1. Hilang

1.7K 54 5
                                    

Salju pertama pengganti musim gugur mulai turun bertebaran mambasahi kota London. Indah, sangat indah memang bila dinikmati dalam kehangatan kebersamaan sepasang kekasih. Ya... harusnya begitu, namun kali ini tidak, tidak akan terjadi lagi untuk lelaki itu. Lelaki yang berdiri mematung didepan bandara menatap langit kelam yang memuntahkan butir-butir saljunya.

Miris, terlihat dari bagaimana bentuk bibir sempurnanya mengulum senyum hambar. Melupakan kapan lelaki ini terakhir kali merayakan penyambutan salju pertama dengan kekasihnya, satu tahun yang lalu? Dua tahun? Atau beberapa tahun yang lalu?

"El bagaimana kalau kita menyambut salju pertama diatas bukit belakang villa? Menyalakan api unggun dengan susu coklat hangat dan mendirikan tenda" riang seorang gadis yang mulai memikirkan rencana penyambutan tiga hari sebelum salju turun.

"Tck! Apa kau bermaksud mengajakku mati bersama, hm?Bagaimana kalau ada badai?"sentil El yang menjitak pelan dahi kekasihnya itu.

"Aku tidak akan membiarkan presiden manufaktur berpengaruh sepertimu mati semudah itu, bodoh!"

"Hmm, ok! aku akan menuruti gadis yang sama bodohnya dengan tunangannya ini. Mungkin benar jika kau menyebut presiden berpengaruh ini bodoh. Karena presiden ini akan menyerahkan nyawanya cuma-cuma pada gadis bodoh ini" sindir El dengan lirikan remehnya pada gadisnya yang malah menyandarkan dagunya dibahu tegap El,menatap wajah tampan kekasihnya dari dekat dengan senyum menawannya.

El berdesis miris mengingat begitu manjanya kekasihnya itu. Kekasih yang setidaknya pernah menganggap dirinya mampu membuat gadis itu mempercayakan hidupnya padanya, melindunginya bak super hero. Tapi sekarang? Semuanya musnah tertelan waktu. El mencengkram kemudi audy hitamnya kuat, menonjolkan tulangnya disetiap buku-buku jarinya. Menatap tajam jalanan dengan air mata yang mulai menghujam turun dari bendungannya.

Sesaat El dapat menahannya dengan kegengsian tingginya, namun semakin ia menahannya nafasnya semakin terasa sesak, merasa seperti tercekik seolah hampir merasakan bagaimana itu awal sebuah kematian. Berlebihan mungkin, tapi tak ada pengutaraan lain dari apa itu kehilangan seseorang yang berarti.

"Aggrrraahhh" teriak El sesekali memukul keras kemudi mobilnya. Matanya semakin berair, penyesalan yang menjadi dosa terbesarnya membengkalai kekasihnya. Ditekannya dalam pedal gasnya, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi diatas rata-rata. Yah... lelaki itu sekarang tahu kemana ia akan pergi. Menuju tempat terakhir kali diingatnya, terakhir bagaimana ia melihat wajah menawan tunangannya dari dekat. 'Villa keluarga Archard'.

'Brakk'

Dengan langkah gontai, El menutup kasar mobil audy hitamnya. Tanpa mampir di villanya lelaki ini melangkahkan kaki malasnya menuju bukit itu, bukit yang resmi menjadi miliknya setelah kejadian perayaan salju pertama turun. El dengan mudahnya merogoh sakunya dalam untuk mendapatkan bukit itu yang seharusnya menjadi asset lindungan pemerintah namun apa ada kata 'tidak' jika itu hanya untuk kekasihnya? Tak dipedulikannya salju yang semakin lebat turunnya, El tetap melangkahkan kakinya menuruti perintah akal pikirannya. Mata tajamnya menatap lurus puncak bukit.

Wajahnya memucat, hembusan nafasnya mengepul bak asap tebal menandakan bagaimana dinginnya yang ia rasakan. Bagaimana tidak sedingin itu? Lelaki ini mendaki tanpa menggunakan mantel ataupun syal penghangat yang setidaknya dapat menghangatkan sebagian tubuhnya. El tidak memperhitungkan cuaca di London mengingat ia baru kembali dari beberapa negara di Asia yang bercuaca panas bulan ini. Lelaki ini seperti tak berraga, hanya menyetting otaknya untuk melangkah menuju bukit tanpa memikirkan bagaimana jadinya jika ia mati kedinginan.

Sayup-sayup mata tajam itu melihat kepulan asap di puncak bukit. Mempertanyakan sesaat kepulan asap apa itu, hingga penciumannya merasakan kesangitan bau api. Terlihat seperti penalaran pendek pada otaknya, mungkin itu karna otaknya yang membeku.

El ArchardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang