08

484 71 7
                                    

Hari semakin siang, terlihat Aera yang seperti tidak memiliki semangat hidup tengah menatap makan siangnya dengan enggan.

    "Aku tidak mau begini. Tuhan, kumohon kembalikan aku ke kehidupan yang sebenarnya. Aku sungguh tak tahan dengan semua ini."

Dia meremas rambutnya sendiri, memukul kepalanya. Aera menangis, menampar pipinya sendiri, seminggu di kurung rasanya seperti setahun. Dia bahkan tak diperbolehkan melihat cahaya matahari, sungguh jendela saja tidak ada bahkan ventilasi.

Dia hanya ditemani dengan cahaya lampu yang remang-remang. Manik indahnya tidak menampakan cahaya kehidupan, kesuraman terpancar jelas pada maniknya tersebut.

Selama seminggu, Jihoon sama sekali tak bersikap baik padanya. Walaupun pria itu tak menyentuh dalam artian menghilangkan keperawanannya, tetapi Aera tetap merasa sangat amat tersiksa.

Pintu terbuka, terlihat Jihoon baru masuk dengan seragam sekolahnya. Dia melihat Aera sedang menyembunyikan wajahnya dibalik lutut, mendengar suara isakan kecil dari sana.

Jihoon mendekat dan menyentuh pelan punggung Aera, ada lebam di sana. Gadis itu tersentak dan tak sengaja menepis tangan Jihoon dengan kasar.

Seketika tangisannya terhenti, mata sembabnya membuat Jihoon terdiam seketika. Aera sekarang sangat tahu sifat asli iblis berwajah tampan di depannya itu.

Bagaimana tatapan tajam ia layangkan pada Aera ketika sedang marah, bahkan tak segan memukulinya dengan balok kayu yang memang sudah tersedia.

Kini kepalanya menunduk, menatap sprei ranjang yang lusuh karena belom sempat diganti.

   "Kenapa kau tidak makan?" tanyanya membuat Aera hanya menggeleng pelan.

   "Makan Aera!" ucapnya penuh penekanan.

   "Ti-tidak mau."

   "Aku bilang makan!" sentaknya dengan melempar nampan berisi makanan dan gelas.

   "Kau itu kenapa keras kepala, ha?"

Jihoon mencekram rahang Aera kasar, membuat gadis manis itu meringis kesakitan.

   "Le-lepas!"

Jihoon pun melepas kasar tangannya dari rahang Aera, mengembuskan napasnya frustasi.

   "Sudah seminggu kau disekap, tetapi sifatmu tidak mau berubah. Kau mau aku bagaimana?"

Kali ini Aera memberanikan diri untuk menatap Jihoon.

   "Aku mau pulang ... Bukan ke rumah ibu ataupun Areum, tetapi ke duniaku!"

Detik berikutnya Jihoon tertawa terbahak-bahak, membuat bulu kuduk Aera meremang hebat.

   "Aku mau pulang Jihoon. Aku bukan Aera yang kau incar, aku bukan orang yang kau suka."

Jihoon menghentikan tawanya, kali ini wajahnya berubah menjadi lebih serius lagi. Saat itu juga Aera merasa seperti nyawanya berada di ujung tanduk.

   "Aku tahu dan aku tidak peduli. Dari awal Aera itu memang tidak ada dan kedatanganmu ke sini bukan karena tak disengaja."

   "Komik yang kau baca adalah komik usang. Bertahun-tahun tak pernah disentuh oleh manusia manapun hingga kau orang pertama yang membaca isinya dan membaca mantra pembuka jalan menuju dunia ini."

   "Kau pasti penasaran ending dari komik itu serta siapa pembuatnya."

Aera tertegun mendengar penjelasan Jihoon, kepalanya rasanya ingin ia lepas saja. Pusing dan sakit secara bersamaan menyerang.

   "Kau tahu Yoojin? Dia pembuat komik itu dan aku orang yang kau cari, Aera. Dari awal, kau sudah ku incar saat menyentuh komik itu. Memang kendengarannya sangat tidak masuk akal, tetapi kau bisa berada di sini jadi, bagaimana menurutmu?"

Jihoon menunjukan wajah liciknya, menyeringai dengan tatapan tajam. Aera terdiam seribu bahasa, semua ini sangat sulit untuk ia cerna.

Jika memang semua skenario yang dia baca hanyalah sebuah jebakan, lalu bagaimana dengan kedua orang tuanya?

Setidaknya mereka lebih baik dari pada harus hidup dengan Jihoon yang jauh lebih sadis.

Dia ingin kembali, bagaimana pun caranya. Ingin menikmati kehidupannya yang biasa-biasa saja atau sekedar menjahili teman-temannya. Tolong Tuhan, biarkan Aera kembali ke dunianya.

Jihoon kini menaiki ranjang dan mencoba menarik Aera masuk ke dalam pelukannya. Dia mengusap lembut rambut gadis itu, seakan sedang menyalurkan kekuatan padanya.

Sementara yang dipeluk hanya diam, bahkan tak ada niatan sedikit pun untuk membalas pelukan pria yang sedang memainkan perannya dengan sangat apik.

Tangisan sudah reda, tanpa sadar Aera tertidur. Sesungguhnya dia sangatlah lelah dengan semua ini, mengingat tidak ada lagi jalan keluar baginya. Skenario palsu yang dibuat oleh orang terdekat Jihoon sangat menyiksanya.

Seandainya dia memilih untuk pergi ke kantin dan menikmati makanan di sana sembari bersenda gurau dengan teman-temannya, bukannya malah ke perpustakaan dengan dalih menenangkan pikiran, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi.

Jihoon dengan perlahan merebahkan tubuh Aera di atas kasur dan mengecup lembut dahi gadis itu. Dia membelai sensual pipi Aera, merasakan adanya basah di sana.

    "Kau terlalu manis untuk kulepas. Sekalinya mata kita saling bertemu, mau kau lari ke neraka sekalipun, aku akan tetap mengejarmu."

Dia berjalan keluar, sebelum itu dia sengaja mematikan lampu dan menutup pintu.

Sore harinya, Aera terkejut bangun dikarenakan dengan mimpi buruk yang sama. Sudah sekitar tiga hari dia bermimpi buruk terus, dia melihat ke sekitar sangat gelap. Tidak ada celah untuk cahaya matahari masuk, membuatnya kebingungan.

Aera mencoba untuk bersuara, tetapi tenggorokannya seperti tercekat. Detik berikutnya ia menangis, entah sudah keberapa kali dia menangis.

Karena terkurung di sini, dia jadi berpikiran yang tidak-tidak. Ketakutannya dulu yang tidak seberapa menjadi masalah besar baginya.

Aera menarik selimut, mencoba untuk menutupi dirinya. Sudah sekitar lima menit dia meringkuk seperti bayi, Aera akhirnya berteriak memanggil nama Jihoon.

   "Jihoon!" panggilnya dengan menatap ke arah pojokan kamar.

   "Jihoon!" panggilnya lagi.

Kakinya mati rasa untuk sekedar melangkah, merasa seperti ada yang mengawasinya dari setiap sudut kamar.

   "Jihoon, please ... "

Pintu kamar terbuka, nampak Jihoon tengah memakai hoodie hitam dengan celana pendek selutut tengah menyalakan lampu.

   "Kau ... Dari mana saja?" tanyanya dengan nada memelan sembari menatap sendu.

   "Aku tidak ke mana-mana. Kenapa?" tanyanya membalik.

   "Jangan ... Jangan matikan lampunya!"

Bersambung...

Aku di mana? (lookism)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang