8. Apakah kami dekat?

13 3 20
                                    

"Sumpah, aku baru tahu kamu dekat sama si Adrian." Ollie berseru heboh saat melihat notifikasi email kiriman dari alamat AdrianHermandra05@gmail.com pada layar ponsel Erina.

"Eh, bukan begitu!" Erina sontak meraih ponselnya dari meja makan, dan menyimpannya dalam tas. "Siapa yang meminta kamu buat ngintip."

"Ya, kan ga sengaja lihat." Ollie mengindikkan bahunya; memamerkan ekspresi tidak bersalah.

"Jangan salah paham, kami cuma saling kirim materi, ngapain juga kami chatting di email. Kan aneh?"

"Aku kira orang pintar itu aneh," tutur Naira sembari memasukkan sesendok nasi ke mulutnya, menyebabkan ucapannya terdengar tak jelas. "Saling kirim pesan lewat email, pake sandi morse, pake-"

"Stereotip macam apa itu?" Erina memasang wajah kebingungan. "Dan ralat, aku bukan orang pintar-"

"Udah, udah, diam!" Ollie menghentikan percakapan dengan garpu dan pisau di genggamannya. "Mending Erina cerita soal Adrian."

"Ha?"

"Ya, kalian dekat, kan, sekarang."

Naira membekap mulutnya, menahan tawa yang berada di ujung napas saat melihat wajah Erina diwarnai semburan corak merah pada pipi.

"Engga, kok."

Sejujurnya, Erina tidak tahu apa status mereka: apakah hanya sebatas teman sekelas atau teman dekat atau hanya partner belajar. Erina tidak ingin menganggap Adrian sebagai teman dekatnya hanya secara sepihak, rasanya akan menyakitkan.

"Mukamu merah-merah gitu, kita jadi curiga tahu." Naira menggelengkan kepalanya; sikunya menyenggol lengan Ollie. "Ngapain merah kalau emang ga ada apa-apa."

Untuk merayakan berakhirnya ujian semester, ketiganya memutuskan untuk mengadakan jalan-jalan bersama di hari Minggu. Dan di sinilah mereka menikmati makan siang dengan Erina yang duduk berhadapan dengan Ollie dan Naira.

"Udah ah, diam." Erina menusuk sotong di piring dengan agresif. "Aku sama dia ga seperti yang kalian bayangkan."

"Memangnya kamu tahu apa yang lagi kami bayangkan?" Ucapan Ollie disertai mikik wajah mencurigakan. "Oh, aku tahu, kamu pasti lagi bayangin kalian berdua pegangan ta-"

Erina sontak mengangkat garpunya, hendak melemparnya pada Ollie. Gadis berambut cepak itu langsung menghentikan ucapannya lantas berkat, "Iya, iya, ampun."

"Aku ga ikutan ya." Naira menyeruput jus buahnya dengan mata yang mengarah ke kiri; pura-pura tidak melihat kejadian barusan.

"Tapi aku ga nyangka, lho. Kukira dia tipe orang yang ga bisa diajak ngobrol." Ollie menumpahkan opininya.

Naira ikut mengangguk. "Iya, soalnya kayak penyendiri gitu, diajak ke kantin ga pernah mau, diajak main game juga engga mau."

"Ya mungkin dia kurang cocok bersosialisasi sama orang." Reina menjelaskan sembari memotongnya daging ayam di piringnya.

"Terus, kalian kenapa bisa jadi teman?"

Erina nyaris menceritakan kejadian di gudang tempo hari, namun untuk saja kalimat itu belum meluncur keluar dari mulutnya. Ia hanya mengendikkan bahu pada gadis berambut keriting itu. "Entahlah, tiba-tiba aja gitu."

"Oh, setelah lomba cerdas cermat itu?" Ollie bertanya.

"Iya."

"Bagus dong, kamu jadi punya teman buat ambis." Ollie berkata dengan semangat. "Ya, mungkin nantinya bakal jadi pa-"

"Pratha gimana?" Erina memamerkan senyum tipis.

"Ha? Kok jadi Pratha sih?"

"Gimana sih? Kamu, kan, suka sama dia." Naira kembali memasang wajah nakal, disenggolnya lagi lengan Ollie. Naira--yang sepertinya tidak ingin terkena timpukan dari Erina--melindungi diri dengan ikut memanas-manasi Ollie.

"Ga ada, siapa yang bilang?"

"Wajahmu, kayak wajah Erina tadi-"

"Naira." Erina sengaja memajangkan pelafalan 'ra', suaranya seperti ibu yang tengah mengancam anaknya dengan lembut; tangan kirinya tengah memegang garpu. Naira sontak menunjuk angka dua dengan jarinya. "Bercanda, bercanda."

"Udah, udah, jangan dibahas itu." Ollie menutup sebagian besar wajahnya, lantas mengalihkan pembicaraan. "Dia kaku ga waktu ngobrol kamu?"

"Dia? Adrian maksudnya?" Erina mengembuskan napas ringan. "Kaku pakai banget. Mana kebanyakan pakai kata baku."

"Ra, Ra, bayangin nanti kalau mereka lagi-" Ucapan Ollie diselingi batukan yang sepertinya merupakan isyarat dari suatu kata. "-nanti Adrian bakal bilang: 'Aku sangat mencintaimu, rasanya aku ingin memelukmu, mendekapmu, aku tidak mampu hidup tanpamu, wahai pacarku. Kamulah bel-"

"Oh, oh, nanti katanya: Erina, kamu adalah perempuan yang paling manis sejagat raya, aku ingin kamu menghabiskan waktu bersamaku, mene-"

Alis Erina menungkik, ada senyuman manis mematikan yang tertempel di atas wajahnya. "Kayaknya aku nyesel bicara sama kalian."

"BERCANDA, RIN, BERCANDAA!" Keduanya berseru bersamaan, membuat banyak kepala yang menoleh ke arah mereka.

"Udah, udah, diam." Erina meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Bikin malu aja, hush."

"Bikin malu, tapi bikin kangen juga 'kan?" Ollie menaik-turunkan kedua alisnya.

"Erina Hermandra, sesungguhnya cinta adinda pada kami sungguh murni, Adinda tak akan sudi membuang kami-"

"Itu mah jadi puitis." Erina menggelengkan kepalanya, pusing melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Ketiganya kemudian tertawa bersamaan, Ollie sampai tersedak hingga harus disondorkan minuman.

Dalam sudut hati, ia bersyukur sudah bertemu dengan mereka berdua. Ollie dan Naira telah menjadi semangatnya, yang mampu menemani Erina ketika ia kehilangan dirinya sendiri.

Apakah Adrian juga merasa seperti ini saat bersama denganku?

To be continued ....

753 kata

Ameliorate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang