15. Curahan hati

17 3 18
                                        

"Makasih udah mau cerita." Erina memberikan tisu lagi untuk Adrian yang baru selesai bercerita singkat mengenai kenangan lama yang begitu mengusiknya.

Pemakaman Aliya dilakukan tiga hari yang lalu, Adrian izin dari sekolah selama tiga hari itu untuk memperbaiki suasana hati dan hari ini lelaki berkacamata itu menceritakan sekilas mengenai perihal apa yang mengusik benaknya di salah satu ruang ekskul; tempatnya yang mereka pinjam untuk membahas materi.

Gadis itu telah terbebas dari cangkang penderitaan; terbang bebas dengan sayap harapannya; pergi meninggalkan luka yang dalam pada keluarga Adrian.

Ia ingin sekali memeluk Adrian, tapi ia tidak tahu apakah lelaki itu sensitif terhadap kontak fisik yang malahan akan mengundang rasa risih.

Emosi Adrian sudah agak reda dibandingkan tiga hari yang lalu di saat dia bahkan enggan berbicara dengan siapapun; menghilang dari sosial media mana pun; Erina benar-benar kehilangan cara untuk mengontaknya kecuali datang ke rumahnya.

"Aku manusia yang buruk, ya." Adrian mulai memaki dirinya sendiri lagi. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan untuk menebus rasa bersalah ini lagi."

"Bukan begitu." Erina berusaha untuk menatap mata Adrian meski ada rasa gugup yang menerjangnya; jari-jarinya ia mainkan dibawah untuk mengurangi rasa cemas akan kata-kata yang akan ia lontarkan; takut malah akan membuat Adrian semakin sedih. "Kamu ga berniat buat nyakitin dia, kamu juga mau mencari kebahagiaanmu sendiri."

"Dan saat memenuhi kebahagiaan diri sendiri, kita tidak akan fokus pada hal lain." Erina berusaha merangkai kata-kata. "Dan kesalahan itu sudah kamu tebus dengan menemani Kak Aliya selama hampir 7 bulan ini, ya 'kan? Kakakmu pasti senang menghabiskan waktu bersama denganmu."

"Tapi—"

"Rian, aku ga tahu kamu melihat dirimu sebagai apa." Erina memalingkan kepalanya pada Adrian meski lelaki itu masih menunduk. "Tapi di mataku, kamu ... orang yang baik. Kejadian itu menurutku bukan salahmu secara langsung."

Lelaki itu terdiam bisu.

"Aku yakin Kak Aliya tidak ingin kamu merasa demikian. Dia pastinya ingin kamu menjalani hidup sesuai dengan yang kamu mau."

"Bukannya aku sok tahu karena aku sendiri juga tidak pernah bertemu dengan kakakmu, tapi siapa juga yang ingin saudaranya menderita kan?" Erina mulai merasa takut karena Adrian tidak merespon.

Sejujurnya, ada sekelabat rasa sedih yang menusuk jantung tatkala ia mengetahui bahwa Adrian tidak pernah ingin menceritakan semua ini, entah apa alasannya. Erina juga tidak akan memaksa, toh apa yang bisa ia lakukan jika ia tahu sedari dulu, membantu mereka? Mustahil.

Gadis itu hanya akan menelan rasa sakit, mencoba menghibur sebisa mungkin, dan mungkin saja pada akhirnya mereka akan berpisah.

Setengah hati Erina percaya bahwa dia dan Adrian merupakan teman dekat. Sepengetahuannya, Adrian tidak pernah berbicara berdua dengan orang lain selain Erina untuk hal yang tak berkaitan dengan akademik sekolah.

Lantas, kenapa ia tidak mau menceritakannya? Ada sebuah tanda tanya besar dalam benaknya.

Erina sadar bahwa semua itu bukan tanggung jawabnya, ia tidak perlu merasa bersalah karena 'gagal' membuat Adrian merasa lebih baik. Lelaki sendiri itu yang tidak ingin membuka mulut; membagi lembaran luka itu untuk dibaca Erina.

Adrian mengambil waktu untuk mengelap air matanya. Mukanya diwarnai noda merah, rambutnya sedikit berantakan.

Adrian sudah melalui banyak hal dan menanggung rasa bersalah yang berat.

Bagaimana rasanya menjadi dia? Erina selalu membayangkan hal itu dan ternyata menjadi dia tidak semenyenangkan itu, ada tumpuan untuk diri yang diletakkan di tempat yang berbeda dari Erina.

Ameliorate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang