13. Manusia berusaha, tuhan menentukan

653 114 6
                                    

Jimin berhasil kembali tepat saat langit masih jingga. Dengan berat hati Jimin meninggalkan Rouge itu seorang diri dengan keadaan masih sakit sendirian di hutan. Makanan dan air minum sudah dia siapkan banyak di dekat rouge hitam itu tapi tetap saja dirinya didera khawatir dan takut. Bagaimana malam ini demamnya datang lagi? Bagaimana kalau dia tidak makan dan minum karena badannya masih sakit? Tunggu tapi bukannya ada satu hal lagi yang lebih penting?

Langkah Jimin terhenti di depan gubuk tua dengan aroma rempah pekat dari dalam. Bibir menipis dengan tangan erat memegang tas selempang. Satu pertanyaan besar di kepalanya sekarang.

Bagaimana bisa Nenek Choi menyuruhnya untuk mencari jahe seakan-akan nenek itu tahu soal Roug eyang Jimin rawat? Apa Nenek Choi sudah tahu? Tapi bagaimana?

Hari ini akan dia tanya.

"Nenek Choi!!" Jimin melangkah masuk, mendapati nenek itu tengah menggantung herbal di dinding.

"Oh sudah pulang? Bagaimana mencari jahenya? berapa banyak yang kau temukan?" Nenek Choi bertanya tanpa melirik Jimin yang tengah berdiri di depan pintu gubuk dengan bibir manyun 1 senti.

"Nenek Choi!! Aku ingin bertanya!!" Suaranya sedikit tinggi, sengaja karena telinga nya masih mendenging. Jika dia bicara dengan volume biasa, dia tidak yakin akan terdengar oleh diri sendiri.

"Apa? apa maumu? kenapa teriak-teriak, hah??" Nenek Choi melemparnya dengan tatapan sengit kesal.

"Kau... kau tahu soal rouge di hutan selatan?"

"Tentu tahu, soal kau yang merawatnya juga aku tahu," pertanyaan itu dijawab santai oleh yang sepuh hingga membuat Jimin menganga kaget karena rahasia nya semudah itu terbongkar di hari kedua.

"T-tunggu bagaimana kau tahu??? kau kesana?? kau melihatnya? apa kau menyuruh alpha di desa untuk membuntuti ku??? APA AYAH TAHU?!?!"

"Tenang! Hei!! HEI TENANG KENAPA TERIAK!!!"

"Karena aku penasaran!!"

Nenek Choi duduk di kursinya, menatap Jimin dari kaki hingga ujung kepala, mencium aroma alpha asing yang melekat lalu mendengus betapa bodohnya cicit dia yang ini. "Bodoh."

"Nenekk!!" erangnya kesal.

"Lain kali jika kau ingin bertemu dengan orang asing apalagi alpha asing, saat kembali mandi di sungai atau cari sigung untuk menutupi baunya. Baunya masih tersisa bahkan sampai di desa. Bodoh sekali." Wanita tua itu kembali mendengus sedangkan Jimin tercenung dengan mulut setengah terbuka.

Omega itu segara mendengus dirinya dan mendapati aroma pinus yang tertinggal walaupun hanya seberkas kecil yang bahkan Jimin tidak akan langsung bisa tahu dalam sekali endus. "Bagaimana kau bisa mencium nya??"

"Heh, dengar, Umur ku memang hampir digit tiga tapi mata dan hidung ini masih tajam tahu!"

Seperti ditampar oleh kenyataan, Jimin terduduk, termangu karena semua sudah ketahuan bahkan baru di hari kedua. Siapa lagi yang tahu? apa ayahnya tahu? Dimana ayahnya sekarang??

"Hanya aku yang tahu dan tenang saja ayahmu sama bodohnya jadi dia tidak akan sadar."

Jimin mendongkak cepat hingga rasanya kepalanya akan patah menatap Nenek Choi dengan mata berbinar penuh harapan. "Benarkah?? tunggu, Bagaimana kau tahu juga soal itu?!?"

Nenek Choi lagi-lagi mendengus, tangan sibuk memilin sebuah daun, "Jimin, kau itu mudah terbaca seperti perkamen yang tengah terbuka."

Wajah manis itu kembali memberengut, Jimin duduk di kursi sambil sedikit merajuk. "Aku tidak semudah itu dibaca, tapi nenek menurutmu apakah rouge itu akan selamat?? apakah demamnya turun??"

Belong To You | ABO [YoonMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang