"menjadi temanku?"
Aku bergeming. Nagisa menatapku dengan tatapan yang begitu hangat dan penuh janji. Kedua tangannya keluar dari dalam saku, ia melangkah kearahku kemudian mengulurkan tangan. Aku menunduk lalu melihat padanya, "Eh..?"
"Aku ingin menjadi temanmu, Ikari-kun.." ia berkata dengan suara pelan. Aku menatap tangan Nagisa, begitu putih, jari jarinya juga lentik, jari seorang musisi memang cantik, gumamku.
Dengan gugup aku mengangguk sekali kemudian menyambut uluran tangannya sembari menahan nafas ketika kulit kami bersentuhan. Genggamannya erat. Aku mengangkat wajah untuk melihat Nagisa dan ia hanya tersenyum padaku.
"Terima kasih... Ikari-kun,"ucapnya.
"Um! Terima kasih kembali, Nagisa-kun."
Terulas senyum tulus diwajahku. Aku menunduk memandangi kedua tangan kami.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senang dihatiku. Seorang Pangeran Sekolah ingin berteman denganku, rasanya seperti mimpi.
"Aku ingin tau lebih banyak tentangmu, bisakah kita mengobrol lebih lama?"
***
Angin bertiup melalui jendela yang kacanya dibuka. Menyentuh wajahku bagai helaian sutra, menggoyangkam surai cokelatku pelan.
Guru pertama sudah meninggalkan kelas sejak tiga puluh menit yang lalu, sekarang tinggal menunggu guru selanjutnya masuk.
Aku termenung di mejaku. Dengan sepasang earphone yang menyumbat telinga dan jari telunjuk yang mengetuk ngetuk meja, aku memikirkan satu hal, benar, tentang Nagisa.
Kemarin dia bilang ingin jadi temanku, lalu bilang kalau dia ingin tahu lebih banyak tentangku. Kalimatnya kemarin membuatku jadi berpikir, Bagaimana caraku menggolongkan seseorang sebagai temanku? Apa yang membedakan mereka dengan orang orang disekitarku? Apakah jika Nagisa menjadi temanku, akan ada sesuatu yang berubah?
Aku tidak ingin memikirkan Kenapa Nagisa ingin berteman denganku, sih.
Semakin aku memikirkan jawaban atas pertanyaan pertanyaan itu, semakin pening kepalaku dibuatnya.
Nagisa mungkin tidak seperti orang kebanyakan, tidak ada orang sebelum dirinya yang meminta izin untuk berteman, bahkan Kensuke dan Toji. Aku bahkan tidak ingat bagaimana kami bertiga bisa menjadi sahabat dekat.
Aku menumpu wajah di meja seraya mengetuk ngetuk pensil ke meja. Helaan nafas terdengar kasar, aku melemparkam pensil tadi kedalam kotak.
Punggung yang lelah bersandar ke sandaran kursi, wajahku terangkat menatap langit langit. Iris biru ku menggulir kearah meja Asuka, gadis itu tengah mengobrol dengan Hikari. Lalu aku melihat Ayanami, gadis itu juga tampak sedang asyik membaca bukunya. Aku menghela nafas panjang lalu kembali menegakkan badan.
Terdiam sejenak, aku memikirkan sesuatu. Perlahan aku menoleh kebelakang, melihat ke meja Nagisa. Pemuda berkulit putih pucat itu tengah membaca tulisan yang ada di selembar kertas. Aku menatapnya beberapa saat, mataku turun melihat kearah lembaran kertas yang ada ditangannya.
Sadar tengah aku perhatikan, iris merahnya bergerak melihatku. Aku tersentak dan spontan melambaikan tangan lalu tersenyum canggung. Nagisa balas tersenyum dan melambai, akupun kembali menghadap ke depan.
"Kenapa aku begitu canggung?" Aku menggerutu dengan suara pelan.
Mendadak bel sekolah berbunyi nyaring. Kelas berubah ricuh karena anak anak yang bersorak kegirangan.
Guru yang seharusnya mengajar sekarang ternyata tidak datang, alhasil jam makan siang dimajukan, pantas saja mereka senang. Begitu antusias, aku melepas earphone yang sedari tadi menyumbat telingaku-walau sebenarnya tak ada musik yang sedang aku dengarkan- dan langsung menyimpannya kedalam tas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkle [Kawoshin fanfiction]
Fanfiction[Evangelion Fanfiction] "Aku takut.." rintihnya. Dekapan hangat mengenyahkan segala bentuk keraguan dalam hati. Tangisnya pecah tatkala pemuda itu membisikan kata kata yang selama ini ingin ia dengar. ------- Ikari Shinji. Seorang pria dewasa yang e...