BAGIAN 14

982 88 2
                                    

Ferdi merasa ada sesuatu yang terjatuh di kepala. Saat dipegang, terasa kental dan lengket. Matanya membelalak setelah tahu yang terjatuh tadi adalah setetes darah.

Perlahan, dia mendongak. Tubuhnya kaku dengan mulut terbuka saat menatap seseorang tergantung di pohon, tepat di atas kepala. Detak jantung Ferdi berdebar kencang, napasnya terhenti sekian detik.

Embusan dan tarikan napasnya begitu cepat, lalu dia berteriak, memanggil sang kakak. Tubuhnya seketika ambruk, langsung lemas. Tanpa sadar, air mata mulai menitik.

Ferdi masih belum percaya dengan apa yang dilihat. Sang kakak tergantung dengan leher terlilit tali tambang. Tubuh Fandi seakan-akan melayang di udara, lalu bergerak-gerak akibat tiupan angin.

Sekali lagi, laki-laki itu berteriak, mengeluarkan semua suaranya, memanggil Fandi yang sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Ferdi berusaha bangkit, tetapi tiba-tiba ... tali tambang itu putus, membuat tubuh Fandi terjatuh, menghantam dirinya.

“Huaaa!” Ferdi berteriak dan refleks terbangun dari tempat tidur.

Napas sesak, jantung berdebar, dan keringat membanjiri wajah, juga bagian anggota tubuh Ferdi. Ditatapnya sekeliling, dia berada di kamar yang temaram. Laki-laki itu menyugar, merasa sedikit tenang saat ternyata yang dialami hanya mimpi.

Tangannya kembali ke kasur dan saat itu dibuat kaget tatkala menyentuh sesuatu. Ternyata tangan Joni. Dalam remang-remang, Ferdi mencoba menenangkan diri.

Mimpinya begitu menakutkan dan terasa nyata. Bayang-bayang Fandi masih terlintas, membuat pikirannya mulai dikerubungi pikiran-pikiran buruk.

Tok! Tok! Tok!

Ferdi menoleh ke sumber suara. Terdengar ketukan di jendela, hanya saja karena remang-remang, yang terlihat hanya pandangan buram.

Tok! Tok! Tok!

“Siapa di sana?”

Suara Ferdi memecah keheningan. Dia terbangun pukul dua pagi, itu pun karena mimpi buruk. Semua orang sudah tertidur, dengkuran Joni terdengar, cukup nyaring, sebuah tanda bahwa anak itu begitu kelelahan.

Masih belum ada sahutan. Ferdi memberanikan diri menghampiri jendela setelah mencari handphone yang ternyata ada di tepi ranjang. Layar menyala, cahayanya menyilaukan mata.

Setelah menyalakan senter, HP diarahkan ke jendela. Namun, karena terhalang gorden, Ferdi kesusahan melihat keadaan di luar.

Tok!

“Siapa?” ucap Ferdi cepat.

Selimut disingkirkan, Ferdi berjalan menuju jendela. Gorden dibuka, pemandangan di luar gelap gulita. Salah satu lampu jalan di sana berkedip-kedip, membuat Ferdi terus menatap heran ke sana.

Lampu yang semula berkedip-kedip, menyala benderang. Jalan di sana menjadi cukup terang. Pandangan Ferdi seketika beralih ke hutan. Dia melihat sorotan cahaya dari dalam sana. Tidak hanya satu, tetapi terlihat dua sorotan.

Makin diperhatikan, samar-samar dari kejauhan muncul seseorang. Beberapa detik kemudian, muncul lagi empat orang secara bersamaan dan salah seorang di antara mereka adalah Samsudin.

Empat orang di sana tengah membawa seseorang yang diletakkan di tengah-tengah bentangan kain jarik. Tiap ujung kain tersebut dipegang dan mereka berjalan bersamaan keluar hutan. Di belakang mereka juga ada satu orang lagi, membawa petromaks.

Perasaan Ferdi mulai tidak enak, terlebih dengan apa yang dibawa mereka. Empat orang itu berjalan sambil sesekali menutup hidung, seperti menahan bau tidak enak. Mereka bergerak makin mendekati lampu jalan. Namun, sayang, Ferdi tidak tahu siapa yang tengah dibawa karena tertutup daun pisang, hanya terlihat bagian telapak kaki.

Tanah Haram Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang