[14]

164 17 6
                                    

Karin berlari pulang ke rumah dengan semangat yang menggebu-gebu usai bermain di rumah temannya. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan kepada ibunya mengenai hadiah ulang tahunnya yang kedelapan.

"Ibu!" serunya, menghampiri ibunya yang sedang melipat pakaian di ruang tengah sembari menonton drama sore di televisi.

Ibu mengalihkan perhatian pada Karin yang sudah bersimpuh di hadapannya. "Lihat anak bandel ini... Ibu sudah bilang jangan berlari bila masuk ke dalam rumah, Karin-chan bisa tersandung di undakan seperti kemarin. Dan cuci tangan terlebih dahulu setelah berada di luar." Tegur Ibunya.

Karin buru-buru bangkit, pergi ke wastafel dan mencuci tangan dengan tergesa-gesa, lalu kembali bersimpuh di depan sang ibu yang sudah menarik kedua sudut bibir karena memperhatikan tingkahnya.

"Ulang tahun Karin bulan depan nanti, boleh Karin minta sesuatu?" tanya Karin.

"Memangnya Karin-chan mau apa?"

"Tongkat sihir seperti punya Rina-chan!" seru Karin. "Ibunya Rina-chan membelikan tongkat sihir sebagai hadiah ulang tahunnya hari ini. Tongkat sihirnya keren! Bisa berlampu kerlap-kerlip dan mengeluarkan lagu. Kalau kita beli tongkat sihir, juga bakal dapat mahkota, anting-anting, kalung, dan cincin."

Ibunya diam sejenak, sedang menimbang-nimbang keinginan Karin. "Mainan itu sepertinya agak mahal. Padahal Karin-chan baru-baru ini membeli mainan masak-masakan, kan? Mungkin uang Ibu tidak akan cukup... Bagaimana jika kita membicarakan ini pada Ayah?"

Karin mengangguk riang.

Sayangnya, Ayah jarang pulang ke rumah. Sekalinya pulang ke rumah, Ibu dan Ayah selalu memperdebatkan sesuatu hingga Ibu merajuk dan tak mau berbicara pada Ayah. Berkat itu, belum ada 24 jam berada di rumah, Ayah sudah kembali meninggalkan rumah. Suatu hari, Karin mengejar Ayah yang sedang memasang sepatunya di undakan.

"Ayah, kenapa terus pergi?" tanyanya, muram.

"Ayah harus bekerja dan mendapatkan uang untuk Karin-chan." Sahut Ayah ringan, lalu menarik Karin ke dalam rengkuhannya dan mengusap puncak kepalanya.

Karin selalu gundah bila melihat Ayah meninggalkan rumah. Bukan karena apa, Ayah sering memanjakannya bila mereka bersama seperti membawa pulang camilan kesukaannya, membelikannya banyak mainan, menggendongnya bila ia menangis, membawanya pergi ke taman bermain, mengajarinya bermain sepeda, menonton kartun bersamanya, membacakannya dongeng, dan memindahkan tubuhnya di kasur saat ia terlelap di sofa. Meski Ibu juga melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Ayah, suasananya jelas berbeda. Ibu lebih sering menimbang-nimbang keinginan Karin, sementara Ayah segera mewujudkan keinginannya. Ibu juga sering menegurnya bila ia berbuat salah sebelum menolongnya, sementara Ayah selalu menenangkannya terlebih dulu sebelum menolongnya. Ibu yang ia lihat setiap hari tampak biasa-biasa saja, sementara Ayah yang jarang ia lihat tampak luar biasa. Ia menyayangi Ayah dan itulah kenapa ia tak ingin Ayah terus meninggalkan rumah.

"Ulang tahun Karin sebentar lagi." Karin mengingatkan, menatap wajah Ayah. "Ayah bakal pulang?"

Ayah balas menatapnya, tersenyum teduh. "Ada sesuatu yang Karin-chan inginkan?"

Seketika saja ia kembali bersemangat. "Karin mau tongkat sihir!"

Ayah terkekeh melihat perubahan raut wajah Karin, "Kalau begitu, biarkan Ayah bekerja agar bisa membelikan tongkat sihir untukmu."

Akan tetapi, ulang tahun yang ia tunggu-tunggu malah menjadi ulang tahun terburuk sepanjang hidupnya. Tidak ada perayaan ulang tahun bersama teman-teman, tidak ada tongkat sihir untuk hadiah ulang tahunnya, dan tidak ada Ayah yang sudah berjanji untuk pulang ke rumah.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang