Ferdi masih tetap mencari keberadaan Joni. Dia begitu berharap bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Handycam dan handphone milik Joni juga turut dibawa.
Hampir pukul dua belas malam, usaha Ferdi sama sekali belum membuahkan hasil. Dia selalu membuang pikiran buruk terhadap Joni, selalu meyakinkan diri bahwa sahabatnya akan ditemukan dalam kondisi baik-baik saja.
"Jon! Joni!"
Ferdi terbatuk-batuk. Suaranya hampir habis karena terlalu sering berteriak. Sejenak, langkahnya terhenti. Istirahat beberapa menit di bawah pohon, menyandar punggung di batang pohon adalah yang sedang dilakukan Ferdi. Jantungnya perlu diistirahatkan sejenak sampai tidak lagi berdetak kencang.
Sambil beristirahat, bayang-bayang kebaikan Joni terlintas. Dia sering membantu Ferdi dalam hal apa pun, termasuk masalah keuangan.
"Kamu pakai saja uang ini buat lunasin tagihan-tagihan di sekolah."
Tanpa pikir panjang, Joni menyerahkan beberapa lembar uang kepada Ferdi. Dia tahu bahwa sahabatnya sedang membutuhkan uang untuk membayar SPP dan lain sejenisnya.
Meskipun mereka baru kenal satu tahun, Joni mulai makin akrab dengan Ferdi. Berangkat sekolah pun pasti selalu bersama, satu motor ditunggangi dua orang. Jika kehabisan bensin, mereka akan menyisihkan uang jajan, bahkan Joni terlebih dahulu mendatangi pom bensin agar Ferdi tidak perlu mengeluarkan uang.
"Pakai saja buat bayar mereka. Kalau perlu, lemparkan tepat di wajahnya, biar kagak lagi ngoceh," ucap Joni saat itu. Perkataannya tidak lebih dari sekadar bercanda, tujuannya agar bisa sekalian menghibur Ferdi.
Tanpa pikir panjang, Joni memasukkan uang ke saku Ferdi. Dia pun bergegas keluar dari toilet, meninggalkan Ferdi sendirian di sana sebelum pada akhirnya sahabatnya juga turut keluar.
Kondisi ekonomi paman dan bibi Ferdi saat itu memang sedang melemah. Dia pernah sekali bekerja sebagai seorang kuli bangunan setelah sekolah, tetapi pamannya melarang. Beliau mengatakan agar Ferdi tidak perlu bekerja, cukup pikirkan sekolah dan belajar.
Selain uang, Joni selalu menawarkan diri agar Ferdi membonceng di motornya. Jarak sekolah dari rumah cukup jauh. Jika naik angkot, pasti akan mengeluarkan biaya; jika jalan kaki, akan memakan waktu dan bisa telat.
Uang bensin, Joni tidak pernah meminta agar tidak dibelikan oleh Ferdi. Dia memang kerap diberi selembar uang untuk menambah bensin, tetapi Joni juga kerap mengisi bahan bakar terlebih dahulu agar sahabatnya tidak perlu ikut-ikutan membayar.
Begitu banyak kebaikan Joni, membuat Ferdi harus membalas kebaikannya. Meskipun sahabatnya kadang menyebalkan, sering membuat seseorang naik pitam, susah diatur, dan kerap bertengkar, hubungan persahabatan dirinya dan Joni tetap berjalan.
Ferdi menggeleng-geleng, membuyarkan kenangan masa lalu. Waktu istirahat sudah habis, tidak ada waktu berleha-leha lagi baginya. Dia harus mencari Joni, bagaimanapun caranya.
Dalam kegelapan malam, Ferdi hanya tertolong cahaya senter. Entah apa yang terjadi jika benda itu mati. Yang jelas, pasti yang terlihat hanyalah warna hitam. Dia berdiri, lalu menarik napas dalam-dalam, dan terakhir diembuskannya perlahan.
Baru saja berjalan satu langkah, senter yang dipegang Ferdi berkedip-kedip. Dia menepuk-nepuk kepala benda itu ke telapak tangan, berharap akan bisa kembali normal.
Semua gelap, senter itu mati. Pandangan Ferdi menjadi hitam. Dengan segera, handphone di saku belakang diambil, senter pun dinyalakan. Tiba-tiba ....
Ferdi menjerit seraya melompat ke belakang saking kagetnya dengan apa yang baru saja dilihat. Beruntung handphone tidak sampai terlempar. Embusan napas Ferdi mendadak berat. Saat cahaya senter kembali mengarah ke depan, sesuatu yang membuatnya kaget itu sudah tidak ada.
Bersamaan dengan senter dinyalakan, sekonyong-konyong tampak sesosok wajah hitam, bola mata hilang satu, dan mulut menganga begitu lebar.
Dengan deru napas belum normal, senter HP yang dipegang Ferdi, diajak berkeliling. Sosok menakutkan itu sudah menghilang. Karena penampakannya yang secara tiba-tiba, hampir saja membuat Ferdi terjengkang.
Belum juga perasaannya membaik, dari arah belakang, terdengar langkah seseorang yang bergerak cepat. Suaranya sangat jelas, Ferdi pun sontak berbalik. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Saat sorot mata Ferdi menatap layar handphone, terpampang jelas jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Menurut ucapan-ucapan orang, di waktu-waktu seperti itu para makhluk halus lebih sering berinteraksi.
Dari arah belakang, lagi-lagi terdengar sesuatu. Suara benda jatuh. Ferdi terdiam sejenak, ada rasa enggan untuk menoleh. Namun, karena rasa penasaran terus-menerus dipompa, dia pun berbalik badan perlahan.
Tidak ada apa-apa. Ferdi menekur, dia dibuat terkejut saat melihat seutas tali tambang. Dia mengamati benda itu. Jika dilihat-lihat, tampak tidak asing. Dari warna, ukuran, dan panjang, hampir sama persis dengan yang ditemukan di jalan.
Tangan kiri Ferdi terulur ke bawah, hendak mengambil tali itu. Sudah hampir setengah membungkuk, tiba-tiba sesuatu terjatuh di dekat tali tambang tersebut.
Cairan putih bercampur merah dan ada sesuatu yang bergerak di tengah-tengah tali Pandangan Ferdi masih menatap cairan kental itu sampai lagi-lagi muncul lagi dari arah atas. Ferdi cukup yakin sesuatu yang menggeliat itu adalah belatung.
Perasaan Ferdi mulai tidak enak. Dia menelan ludah, embusan napasnya terdengar lebih jelas. Sekali lagi, Ferdi menelan ludah. Kali ini, dia memberanikan diri mengangkat tubuhnya.
Belum juga berdiri tegap, tubuh Ferdi dibuat kaku saat pandangannya tertuju ke sesosok bermuka gosong, bola mata hilang satu, dan dari dalam mulutnya yang mengaga, keluar air liur bercampur darah dan belatung.
Ferdi mendadak lemas, tetapi dia masih belum bisa menggerakkan tubuhnya. Mereka saling tatap dalam waktu sekian detik sampai tangan kurus sosok itu terangkat, menunjukkan kulit kehitaman yang di beberapa bagian sudah membusuk.
Tangan sosok itu terus terulur, menjangkau wajah laki-laki yang dilanda ketakutan di hadapan. Jemarinya terasa dingin dan lengket saat menyentuh kulit di pipi Ferdi. Kelima jarinya meregang, seakan-akan hendak meraup wajah Ferdi.
Ferdi masih terus menatap sosok di depan. Dia begitu ketakutan, ingin berlari, tetapi tubuhnya tidak bisa digerakkan. Area wajahnya terasa dingin saat jari-jari hitam itu masih bersemayam di setengah mukanya.
Aroma anyir dan busuk tercium sangat kuat, berasal dari jemari sosok itu.
"Hmmm ...." Sosok itu menggeram.
Keringat dingin membasahi seluruh wajah Ferdi. Dia masih belum bisa berbuat apa-apa, kecuali berdoa dalam hati, merapal apa pun yang diingat.
Ferdi menutup mata saat jemari sosok itu tertuju ke alisnya. Dia terus terpejam sambil masih berdoa, berharap Tuhan akan membantunya. Tak berselang lama, jemari sosok itu mulai tidak terasa.
"Tempatmu bukan di sini. Jangan sentuh tempat kami ...," ucap sosok itu yang diakhiri dengan geraman.
Kedua mata Ferdi masih terpejam sampai perlahan terbuka. Pandangan buram di depan mulai terlihat. Sosok itu sudah menghilang. Embusan napas lega keluar dari mulutnya.
Tubuhnya sudah bisa digerakkan, tetapi tidak dengan rasa lemasnya. Tangan yang memegang handphone pun masih bergetar. Ferdi memberanikan diri menoleh. Mendapati tidak ada apa-apa, tanpa pikir panjang dia pun meninggalkan tempat itu dengan sisa tenaga yang masih ada.
Langkah Ferdi limbung karena sendi-sendi di otot kakinya masih terasa lemah. Dia bahkan hampir saja terjatuh, tetapi satu tangannya bisa langsung bertumpu ke batang pohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Haram
HorreurMendapat juara dua dalam parade menulis yang diselenggarakan Penerbit Nahwa. Demi konten, Ferdi, Nabila, dan Joni rela memasuki tempat berbahaya. Mereka mendatangi Tanah Haram, sebuah hutan belantara yang kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri. P...