Keduanya diam di tempat: Adrian dengan kacamatanya yang hampir melorot serta rambut acak-acakan dan Erina dengan telapak tangan yang menutupi mulutnya.
Adrian beranjak dari duduknya, disimpannya silet itu dalam kantung celana. Ia menundukkan kepalanya, tengah berusaha menyembunyikan mimik wajahnya.
Gadis itu hanya mematung di tempat. Ini pertama kalinya dia melihat hal seperti itu, dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Jangan beritahu siapa-siapa." Adrian berjalan melewati Erina tanpa melempar kontak mata, suara langkah kaki lelaki itu mulai menjauh, tapi tidak dengan rekaman pemandangan yang ada di benak Erina.
Erina melirik ke belakang, Adrian pasti sudah melangkah jauh, kemungkinan ke UKS sekolah untuk mengobati tangannya.
Kenapa dia melakukan itu, ya?
Deretan pertanyaan mulai mengumpal di benak gadis itu.
Bagaimana jika aku mengajaknya bicara?
Erina melangkah turun, mungkin ia bisa menemui Adrian di UKS. Lelaki itu tampak tidak baik-baik saja, atau sedang dihadapi masalah sehingga melampiaskan segalanya pada tangannya.
Tubuh Erina berhenti di tengah tangga, batinnya berbicara. "Bagaimana kalau dia terganggu? Biasanya bagaimana cara untuk—"
Erina menepuk jidatnya sendiri. Untuk apa dia peduli dan ikut campur soal kehidupan orang lain, dia hanya perlu mengingat pesan dari Adrian untuk tidak menyebarkan kejadian tadi. Adrian tidak kelihatan ingin berhubungan lanjut dengannya.
Tapi membiarkannya juga tidak baik ....
Kurasa aku harus mencari waktu lain.
"OH IYA, KUASNYA!" Selintas wajah Miss Helena dalam benak Erina membuatnya naik tangga dengan kecepatan penuh.
***
Kebetulan yang mengejutkan, Erina berpapasan dengan Adrian di gerbang sekolah pertama kalinya, tepat sehari setelah kejadian kemarin.
"Hai." Erina berusaha menyapa dengan ramah, meski dirinya sudah tidak berselera saat melihat mimik wajah Adrian yang seperti jeruk kecut. Lukanya tidak terlihat, timpa oleh jam tangannya.
Adrian melirik sekilas. "Hai."
Oh, dia membalas juga.
Atmosfir canggung melingkupi keduanya. Erina berdeham sekali, asal mengambil topik. "Mendung, ya, bisa upacara ga?"
"Kamu sepertinya bukan tipe orang yang suka basa-basi, apa maumu mengajakku bicara?" Kalimat terus-terang dari Adrian membuat Erina tersentak.
"Memangnya ngajak teman sekelas bicara itu salah ya?" Nada bicara Erina disisipkan rasa kesal. Niat pedulinya malah membuatnya terlihat seperti orang yang menyebalkan.
"Kamu tidak pernah mengajakku bicara sebelum melihat itu."
"Oke, maaf." Erina mengembuskan napas ringan, tidak berniat menyangkal perkataan Adrian yang jelas kebenarannya. "Aku emang ga pernah ada niatan buat interaksi denganmu, tapi sepertinya kamu perlu bantuan."
"Cukup dengan tutup mulut soal kejadian kemarin, kamu sudah membantuku." Adrian memalingkan wajah, membuat pandangan keduanya bersirobok, matanya yang tajam seperti tengah menyiratkan ancaman. "Tidak perlu melakukan hal-hal aneh seperti ini."
Duh, tahan, Erina, dia memang menyebalkan. Jangan sampai ngomong hal-hal yang bakal bikin dia makin down.
"Ok."
Erina menghela napas kasar, apa yang dia katakan salah tadi? Ditatapnya punggung lelaki berkacamata yang lambat laut mengecil, dia sebenarnya kenapa?
"Yoo, Rin!" Oline melambaikan tangan dengan semangat saat Erina melangkahkan kaki melewati pintu kelas, sedangkan Naira, yang selalu duduk di bangku Erina sebelum Erina datang, menggerakkan sebuah bungkusan permen karamel di udara. "Ga dimarahin, malah dapat oleh-oleh buat dibagiin ke kalian."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ameliorate [END]
Ficção Adolescente[Teen Fiction] Bagaimana rasanya menjadi yang teratas; ketika semua pandangan hanya tertuju padamu, ribuan mata seakan-akan menyiratkan kebanggaan yang sanggup membuat jantungmu meledak oleh euforia. Menyenangkan bukan? Sama, aku juga bertanya-tanya...