[16]

175 19 2
                                    

"Tadaima!"

Mendengar kepulangan Risa, Ibu yang berada di balkon buru-buru mengambil pakaian kering di jemuran, kemudian masuk dengan kedua tangan mengangkut keranjang.

"Kau pulang? Ibu pikir kau akan menghabiskan waktu bersama Karin-chan setelah kerja dan pulang seperti biasanya pada subuh hari." Kata Ibu, terkejut.

Risa menarik sebelah sudut bibirnya. "Aku perlu pulang juga, Bu."

"Kau sudah makan? Mau Ibu buatkan sesuatu?"

Ia mengangguk.

Usai membersihkan diri, Risa menarik kursi dari meja makan dan duduk di sana. Ia menatapi punggung ibunya yang sibuk memasak di depan kompor. Sebenarnya kepulangannya kali ini bukan hanya sekadar pulang saja, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada ibunya.

"Bu, aku berpikir ingin mendaftarkan nama Ibu ke dalam kartu keluargaku." Ujar Risa, saat Ibu meletakkan masakannya di atas meja makan.

Ibu duduk di hadapannya, menatapnya dengan kedua alis terangkat.

"Pengobatan Ibu tanpa asuransi sangat mahal." Ia menjelaskan. "Jika Ibu menjadi keluargaku, aku bisa mendaftarkan asuransi Ibu dengan nama keluargaku. Karena aku menggunakan asuransi negeri, potongan biaya pengobatan Ibu bakal jauh lebih banyak, bahkan bisa sampai gratis. Lagi pula, asuransi Ibu sudah lama mati, kan?"

"Tapi, memangnya bisa terdaftar di dalam dua kartu keluarga?"

"Tentu saja tidak... Jika Ibu berkenan, Ibu harus berpisah dengan suami Ibu." Usulnya. "Selama ini suami Ibu tak tahu kan kalau Ibu sakit? Dia bahkan tak mencari Ibu."

Melihat Ibu yang terdiam, timbul perasaan tak enak pada dirinya. Ia menunduk, mengaduk sup di dalam mangkuk. Ia sadar, perkataannya itu kelewat berlebihan.

"Kalau tak mau juga tak apa-apa." Ujar Risa dengan berat, sebelum menyantap supnya. "Lupakan saja."

"Risa?" panggil Ibu setelah keheningan panjang. Risa mengangkat pandangan. "Kau serius dengan Karin-chan?"

Keningnya mengkerut, merasa tersinggung. "Mengapa bertanya begitu? Ibu meragukan kami karena kami sama-sama perempuan?"

"Ibu juga mengerti kok kalau hubungan seperti itu ada. Tapi syukurlah..." Ibu seketika menghela napas lega sembari sumringah.

Meski merasa bingung akan sikap ibunya, Risa memilih tak menghiraukannya dan kembali menyantap hidangan di depan mata.

"Omong-omong, bisakah kau menemani Ibu akhir pekan nanti?"

"Mau ke mana? Bukankah Ibu biasa pergi sendiri? Kalau tidak penting-penting amat aku--"

"Huh... kadang-kadang Ibu merasa iri dengan Karin-chan, bisa menghabiskan waktu bersamamu setiap hari. Ibu juga ingin menghabiskan waktu bersama putri Ibu, seperti kencan antar ibu dan anak di akhir pekan."

"Bu, jangan mengeluh seperti remaja baru puber." Tegur Risa. "Baiklah, aku akan menemani Ibu jalan-jalan akhir pekan nanti."

Melihat ibunya berseru senang, senyumnya pun tersungging.

***

Destinasi jalan-jalan bersama ibunya diawali dengan ke studio foto untuk melakukan pemotretan--pantas saja ia dipinta ibunya untuk berpakaian lebih rapi dari biasanya. Ibu bilang, ia ingin punya foto mereka berdua dan mencucinya untuk dipajang di rumah Risa. Sejujurnya, Risa merasa canggung berfoto bersama Ibu. Mereka jadi tak berjarak, mengingat mereka tidak pernah begini. Tapi, ibunya yang tiada rasa canggung dan begitu ceria dapat mencairkan perasaan canggung Risa.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang