DITAGIH UTANG

204 10 5
                                    

Tin!

Pintu rumah terlihat tertutup.

"Mak!" teriak Kuswanoto di depan pintu.

"Mak!"

Tak ada sahut jawab dari dalam.

"Jane neng ngendi to wonge ki." (Sebenarnya ke mana orangnya ini).

Suasana masih terlihat lindap. Hanya semburat keemasan di kaki langit bagian timur.

Kuswanoto memilih masuk melalui pintu belakang.

"Mak."

Tidak ada Warsinah di dapur. Terlihat kompor masih menyala dengan satu panci tertutup.

Kemudian memilih ke kamar.

Rutinitas jaga malam di kantor desa membuatnya sedikit menguap saat merebahkan tubuh di atas balen.

"Pak, sudah pulang toh!" Suara Warsinah dari dapur.

"Wes." (Sudah).

"Ko endi, Mak!" (Dari mana, Mak!).

"Dari belakang," jawab Warsinah seraya muncul dari ambang pintu.

"Uncalno sarungku kene." (Lemparkan sarungku).

"Tiga hari lagi ada kondangan di tempatnya Pak Tulus. Anaknya dikhitan." Seraya menyerahkan sarung kepada suaminya.

"Terus?"

"La kok terus? Ya, aku ke sana mau bawa apa? Aku sendiri juga belum bayaran."

"Ngutang ae sek, ngutang." (Berutang dulu, berutang).

"Ah, utang sudah setinggi gunung, Pak." Warsinah lalu duduk di tepi balen dengan membekap baju, jaket, serta satu sarung lain yang harus dia cuci.

"Kalau diingat-ingat. Pak Tulus itu, ya baik orangnya dengan kita. Iya toh?"

"Nyileh sek ambek Pak Ali. Mosok gak diwei?" (Pinjam dulu dengan Pak Ali. Masak tidak dikasih?).

"Minggu ini saja, aku masih punya utang. Belum yang minggu kemarin, juga belum aku bayar. Aku malu toh, Pak."

"La awakmu megawe kok. Yo dipotong bayaran rak iso ta?" (La kamu bekerja kok. Ya dipotong bayaran apa tidak bisa?).

"Hialah, Pak. Bayaran upah unduh tidak seberapa. Untuk menutupi kebutuhan kita sehari-hari saja pas-pasan."

"Apa Njenengan, pinjam saja dulu sama Pak Rete. Sekadar untuk kondangan."

"Gah! Gak kere!" (Tidak! Tidak sudi!).

"La terus?"

"Sak onoke ae lah, Mak. Nggo opo dipekso-pekso nek nyatane gak onok, he?" (Seadanya saja, Mak. Untuk apa dipaksakan kalau kenyataannya tidak ada, he?).

"Ya Allah, Pak. Baru kali ini loh Pak Tulus punya hajat. La, ya masak ke sana cuma bawa gula kopi saja. Malu aku."

"Yo, onoke iku kok. Kon piye neh, he?" (Ya, adanya itu kok. Mau bagaimana lagi, he?).

"Ya usaha toh, Njenengan. Pinjam sama siapa dulu. Nanti kalau Njenengan, sudah gajian ya, dibayar."

"Kate nyileh sopo. Usume laib koyok ngene." (Mau pinjam siapa. Musim krisis seperti ini).

"Ya, usaha toh. Bagaimana toh, Njenengan."

"Wes kono gek gawe wedang. Ko tak pikire." (Sudah sana buatkan wedang. Biar aku yang memikirkannya).

Warsinah beranjak menuju mukena dan sajadah yang tergantung di sudut kamar.

Tak ada cakap terdengar, hanya Kuswanoto yang mengembuskan napas berat berkali-kali seraya memangku kepala dengan lipat tangan di atas bantal.

𝗖𝗘𝗥𝗞𝗔𝗞: 𝗔𝗠𝗕𝗔𝗟 𝗪𝗔𝗥𝗦𝗢 (𝗦𝗽𝗲𝘀𝗶𝗮𝗹 𝗨𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗵𝘂𝗻)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang