10. Aku mau jadi apa?

16 4 9
                                    

"Kamu memangnya pengen jadi apa?" Percakapan itu menjadi sangat umum di kalangan anak kelas 12. Baik guru-guru, mau pun teman sekelas akan melontarkan pertanyaan yang sama.

Sejujurnya Erina tidak pernah berpikir ingin menjadi apa. Hobi? Dia bahkan tidak memilikinya. Benaknya sibuk membaca materi sekolah di hari liburannya; tidak seperti Ollie yang hobi melukis atau Naira yang tergila-gila dengan dansa tradisional, Erina tidak punya hal yang benar-benar ia minati.

Karena pandangan gadis itu hanya tertuju pada satu: peringkat pertama. 

"Ka, apa yang kamu tulis?" Jemari Adrian tengah mengangkat pena; belum menggoreskan ujung pena pada kertas forum. 

Setiap murid kelas dimintai untuk mengisi daftar jurusan yang ingin mereka pilih beserta dengan universitas tujuan mereka, dan nantinya akan didiskusi dengan guru BK di sekolah. Ada rapat guru yang tengah berlangsung dan hampir semuanya menggunakan jam kosong itu untuk memikirkan formulir data tersebut.

Erina mengindikkan bahu, penanya juga menggantung di udara. "Ga tahu. Kamu?"

"Belum kepikiran." Lelaki berkacamata itu mengetuk dagunya dengan tutup belakang pulpen. 

Erina memalingkan kepalanya; menatap langsung Adrian dari samping. "Serius? Kukira kamu punya rencana."

"Menurutmu aku cocoknya ambil jurusan apa?" Pertanyaan dari Adrian membuat gadis itu menjabarkan berbagai jenis jurusan dalam benaknya; menyeleksi satu atau dua yang cocok.

"Mungkin Farmasi, kamu suka kimia 'kan? Terus mungkin juga matematika. Oh, oh, teknik katanya bagus," tutur Erina dengan bersemangat. Ada jeda dalam kalimatnya setiap ia berpikir mengenai pilihan lain. "Atau bio murni. Banyak deh."

Ah, aku begitu lancar menyebutkan pilihan jurusan orang lain di saat aku sendiri tidak tahu apa yang menjadi pilihanku.

"Adrian, sini, yuk. Kami lagi bingung mau isi apa, bantu diskusi yuk." Tepat di saat Erina hendak melontarkan pertanyaan yang sama, Leo menepuk Adrian; mengajak lelaki berkacamata itu ke belakang. "Yuk, Rin, kalau mau ikut."

Adrian yang belum sempat mendengar pertanyaan Erina sontak beranjak dari duduknya dan mengikuti Leo menuju ke romobongan lagi-lagi di sudut kiri kelas sedangkan Erina membalas dengan gelengan kepala; lebih memilih berkumpul dengan dua sahabatnya.

Adrian Hermandra benar-benar mencoba menjadi orang yang berbeda, meskipun dia masih terlihat sangat kaku. Erina benar-benar tertawa saat melihat Adrian membagi permen untuk teman sekelasnya beberapa menit sebelum Pak Henry menidurkan seisi kelas dengan penjelasan fisikanya.

Gadis itu merasa lega apabila benar itu yang terjadi. Masalahnya, ia sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai Adrian meski sudah berteman 'dekat' selama hampir setahun. Lekaki itu tidak pernah mengungkit soal sayatan tangannya setelah hari pengambilan rapor itu.

"Ini anak kok melamun lagi." Naira mengibaskan tangan di depan Erina, membuat benak gadis itu kembali ke realita.

"Pasti lagi mikirin Adrian," timpal Ollie lantas berdecak beberapa kali sembari menggelengkan kepalanya secara dramatis. "Erinaku sekarang sudah besa--"

"Lagi mikirin jurusan, bego." Erina mengetuk pelan kepala Ollie dengan buku tulis; sedangkan korbannya hanya cengengesan sembari menampilkan wajah tak bersalah.

Erina berbicara dengan ekspresi serius. "Kalian udah tentuin mau ambil jurusan apa?" 

"Seni Tari!" Ada segumpal keyakinan yang kokoh dari kalimat Naira. "Kalau ga, ya, sastra."

"Aku mungkin ambil DKV." Ollie mengangkat formulirnya di depan wajah. "Ga tahu bakal didukung atau ga, tapi aku mau coba dulu. Kalau kamu?"

"Menurut kalian, aku cocoknya ambil jurusan apa?"

Ollie menjawab setelah berpikir beberapa detik. "Kedokteran?" Naira langsung menjentikkan jari, lantas mengarahkan telunjuknya pada Erina. "Nah cocok tuh, kamu orangnya rajin banget, pasti bisa bertahan di sana."

"Biologiku ga sebagus itu."

"Jadi kamu suka apa?" Ollie memiringkan kepalanya sedikit.

"Ga tahu."

"Emm, kamu merasa senang waktu belajar di mata pelajaran apa?" Naira mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja dapat membuat lampu dalam benak Erina menyala.

Erina memijat pelipisnya. "Ga ada. Aku cuma belajar buat jadi juara satu, aku bahkan ga tahu apa yang aku nikmati—"

"Masih ada waktu buat mikir, kok." Naira menepuk bahu Erina. "Kamu punya banyak potensi, kok. Tulis asal-asalan dulu di kertas."

Gadis itu menulis 'kedokteran' meskipun dia tidak merasa bahwa tidak akan ada probilitas untuknya.

Benang masalah ini mengusut dalam benaknya; membuat kepalanya terasa hendak meledak. Tanpa Erina tahu; akan ada benang baru yang mengikat jarinya; membawanya menuju hal yang telah ia nantikan.

To be continued ....

668 kata

Lemony's note
Ini kayaknya udah jadi dilema bagi sebagian besar anak kelas 12, ya :')

Kadang pengen milih ini, tapi takut profitnya ga bagus. Pengen milih jurusan yang profit kedepannya bagus, tapi kurang berminat di sana.

Well, lemme tell you that you are not alone. Kita semua sama-sama terjebak dalam kabut kebingungan ini /sesekali pakai bahasa yang lebay wkwk/ jadi akan ada suatu saat di mana kita bakal ngeliat titik terangnya.

Untuk yang baca, sekali lagi, makasih banyakkk! Sayang kalian semua!

With love,
Lemonychee 🍋

Ameliorate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang