[7]

185 18 8
                                    

Karin merintih kesakitan saat dokter menggerakan pergelangan kaki kirinya sampai-sampai punggungnya refleks terangkat dari ranjang. Padahal itu hanya gerakan pelan dan hati-hati, tapi kakinya seperti hendak dimutilasi saja.

"Keseleo, tidak parah." Ujar dokter tersebut. Kini sang dokter membebat pergelangan kakinya yang memar dengan perban elastis usai diberi salap anti nyeri. "Tak sampai sebulan sudah sembuh kalau Anda tidak berendam dengan air panas dan tidak melakukan banyak aktivitas berat. Bagaimana dengan kepala Anda? Terbentur cukup keras sampai Anda pingsan. Dari pemeriksaan GCS tadi seharusnya Anda hanya mengalami cedera kepala ringan. Sekarang merasa mual?"

"Hanya sedikit pusing, selebihnya tidak." Sahutnya, mengusap bekas benturan di kepalanya.

"Jika terjadi sesuatu semacam hilang keseimbangan atau sakit kepala berkepanjangan, saya sarankan untuk pemeriksaan lanjut di rumah sakit besar. Anda bisa melakukan CT scan. Kalau dari saya, Anda akan dapat obat anti nyeri untuk luka di kaki Anda dan obat anti sakit kepala."

Melihat dokter keluar dari ruang pemeriksaan, Risa yang sedari tadi berdiri di samping ranjang turut mengekori dokter tersebut. Sekembalinya wanita itu bersama kantong kertas berisi obat di tangannya, Karin segera beranjak dari ranjang--tatapan Risa seakan memerintahnya begitu. Tapi, ia tak bisa bergerak cepat layaknya orang normal, kaki kirinya kebas bercampur ngilu bila menyentuh lantai, berikut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Sadar akan itu, Risa memapah tubuhnya hingga keluar dari klinik dan masuk ke dalam taksi.

"Wanita itu sudah ditangkap polisi yang kebetulan sedang berpatroli." Risa membuka obrolan selama taksi melaju di jalanan yang lenggang. "Aku juga pernah diteror wanita itu dan kupikir dia tak akan melakukannya lagi setelah aku melaporkannya ke kantor polisi beberapa bulan lalu... Ormas keagamaan sekarang semakin meresahkan saja."

Meski merasa lega, ia tak bisa merespons lebih dari gumaman lirih, "Emm..."

"Sepertinya kita perlu ke rumah sakit sekarang." Risa ternyata memperhatikan gelagatnya, terdengar cemas.

"Aku hanya perlu istirahat sebentar di rumah," sahutnya. "jika aku kenapa-napa, aku tinggal pergi ke rumah sakit sendiri."

Taksi pun menepi di bahu jalan tepat di depan gedung apartemen yang ditempati Karin. Usai membayar, Risa membantunya keluar, memapahnya kembali melewati gerbang apartemen. Baru menaiki satu anak tangga, Karin kewalahan menyeimbangi langkahnya dengan langkah Risa yang terkesan buru-buru. Kaki kirinya terasa berat, membuatnya lama memindahkan kakinya meski Risa sudah menarik pinggangnya.

"Kalau begini, kita bisa sampai ke unitmu besok pagi." Keluh Risa. Berhenti di bordes, Risa melepaskan Karin, membelakanginya, dan sedikit membungkuk seraya menepuk punggungnya. "Cepat naik."

Karin memandangnya sangsi.

"Hei! Ayolah, cepat!" serunya.

Tak mau membuat Risa mendadak menjadi harimau, segera ia gapai kedua bahu wanita itu. Tungkainya ditarik Risa, menyebabkan ia naik di atas punggung wanita itu. Posisinya dibenarkan sebentar, ia semakin mengeratkan pegangan pada bahu Risa ketika wanita itu mulai menapaki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Sekarang aroma cokelat dari Risa berkumpul di penciumannya, menimbulkan rasa sesak yang menggelitik paru-parunya.

"Hei?" ia membuka suara setelah mereka melewati lantai satu. "Memangnya tidak berat?"

"Dengan tubuh gembrotmu seperti Jaiko dan pipimu seperti bakpao, menurutmu?"

"A-apa?!" merasa kaget dihina seperti itu, sekonyong-konyong sakit kepalanya berganti dengan rasa panas yang siap meledak. Tapi, ia juga tahu Risa tidak serius mengatainya begitu. Jadi, ia hanya cemberut di balik kepala Risa sementara wanita itu tertawa.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang