[17]

201 19 0
                                    

Rumah orangtua Karin berada di Daigo, nyaris berada di perbatasan Prefektur Tochigi.

Sebenarnya rumah tersebut masih terbilang baru. Ibu benar-benar menjual rumah di Hitachinaka satu tahun sebelum Karin lulus dari kuliahnya setelah rencananya sempat terpendam cukup lama--Ibu sudah berpikir untuk menjualnya saat Karin baru memasuki masa SMA. Bukan tanpa alasan, Ibu memiliki perkebunan yang telah ia buat bersama orangtuanya setelah bercerai dengan Ayah. Perkebunan itu semakin meluas dan permintaan pada hasil perkebunan Ibu terus meningkat. Namun, setelah kejadian perkebunan Ibu diobrak-abrik oleh orang-orang tak dikenal, Ibu selalu merasa cemas setiap kali meninggalkan Daigo. Kakek dan Nenek yang memang tinggal di dekat perkebunan pun tak cukup membuat kecemasan Ibu berkurang.

Maka dari itu, Ibu mendirikan rumah di tengah-tengah perkebunannya. Toko keramik Ayah Tiri pun turut pindah. Begitu pula Karin, ia pindah ke Daigo untuk sementara waktu setelah menyelesaikan kuliahnya--sebelumnya ia tinggal di kediaman keluarga sahabatnya, Hikaru.

Karin menempuh perjalanan menuju Daigo sekitar satu jam lebih menggunakan kereta. Ia perlu naik taksi untuk sampai ke rumah orangtuanya, sebelum menelusuri jalanan yang pas-pasan dilewati dua mobil yang dikelilingi pematangan sawah, beberapa rumah warga, lalu perkebunan milik ibunya. Rumah orangtuanya tidak berpagar, jalan masuk ke halaman rumahnya menanjak dan tepat di depan teras rumah sebagian diisi dengan tanaman terong yang memilik tiga baris horizontal.

Kepulangan Karin tidak disambut Ibu, tidak pula disambut Ayah Tiri, melainkan disambut adik laki-lakinya tanpa ia duga.

Adik laki-lakinya, Aki, tampak lebih tinggi dari terakhir kali mereka bertemu. Tubuhnya juga agak besar--barangkali karena masuk klub softball yang mengharuskannya sering berolahraga. Aki yang gembira berkat kepulangan Karin, memeluk Karin dengan erat. Sampai-sampai kaki Karin tak berjejak, tubuhnya diayun ke kiri dan ke kanan. Karin terbahak-bahak sembari menepuk-nepuk punggung Aki yang kokoh.

"Cepat, lepaskan aku. Kau bisa membuatku remuk." Pinta Karin.

"Aku pikir tahun ini pun Kakak tak bakal pulang." Ujar Aki, usai melepaskan pelukan. Ia menatap Karin tak percaya bercampur senang.

"Aku malas terus-terusan diteror Ibu dengan paket-paketnya agar aku segera pulang ke rumah." Sahut Karin. Mereka pun menelusuri koridor, menuju dalam rumah. "Omong-omong, kau sudah lama di sini?"

"Tidak kok. Baru dua hari lalu. Senin nanti aku juga harus kembali ke Tokyo untuk persiapan pertandingan softball." Jawab Aki.

"Hei... kau seharusnya tetap berada di Tokyo dan kembali ke rumah setelah pertandinganmu beres."

"Mau bagaimana lagi, aku tak sanggup mendengar Ibu mengeluhkan soal Kakak lewat telepon karena Kakak tak pernah mengangkat telepon dari Ibu dan tak pulang-pulang. Ibu bilang kau sudah lupa dengan keluargamu."

"Eh..." Kening Karin mengkerut. "Ibu ke mana sekarang? Dan Ayah?"

"Seperti biasa, Ibu ada di perkebunan belakang rumah. Ayah ada di toko keramiknya."

Karin pun segera menuju beranda belakang rumah. Dari kejauhan, tampak beberapa orang berada di perkebunan semangka. Ia bisa menebak yang mana ibunya berkat penampilannya: topi jerami, penutup wajah dari kain, kaus dan celana olahraga panjang, sarung tangan, dan sepatu but karet. Sampai sekarang Karin masih heran, kenapa Ibu berpenampilan begitu demi melindungi kulitnya dari sinar matahari agar tak menggelap, ketimbang menggunakan sunblock yang pernah ia sarankan. Padahal suhu kian meningkat, pasti terasa panas dan pengap.

"IBU?!" teriak Karin. "AKU PULANG LHO!"

Semua orang yang berada di perkebunan menoleh ke arahnya, tak terkecuali Ibu. Sekali lagi Karin berteriak. Ibunya berkacak pinggang, memperhatikannya sebentar, sebelum kembali ke rumah. Ibu melepaskan topi jerami dan penutup kain hingga memperlihatkan wajahnya yang berpeluh memerah, berikut melepaskan sarung tangan dan sepatu but karet.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang