LEMBAR BARU

97 9 1
                                    

Besoknya.

"Ya, sudah. Mau bagaimana lagi," kata Warsinah, duduk di samping Kuswanoto dengan terus mengelus punggung suaminya.

"Belum rezeki, Pak."

"Nanti Njenengan, bisa cari kerja yang lain."

"Mosok ngono ae dipecat." (Masak begitu saja dipecat).

"Sudahlah, Pak. Kita yang salah. Benar apa kata Pak Kades."

Kuswanoto berbalik lalu menatap Warsinah.

"Mak, sepurone, yo." (Mak, maaf, ya).

"Maaf untuk apa? Semua sudah terjadi. Menerima kenyataan pahit, kadang bisa membuat kita lebih bisa menghargai kekalahan. Anggap saja Njenengan, sedang kalah. Kalah dengan keadaan kita yang hanya orang kecil, Pak. Aku percaya, bila ada yang hilang, pasti akan ada yang datang menggantikannya."

"Awakku ki onoke gur nyusahno awakmu, Mak. Kat mbiyen mulo." (Aku ini hanya menyusahkanmu saja, Mak. Dari dulu).

"Tidak, Pak. Aku sudah bisa menerima Njenengan, dari dulu. Njenengan, itu orangnya penuh tanggung jawab. Hanya kali ini Njenengan, sedikit lalai."

"Maksudku pingin gawe konten, Mak. Mbok nowo okeh subcriber, lan kontenku iso dimonetasi. Ben oleh duwek." (Maksudku ingin buat konten, Mak. Siapa tahu dapat pengikut, dan konten bisa diuangkan. Biar dapat duit).

"Yang pasti-pasti saja toh, Pak. Untuk apa buat konten kalau harus mengorbankan satu kewajiban. Njenengan, sudah tua. Pasti kalah bersaing dengan anak-anak muda yang didukung dengan segala peralatan yang canggih. Kita ini siapa? Hanya orang kecil yang terus dicekoki mimpi menjadi orang terkenal di Yuktum."

"YouTube, Mak."

"Iya. Biarkan mereka berkarya dengan jalannya. Njenengan, biasa menulis toh? Bisa dilakukan sewaktu jaga kantor toh? Itu saja ditekuni. Tidak ada yang sia-sia, Pak. Tulisan juga konten toh? Cerita akan menemukan jalannya sendiri."

"Njenengan, dulu juga sudah pernah memenangi Wattys toh?"

"Hanya saja lagi-lagi keberuntungan belum berpihak kepada Njenengan, hingga harus buat cerita baru lagi katanya. Benar toh?"

Kuswanoto mengangguk pelan. Bahkan sempat dia mengumpat-umpat kala itu saat tak lagi bisa masuk ke akun tulis miliknya.

"Satu jatuh, dua anak tangga jatuh. Semua itu proses. Njenengan, anggap semua ini proses. Hidup itu akan terus belajar, sampai kita tak bisa lagi melihat dunia yang gemerlapan ini, Pak."

"Sudah. Jangan disesali yang sudah terjadi. Masih banyak jalan lain untuk Njenengan, berusaha menebus motor itu."

Warsinah beranjak, lalu menuju lemari kayu.

Tak lama berselang dia kembali dengan dua bungkus rokok keretek kesukaan suaminya. "Ini. Aku belikan tadi di warung Pondi."

"Duwe duwek ta?" (Punya uang?).

"Tadi pagi aku belanja pakai uang simpananku."

"Rokoknya Njenengan, habis toh?"

Kuswanoto mengangguk. Bahkan saat duduk menjadi dalang semalam dia sudah tak lagi merokok.

"Njenengan, sekarang makan, ya."

Kuswanoto menggeleng.

"Nanti kalau sakit siapa yang repot? Aku juga toh yang repot. Mesti minta kusuk-kusuk punggung, pijat kaki, pijat tangan."

"Mau aku buatkan mi com? Apa mau direbus dengan ceplok telur?"

"Gak ngeleh." (Tidak lapar). Kuswanoto masih terlihat lesu atas keputusan Pak Kades yang telah memberhentikannya. Meski gaji tak seberapa menjadi penjaga malam yang sudah dia tekuni selama ini, tetapi dari sana pula hidupnya akan diperpanjang setelah membayar lunas semua utang di warung Pondi, walau akhirnya harus kembali menghutang untuk kebutuhan satu bulan ke depan.

𝗖𝗘𝗥𝗞𝗔𝗞: 𝗔𝗠𝗕𝗔𝗟 𝗪𝗔𝗥𝗦𝗢 (𝗦𝗽𝗲𝘀𝗶𝗮𝗹 𝗨𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗵𝘂𝗻)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang