[12]

179 18 6
                                    

Lebih dari sepuluh orang dari Tim SAR turun ke sungai dengan perahu karet, menyorot cahaya senter ke dasar sungai. Enam orang dari kepolisian, menelisik semak-semak di sekitar tepian sungai. Sementara ia dan Kepala Divisi Kesejahteraan Sosial hanya memperhatikan para petugas melakukan pekerjaannya dengan penuh harap.

Risa menggenggam erat anting yang ia yakini milik Rei sembari berdoa bahwa benda tersebut bukan milik gadis itu dan gadis itu barangkali sedang mengunjungi setiap konbini yang buka 24 jam untuk menghindari kejenuhannya menghadapi ibunya di rumah. Namun, perahu karet kembali ke tepian, membawa seorang gadis berambut panjang mengenakan gaun biru selutut dengan tubuh pucat dan kaku.

Dengan kakinya yang bergetar, ia mendekati sosok tersebut yang sedang dipindahkan ke dalam kantong jenazah. Embusan angin musim panas mendadak dingin, menyentuh tengkuknya hingga ia membeku menyaksikan Rei dengan kulit memutih, mata tertutup, bibir membiru, dan napas yang tak berembus lagi. Napasnya tertahan. Anting yang dipegang Risa pun seharusnya berada di cuping kiri mayat tersebut yang sekarang kosong.

***

Mayat Rei ditemukan Tim SAR dalam radius 900 meter dari jembatan ia melompat dan tenggelam sedalam tujuh meter. Bila tubuh Rei tak tersangkut di bebatuan dasar sungai, barangkali ia akan ditemukan lebih dari sehari karena hanyut sampai ke kota sebelah. Menurut hasil autopsi, Rei mengalami pukulan keras di dada dan kepala sebelum melakukan bunuh diri dengan terjun dari jembatan ke sungai Naka.

Ibu gadis itu datang ke kantor polisi setelah delapan jam penemuan mayat putrinya. Wanita itu tak tampak terkejut, tak tampak sedih dan bersalah pula. Namun tatapan wanita itu mendadak kosong, helaan panjang keluar dari bibirnya sebelum ia mengaku bahwa ia dan pacarnya menjual anaknya ke agensi prostitusi yang menyalurkan pekerjanya hingga ke Cina. Saat ini, pacar wanita itu kabur entah ke mana.

Upacara pemakaman Rei yang singkat dan damai dilakukan pada hari Selasa, dihadiri oleh ibunya sendiri, beberapa pekerja sosial termasuk Risa dan Aoi, wali kelasnya, dan dua murid perempuan dan satu murid laki-laki yang merupakan teman sekelas Rei. Selama upacara pemakaman berlangsung, Ibu Rei tak lepas dari perhatian Risa sejak di kantor polisi. Wanita itu sama sekali tak menangis, hanya duduk di kursi depan bersama tatapan hampa yang terjatuh ke lantai. Berbeda dengan orang-orang di sekitar, menangisi putrinya yang sedang dikremasi.

Apa yang wanita itu pikirkan?

Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya. Apakah wanita itu sebenarnya merasa senang karena putrinya yang bagaikan beban dalam hidupnya telah pergi tanpa kembali? Atau ia menyesali perbuatannya karena selain putrinya tidak pernah ia temui lagi, ia akan mendekam di penjara?

Risa menerima guci berisi abu Rei saat petugas pemakaman menyerahkan padanya, lalu mendekati ibunya Rei untuk menyerahkan guci tersebut meski hatinya terasa berat. Dalam pikirannya ia bertanya-tanya: apa abu putrinya akan ia simpan ke makam keluarga besarnya? Atau akan ia bawa ke dalam jeruji besi bersamanya karena tak tahu di mana makam keluarga besarnya? Atau akan membuang abu putrinya ke tempat sampah umum tanpa pikir panjang?

Ia harap wanita itu memperlakukan abu Rei dengan baik untuk terakhir kali.

Menyadari Risa ada di hadapannya, ibunya Rei mengangkat pandangan. Raut wajahnya datar, sorot matanya menusuk kendati terasa gersang.

"Kau tak berguna sebagai pekerja sosial." Gumam wanita itu, mencelanya. "Yang kau tahu hanya mengurus pemakaman saja."

Ia terkesiap, tubuhnya mendadak membeku. Saat itu juga Aoi sudah ada di antara mereka, wajahnya memerah dan keningnya berkedut.

"Ozono-san, jangan seperti itu!" tegur Aoi, tegas. "Anda yang--"

"Aoi," potong Risa cepat, mencengkram lengan Aoi.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang