, Ferdi, Nabila, dan Joni rela memasuki tempat berbahaya. Mereka mendatangi Tanah Haram, sebuah hutan belantara yang kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri. P...