11. Prasangka

11 4 7
                                        

"Rian." Ini panggilan ketiga dari Erina, lelaki itu--yang sepertinya tidak mendengar panggilan sebelumnya--barusan menjawab. "Ya?"

"Itu, Pak Nevan suruh kerjain soal ini, yang cepat dapat tambah nilai." Telunjuk Erina mengarah ke buku.

"Oh, Ok."

Gadis itu tahu bahwa lelaki itu tidak peduli jika 'slot tambah nilai' direbut orang lain, Adrian tidak akan benar-benar menggunakannya di mata pelajaran kimia; nilainya sudah dipastikan berada di angka 9.

Namun, melihat Adrian yang daritadi bertingkah seperti orang yang kerasukan, Erina asal mengambil topik apapun yang bisa dijadikan 'sesuatu' untuk berkomunikasi dengannya.

"Dipanggil tiga kali baru balas, lagi lamunin apa ini?" Erina bertanya senatural mungkin.

"Bukan apa-apa."

Sudah kuduga jawabannya bakal seperti itu. Mungkin dia cuma melamun doang, bukannya lagi ada masalah.

Selama menjadi teman sebangku, Adrian tidak pernah sekalipun mengungkit mengenai dirinya. Bahkan ketika Erina melontarkam pertanyaan yang berhubungan dengan lelaki berkavamaya oti, dia hanya menjawabnya secara singkat lantas kemudian mengalihkan topik pembicaraan.

Sepertinya Adrian memang tidak ingin kehidupannya digali lebih dalam.

Sejujurnya, Erina kadang merasa bahwa pertemanan ini hanya berjalan sepihak. Gadis itu senantiasa bercerita mengenai kegalauannya, dan juga bercerita mengenai dua sahabatnya itu.

Erina bahkan tidak tahu Adrian itu siapa selain teman-sebangku-yang-genius. Lelaki itu seakan tengah membangun tembok transparan di antara keduanya.

Apa Adrian itu ga menganggap aku sebagai temannya?  Kami bukannya sering berbicara ya?

"Kamu ... baik-baik saja?" tanya Erina dengan suara minim.

"Kenapa?"

"Nanya aja." Erina mengembuskan napas. "Soalnya keliatan kayak gitu."

"Oh ya? Maaf kalau begitu." Lelaki itu bahkan tidak repot-repot berkontak mata dengannya; jemarinya sibuk menyibak halaman buku cetak.

Meski Erina hendak bertanya 'Kamu ga nyaman sama aku ya?', tapi gadis itu masih waras; tidak akan menjadikan prasangkanya sebagai bahan untuk membuat orang lain merasa kebingungan dan risih.

Tidak ada percakapan yang berlanjut, hanya ada suara gesekan bolpoin spidol dengan papan yang terdengar; menjadi musik di telinga Erina yang pada saat itu terus memikirkan teman sebangkunya.

***

Langit berubah kelabu; menjatuhkan ribuan air mata yang membuat sebagian besar berdecak kesal. Tepat setelah bel--tanda sekolah sudah berakhir--berbunyi sepuluh menit yang lalu, murid-murid disuguhi pemandangan lantai yang sudah becek oleh genangan air.

Untung saja trio bersahabat itu menaiki kendaraan beratap; tidak perlu khawatir rambut mereka lepek oleh air hujan atau akan mengoceh saat ada air yang menyelinap masuk lewat sela-sela sepatu.

Erina melirik jam digital yang terpampang pada layar ponselnya; menunggu mamanya untuk datang menjemput; khawatir kalau hujan berkepanjangan ini akan menimbulkan kemacetan tanpa ujung.

Kali ini tidak ada Adrian Hermandra yang ikut menyenderkan punggungnya di dinding lorong bersama dengan Erina, lelaki itu sudah pulang la menit yang lalu. Ini sudah tujuh hari sejak lelaki berkacamata itu pulang cepat; ditambah dengan wajahnya yang entah kenapa kembali seperti dulu lagi.

"Kenapa kalau boleh tahu?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Erina saat Adrian untuk pertama kalinya tidak menunggu dia dijemput.

"Ada urusan."

Dan saat itu Erina sadar kalau Adrian tidak berminat mengatakan alasannya. Mungkin saja Adrian tidak ingin pulang cepat lagi (mereka pulang sekolah pukul dua siang); tidak lagi punya waktu untuk menunggu Erina.

Erina mendecak ringan. Lagipula dia siapa, untuk apa Adrian selalu menunggunya.

Nada dering khas terdengar dari dalam saku rok Erina, dengan buru-buru ia mengangkatnya dan langsung berlari menuju gerbang sekolah. Begitu melihat mobil berwarna abu-abu dengan BK yang ia kenal, ia sontak membuka pintu depan.

"Mama udah lama ga liat cowok itu." Mama berbicara pada Erina; wanita dengan rambut sebahu itu membantu Erina memasukkan barangnya ke dalam mobil.

"Baru seminggu, kok, Ma," ujar Erina sembari mengelap bajunya dengan helaian tisu; tidak nyaman duduk dengan pakaian yang basah kuyup.

Seiringan dengan berjalannya kendaraan dengan kecepatan pelan (ada macet di mana-mana), Erina mengusir rasa suntuk dengan menatap jendela mobil sebelah kiri.

Udaranya dingin, ya.

Dan selang beberapa menit kemudian, mata Erina--yang masih setia menatap ke luar jendela--membulat. Ada Adrian yang tengah berdiri di tengah hujan, dengan tas ranselnya yang masih digantung pada kedua bahunya.

Ternyata yang mengucurkan air mata hari ini bukan hanya langit.

To be continued ....

663 kata

Lemony's note

AHH, GA TAHU LAGI KENAPA INI RELATE BANGET 😭 /ya, kan, kamu yang nulis/

Rasanya ga enak banget waktu kita dapat 'tanda-tanda' bahwa teman kita lagi ga baik-baik aja, dan merekanya ga mau ngomong.

But anyways, I love Erina with all of my heart, dia tulus banget rasanya hsshzbzbbz

Dan untuk kalian yang masih baca cerita ini, makasih buanyakkk /tebar lope lope

With love,
Lemonychee 🍋

Ameliorate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang