dua puluh

536 95 7
                                    

Seminggu telah berlalu setelah ancaman yang Minho berikan pada Jeno waktu itu. Dan selama itu pula baik Minho, Changbin ataupun Hyunjin belum melakukan apa-apa pada keluarganya.

Tapi justru hal itu yang membuat Jeno semakin tidak tenang, karena rencana mereka selalu saja tidak terduga.

Jeno sudah meminta kakaknya, Mark untuk segera kembali ke Belanda karena sebelumnya dia ada pekerjaan selama beberapa bulan di Canada. Mark pun langsung bergegas pulang saat Jeno menjelaskan semuanya.

Dilihat dari segi jumlah saja Jeno dan Mark sudah kalah telak. Changbin punya banyak orang di belakangnya dan mereka semua tidak ada yang normal. Ingat itu.

Kecerdasan serta kemahiran mereka dalam memperhitungkan langkah juga tidak bisa dianggap remeh. Bahkan kedua anak kembar Changbin saja bisa menghabisi nyawa Ayah mereka tanpa ketahuan. Padahal saat itu banyak penjaga yang mengawal Tuan Lee, namun tidak satupun dari mereka mengetahui secara langsung kejadian pembunuhan itu.

Meski tak yakin, Jeno dan Mark tetap tidak mau mundur. Mereka masih bertekad untuk menghancurkan keluarga Seo dan juga Minho. Meskipun kemungkinan mereka untuk menang sangatlah kecil.

Pukul dua dini hari, Jeno masih terlihat duduk di kursi kebesarannya setelah menyelesaikan berkas-berkasnya. Jeno memang belum pulang ke rumah, dia masih ada di kantornya.

Jeno memijit pelipisnya. Seharusnya ia tidak terkejut saat tahu jika Minho memilih bergabung dengan Changbin dan Hyunjin, namun hal itu masih saja membuatnya sedikit tidak percaya.

Mau bagaimanapun mereka adalah saudara, dan Minho justru berniat untuk memusnahkan mereka semua termasuk mamanya sendiri.

Jeno terlihat melirik ke arah ponselnya yang menyala lagi. Ia kembali mengabaikan ponselnya yang terus berdering sejak tadi. Meskipun nama sang putra yang terpampang jelas dilayar ponsel itu tetap saja tidak membuat Jeno mengangkatnya.

Penganggu. Itulah yang Jeno pikirkan. Setidaknya ia berpikir demikian beberapa menit sebelum layar komputernya yang tiba-tiba menyala.

Jeno tentu saja terkejut. Pasalnya ia tak menyentuh sedikitpun komputer tersebut.

Jeno mengernyitkan dahinya saat layar komputer itu menampilkan sebuah ruangan yang nampak kosong. Ia bertanya-tanya, ada apa ini sebenarnya?

Udah nyala belum sih ini?

Samar-samar Jeno mendengar suara seseorang dari dalam layar tersebut.

Nah udah nih.

Eh, bentar, kurang pas.

Jeno mendengar suara itu lagi dan ia semakin fokus pada layar komputer di depannya. Ini semacam saluran CCTV, tapi Jeno tidak tahu dari mana asalnya. Dan sepertinya kamera di sana sedang di pegang oleh seseorang karena gambar di komputer Jeno yang terlihat bergerak tak beraturan.

Hingga saat kamera itu berhenti bergerak dan fokus pada satu tempat, mata Jeno langsung membelalak.

"MAMA!" Teriak Jeno.

Dari layar komputer tersebut Jeno bisa melihat dengan jelas seorang wanita paruhbaya yang tak lain adalah ibunya tergantung bebas di langit-langit ruangan itu.

Nafas Jeno memburu. Bagaimana bisa mamanya ada di sana? Padahal Jeno sudah memastikan tidak ada seorangpun yang tau dimana mamanya berada kecuali anggota keluarganya.

Saat pikirannya sedang kalut, denting notif dari ponselnya mengalihkan perhatian Jeno.

Ia segera meraih benda pipih itu dan langsung melihatnya.

Xinlong :
Pa! nenek, sama paman sungchan nggak ada di ruangannya!
Papa dimana?
Pa?!
Angkat telfon, Xin!
Papa! Mama Karin juga nggak ada di kamarnya!

Blood Rose (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang