3. Langkah awal

23 8 17
                                        

Setiap bulan April, Bina Garuda mengadakan pekan prestasi, di mana selama hampir dua minggu akan diadakan berbagai jenis perlombaan, baik secara akademis maupun non-akademis.

Kejutan besar. Cerdas cermat kembali diadakan setelah hilang setahun akibat insiden yang menimpa perlombaan ini sebelum Erina masuk sebagai siswa SMA.

Ada kecurangan besar yang terungkap, salah satu siswa bekerja sama dengan panitia untuk mendapatkan bocoran kunci. Kejadian ini menjadikan cerdas cermat dua tahun tidak mengutip pemenang, dan melalui hasil perundingan, tidak akan ada cerdas cermat untuk tahun depannya.

Dan tahun ini, pertandingan itu diadakan kembali, dengan harapan bahwa tidak akan ada lagi manipulasi mengenai soal dan kunci jawaban.

Cerdas cermat terdiri atas tiga orang, yang masing-masing kandidatnya dipilih oleh murid sekelas secara musyawarah atau pemungutan suara.

Dan tentu saja opsi kebanyakan siswa 11-A sama.

Adrian Hermandra, Erina Yudika, serta Pratha Anggara.

"Baiklah, berarti yang mewakili kelas kita itu Adrian, Erina, dan Pratha." Bu Yuni menutup kesimpulan. "Ibu harap kalian latihan dengan serius, semoga berhasil."

Begitu bel istirahat berbunyi nyaring, Pratha langsung menghampiri Erina. "Yo, Erina! Kita mau latihan kapan?"

Karakter ambisius sudah melekat dalam pada Pratha, lelaki itu selalu antusias dalam pertandingan. Meski dia meraih peringkat ketiga di kelas dan peringkat keenam secara pararel, tetapi dia menjadi pemegang piala terbanyak kedua di seluruh angkatan kelas 11 dalam pertandingan akademik dan non-akademik.

"Bentar, kita ke tempat Adrian juga, yok. Biar enak diskusinya."

Perubahan raut wajah pada lelaki berahang tegas itu terlihat jelas. Ada sekelebat perasaan aneh yang Erina dapati, apa keduanya punya konflik pribadi?

Jangan asal asumsi, Rin. Astaga, kamu ini.

Erina menghampiri tempat duduk Adrian; berdeham sebelum berbicara. "Adrian, maaf ganggu waktumu sebentar. Jadi ini kita ada rencana latihan sama-sama, kamu maunya hari apa, biar ki—"

"Tidak perlu, kalian saja. Aku bisa latihan sendiri." Adrian tidak berniat melirik sedikit pun, papan catur yang terpampang di atas layar ponselnya terkesan lebih menarik.

"Bisa ga sih kamu dengar Erina ngomong sampai selesai dulu? Jadi orang kok nyebelin banget." Pratha mengerutkan asilnya, kepalan tangan kirinya mengerat.

"Oke. Lanjutkan, aku dengar." Lelaki berkacamata itu tidak berekspresi apa-apa.

Suasana hati mereka berdua sedang tidak bagus ya?

Tidak ada suara yang mengisi atmosfer kecanggungan itu. Erina tidak tahu apa yang harus dia lakukan di saat kedua pemuda itu saling menegangkan urat. Mau melanjutkan omongannya saja terasa begitu berat.

Selama ini, gadis itu tidak pernah mengobservasi keadaan kelasnya, tidak sadar bahwa kedua lelaki itu memang jarang berbicara sejak dulu, hanya membuang muka saat keduanya tak sengaja bersitatap.

"Males banget, seharusnya Bu Yuni milih Velika aja. Ngapain milih anak sombong sok irit ini." Suara Pratha tengah menyiratkan kemarahan, membuat urat di sekitar lehernya menegang.

Ameliorate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang