Lukisan

625 13 0
                                    

Dimas mengusap wajahnya, mencoba lebih fokus menyelesaikan lembaran tugas yang menumpuk. Matanya sudah sedemikian lelah namun ia tak ingin menunda pekerjaannya.

" Pak Dimas, anda belum pulang?" Dimas mengangkat wajah, Lastri sekretaris berbadan seksi itu nampak berdiri di depannya, Dimas menundukkan wajah dan menggeleng, sejujurnya ia tak suka dengan cara berpakaian Lastri namun setelah berulang kali ia menegur tanpa ada perubahan akhirnya ia harus rela menundukkan pandangannya.

" Bapak mau saya temani?" sahutan lembut gadis itu membuat Dimas jengah, ia tahu siapa Lastri, kata-katanya selalu lembut, selembut sikapnya dan pantang bagi gadis itu menyerah begitu saja.

" Tidak, kamu pulang saja. Saya ingin sendiri!" Lastri mengangkat alisnya mendengar kalimat Dimas yang ketus, bos barunya itu nampak selalu menghindarinya, kata-katanya pun terkadang selalu kasar, namun Lastri menyukai wajahnya dan tubuh lelaki muda itu, wajahnya yang tampan dan tubuh atletis itu selalu membuat Lastri bisa menahan kekesalannya.

" Baik pak, tapi apa sebaiknya saya-"

"Panggilkan pak Darto ke ruangan saya, kamu boleh pulang. Silahkan!" Dimas menatap tajam ke arah Lastri, ia sedang tak ingin gadis itu berlama-lama di dalam ruangannya, meski sekretarisnya sendiri, Dimas selalu menjaga jarak pada perempuan mana pun kecuali Rindu. Lastri nampaknya tak lagi membantah, setelah mengucapkan selamat malam gadis itu keluar dengan hati kesal, tak lama Pak Darto masuk dengan wajah bingung.

" Pak Darto, saya lembur hari ini, apa bapak mau menunggu saya sebentar?" Dimas masih menunduk memeriksa laporan di atas mejanya.

" Iya Nak.. Saya tunggu." Pak Darto kemudian pamit keluar setelah tak lagi mendapat perintah. Dimas baru mengangkat wajahnya ketika pintu tertutup, menghela napas dan tak sengaja matanya menatap foto perempuan dalam bingkai pigura hitam pekat berdiri tegak di sudut meja. Rindu.. Sedang apa dia?
***

#Back

" Siapa ayah?" Dimas menajamkan kedua telinganya saat mendengar ayah bicara tentang perjodohan.

" Rindu.." ayah mengulang nama perempuan itu lagi dengan intonasi lambat, Dimas mengangguk pelan tak ada pertanyaan apapun sampai ayah menyerahkan sebuah foto seorang perempuan dengan kerudung lebar, berdiri tersenyum memeluk Al quran di kedua tangannya, di belakangnya terselip sebuah spanduk nama yang ia kenal Rumah Quratun Ayun.

Tak ada yang menarik dari gadis itu, tapi entah kenapa semakin lama melihat fotonya hati Dimas merasakan sesuatu yang berbeda, ia tahu tentang rumah produksi Quratu Ayun tapi tidak mengetahui siapa pemilik dan karyawan di sana, rumah produksi itu tak jauh dari kantor tempatnya bekerja, hampir setiap hari ia melewati rumah itu, sebuah rumah sederhana dengan cat dinding berwarna biru langit, di lengkapi sebuah taman teduh dan beberapa gazebo, halamannya lumayan luas dan di samping kanan ada sebuah mesjid tempat ia beristirahat menunaikan kewajibannya terhadap Allah. Aku seperti pernah melihatnya.

Gadis itu berdiri tepat di depannya, ketika saat sore hari ia menerima ajakan paman dan bibi Yana untuk minum teh, tepat seperti dugaannya, raut wajah gadis itu nampak tak bersahabat dengan kedatangannya, wajahnya selalu datar dan dingin, berbeda dengan fotonya yang tersenyum lepas. Namun Dimas tak mengambil hati dengan sikap gadis itu, ia bersikap biasa terlebih ketika matanya menangkap sebuah kanvas tanpa bentuk terukir di sana, gadis itu tak fokus dengan apa yang ia kerjakan, tepatnya sangat kacau. Berulang kali Dimas menatap gadis berkerudung lebar itu dengan diam, ada aura kecantikan di sana, sepasang mata sipitnya juga terbingkai dengan kacamata berwarna hitam, bibirnya mungil dan tegas.

" Nak Dimas, pekerjaanmu sebenarnya cocok dengan Rindu." Dimas melirik Rindu ketika nama mereka di sebut. Rindu hanya diam, tatapan matanya jauh menerawang, Dimas hanya tersenyum tanpa berkomentar apa-apa. Apa dia gadis yang kaku, sepertinya ia tak menyukai semua ini.. Bathin Dimas.

Rindu, Love or HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang