16. Cahaya dalam hidup

38 4 14
                                    

Rencana dadakan itu terwujud dan kali ini ayahnya Adrian juga ikut serta (ide dari Mama Erina yang tidak Adrian tolak). Rasanya aneh berdiri di antara dua insan yang tengah menguarkan kecanggungan; tapi salah satu sudut hati Erina berharap bahwa keduanya dapat dekat melalui perjalanan sederhana ini.

Semilir angin menerpa wajah gadis itu, sudah lama sekali dia tidak menapaki pasir, merasakan ombak yang menggelitik jari-jari kakinya. Ia menghela napas kuat-kuat; merasa setiap udara segar yang barusan dibawakan ombak laut.

"Ini pertama kalinya aku ke pantai," ujar Adrian saat mereka berdua berjalan santai ke tengah laut. "Maaf kalau aku kelihatan ... takut sama air."

Erina mengernyitkan alis pada Adrian. "Ngapain minta maaf?"

"Karena menunjukkan sisi lemahku?" Adrian terkekeh pelan; Erina senang melihat lelaki berkacamata itu sudah bisa tersenyum kembali meski sudut bibir yang terangkat hanya sedikit.

"Bagus dong."

Kali ini Adrian yang gantian mengernyitkan alis.

"Sebenarnya kita cenderung nunjukin sisi lemah kita pada orang yang kita percayai, berarti Rian percaya sama aku, ya kan?" Kalimat penuh percaya diri ini meluncur bebas lewat mulutnya.

"Aku tidak ingin menunjukkan, tapi entah kenapa aku selalu begitu."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin tampil yang terbaik di hadapanmu."

Erina melempar tawa kecil. "Itu penting ya?"

"Apa kamu akan menunjukkan sisi jelekmu kepada orang yang kamu sukai?"

"Engga sih, tapi kan—"

TUNGGU! DIA BARUSAN BILANG APA?

Ucapan Erina terhenti, netranya kini mengarahkan pandangan pada lelaki berkacamata itu. Wajah Adrian merah padam, entah karena teriknya panas matahari atau karena hal lain.

Kalimat barusan ambigu. Entah itu pernyataan yang mengarah ke topik itu atau hanya sekedar pertanyaan retoris.

Yang jelas, rasa panas juga menjalari wajah Erina; membuat gadis itu langsung memalingkan kepala, membelakangi lelaki itu.

"Rian, ada kerang di sana!" Erina secara spontan menunjukkan benda di atas pasir untuk mengalihkan pembicaraan. Tangannya masuk ke dalam air; mengutip kerang abstrak itu.

"Bentuknya cantik." Adrian sepertinya tidak keberatan dengan pengalihan topik tadi meski bekas warna merah di wajahnya belum pudar sepenuhnya.

Keduanya kini menilik kerang yang barusan mereka temukan, bertanya pada satu sama lain apa jenis dari kerang ini, lantas muncul ide untuk membawa pulang beberapa.

Erina memutuskan untuk mengajak Adrian duduk di atas pasir sembari menilik kerang apa saja yang mereka temukan, keduanya memilih tempat duduk yang agak jauh dari pinggir laut; jaga-jaga agar pakaian mereka tidak basah terkena air.

"Aku bersyukur banget ketemu sama kamu." Erina memamerkan senyum kecil sembari memeluk kedua lututnya. "Untuk pertama kalinya, aku belajar banyak dari si Nomor Satu. Biasanya aku selalu tertekan kalau dengar nama pemegang peringkat pertama, tapi kali ini ga lagi."

"Kamu udah ngasih aku memori yang indah, makasih buat obrolan kecil di sekolah." Pipi Erina mengembang akibat tarikan ke atas pada bibirnya.

"Kenapa rasanya seperti kamu mau berpisah denganku?" Adrian berterus terang. "Biasanya kalimat perpisahan selalu begitu."

"Engga, aku cuma mau bilang sebelum telat, sebentar lagi kita ujian semester, dan sebentar lagi kita juga bakal tamat."

Waktu berjalan cepat, semuanya hanyalah partikel-partikel semu. Sudut bibir Erina mulai menurun saat tahu bahwa nantinya dia akan berpisah dengan semuanya: dengan Ollie, Naira, dan Adrian.

Ameliorate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang