Serpihan Rindu

366 10 0
                                    

Rindu
....
Sudah empat minggu aku menghabiskan waktu istirahat dirumah Bibi. Tak ada seorang pun yang pernah membicarakan sosok Dimas lagi di depanku, baik Adam, Bibi atau sahabat terdekatku Amerta. Semua orang bungkam, seolah tak terjadi apa-apa, semenjak aku mendengar semua cerita kehidupanku bersama Dimas, ada rasa berbeda yang terasa, kehilangan. Yah tentu aku merasa kehilangan, meski tak sedikit pun ingatanku tentang Dimas teringat dengan baik. Berulangkali aku memandang foto lelaki yang menjadi suamiku itu di dalam kamar saat akan tertidur, foto pernikahan dengan bingkai emas terpajang rapi di atas meja rias. Aku merasa sedih, entahlah.

"Apa yang bisa aku ingat tentangmu Dimas?" keluhku suatu malam.

"Apa yang harus aku lakukan untuk bisa kembali bertemu denganmu?" Mataku menatap selembar demi selembar album pernikahan, ada banyak kebahagiaan sederhana di dalamnya meski mataku menatap senyum datar di wajahku sendiri. Dimas nampak berdiri gagah dengan baju adat senyum tipis tersungging di bibirnya, wajahnya terlihat tenang dan lembut, satu tangannya nampak memeluk pinggangku.

"Kau dimana Dimas?" tanyaku sendiri.

"Tok..tok..!!" Aku melonjak kaget saat suara ketukan pelan di depan pintu kamar membuyarkan lamunanku. Mataku menangkap detak jam dinding mungil di samping tempat tidur, pukul sepuluh malam.

"Siapa?"tanyaku pelan.

"Sayang..ini Bibi.." Terdengar suara lirih tertahan disana. Aku menutup album foto, menyembunyikannya di bawah kolong tempat tidur berusaha tak menampakkan apapun, dengan tergesa-gesa aku berlari ke pintu, dan mendapati Bibi Yana dengan balutan gamis panjang berwarna silver tengah berdiri bersama Amerta.

"Bibi..Amer..ada apa?" tanyaku bingung. Bibi Yana tersenyum tipis sedang Amerta nampak menunduk ragu.

"Kamu belum tidur? apa Bibi mengganggumu?" Aku menggeleng, dengan perlahan aku sibak pintu kamar agar mereka bisa masuk. Kami duduk bertiga di sofa kecil samping  tempat tidur. Aku pandangin mereka dengan raut muka bertanya.

"Begini sayang.. Bibi dan Paman mendengar kabar tentang Dimas.. tapi semua masih belum jelas, jadi.." Bibi Yana terdiam sesaat.

"Jadi..apa Bi?" tanyaku bingung. Dadaku terasa sesak.

" Kami akan pergi untuk memastikan keadaan yang sebenarnya, tapi kami tidak bisa pergi sebelum kamu tahu semuanya.. Amerta akan tinggal disini selama bibi pergi."

Aku menatap Amerta, wajah sahabatku nampak terlihat sedih, entah apa yang terjadi, tapi perasaanku mengatakan semua tidak baik-baik saja.

"Aku akan ikut bi.." sahutku spontan. Bibi Yana nampak terkejut dengan ucapanku begitu juga Amerta, mereka berdua nampak berpandangan.

" Kau harus masih istirahat Ri.." Amerta menyentuh tanganku, terasa dingin. Aku menatapnya dan tersenyum.

"Apakah dengan menunggu bisa membuatku tenang Mer..?"

"Bukan begitu, tapi.."

"Kalau benar Dimas adalah suamiku,maka apa salahnya kalau aku pun ikut mencarinya,meski aku belum mengingat semuanya, bisakah?"pintaku pelan. Bibi Yana dan Amerta terdiam sesaat.

"Baiklah sayang, kalau kamu merasa itu lebih baik, selama kondisimu sehat kami tidak keberatan." Bibi Yana mengelus pundakku, mengangguk pelan pada Amerta.

"Kalau begitu aku juga ikut Bi..setidaknya aku bisa menjaga Rindu." Amerta mengenggam erat tanganku, kami tersenyum dan aku merasa lebih tenang. Setelah membereskan beberapa barang. Adam membantuku membawakan satu tas kecil berisi pakaian dan malam itu kami melaju di antara rinai hujan menuju Jakarta.

Rindu, Love or HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang