10

422 63 2
                                    

Setelah kejadian itu, Aera dipindahkan sekolah. Areum tak mengatakan apapun mengenai Jihoon, ia hanya bilang kalau selama ini Aera diculik oleh orang yang terobsesi padanya dan pria itu sudah melarikan diri entah ke mana.

Ibunya tak masalah, asalkan anak gadisnya pulang. Di sini Aera sekarang, tinggal di sebuah desa yang jauh dari perkotaan.

Dia tinggal dengan neneknya yang selama ini hidup sendirian. Walaupun begitu, neneknya sangat menyayangi kedua cucunya itu.

Setelah menceritakan apa yang menimpa anaknya, sang nenek mulai memperhatikan Aera. Dia takut jika kejadian itu terulang kembali.

Selama tinggal di sana, Aera merasa seperti semuanya berakhir sekarang. Dia juga memiliki banyak teman apalagi salah satu tetangganya adalah teman sekelasnya.

   "Seok, temani aku ke toserba, ya?" tanya Aera dengan memasukan buku-bukunya ke dalam tas.

   "Oke."

Kini keduanya tengah berjalan menuju toserba, mereka baru saja pulang sekolah.

   "Aku harus membeli beberapa mie instant, aku suka kelaparan tengah malam."

Setelah selesai berbelanja, mereka bergegas kembali. Di rumah, Aera melepas sepatu dan pergi ke dapur untuk menata barang belanjaannya.

   "Oke, semuanya sudah terisi. Saatnya merebahkan tubuh!"

Aera bergegas menuju kamar dan merebahkan tubuhnya di sana. Saat akan menutup kedua matanya, terdengar suara ketukan. Mau tak mau ia bergegas keluar dan membuka pintu.

   "Iya?" tanyanya dengan membuka pintu. Menampilkan dua pria memakai jas hitam tengah menatapnya tajam.

   "Permisi, kami sedikit tersesat di sini."

   "Ada yang bisa dibantu?" tanya Aera sopan.

   "Saya ingin menanyakan soal tempat perbaikan mobil di sini, apakah nona tahu?"

   "Ah, di dekat toserba ada. Kalian setelah keluar dari sini, maju ke depan dan akan melihat toserba."

   "Baik, terima kasih. Maaf mengganggu waktunya."

   "Tidak masalah."

Setelah Aera menutup pintu, kedua pria tadi kembali ke mobilnya. Begitu kemasuki mobil tersebut, ternyata ada seseorang memakai kacamata hitam tengah tersenyum.

   "Kita pergi."

***

   "Seok, haruskah kita pergi ke pantai? Aku sedikit tidak enak badan," ucapnya sembari memegangi tekuknya.

   "Ya sudah, kita tunda dulu. Di pantai juga anginnya lumayan kuat, takutnya kau masuk angin."

Kini keduanya tengah duduk di teras rumah neneknya Aera, menikmati hangatnya teh buatan si pemilik rumah.

   "Seok ... Apakah ada orang yang kau sukai?" tanya Aera penasaran. Saking bosannya, gadis itu sampai menanyakan hal tersebut.

   "Hm, sejauh ini belum ada yang bisa membuatku jatuh cinta haha. Bukannya sombong, tetapi hampir setiap hari aku mendapatkan surat pernyataan cinta, bahkan ada yang membelikanku sekotak cokelat."

   "Woah, ternyata kau sepopuler itu."

   "Tidak juga. Aku juga awalnya murid pindahan sepertimu. Sayangnya beberapa kali ada yang mencoba untuk mengikutiku bahkan sampai meneror, mengirimkan surat yang ditulis menggunakan darah."

   "Ahaha, ini sudah biasa untukku. Jadi orang tuaku datang dan meminta kepala sekolah untuk memperingati para siswa di sana untuk tidak mengganggu privasi orang lain."

   "Aku harap, kehidupanku di SMA sini berjalan dengan baik!" ucap Aera sembari mengembuskan napasnya pelan.

   "Oh iya, kau waktu itu belum memberitahukan alasanmu pindah. Boleh aku tahu?" tanya Hyungseok penasaran.

Aera diam sesaat, menatap langit sore yang berwarna kejinggaan.

    "Aku sempat di culik waktu itu selama sebulan."

Mendengar ucapan Aera, pria itu terkejut.

    "Pelakunya teman sekelasku. Dia mengaku kalau terobsesi padaku, sebulan penuh aku tak dibiarkan menghirup udara segar dan hanya menempati sebuah kamar yang lumayan pengap."

Aera menunduk, ia teringat bagaimana Jihoon memperlakukan dirinya dengan kasar ketika moodnya benar-benar buruk dan akan bersikap manis saat Aera menurut padanya.

   "Selama di sana, aku sering diperlakukan kasar ketika moodnya buruk."

Hyungseok lantas mendekat perlahan dan menarik gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Detik itu juga Aera menangis, dia teringat ketika baru tiba di rumah, ibunya berlari memeluknya.

Tubuh kurus itu menangkup wajah Aera dan mengecup seluruh wajah gadis itu.

Bukan apa-apa, Aera senang hidup di sini karena memiliki orang tua yang amat sangat peduli dan menyayanginya.

Sang nenek hanya memperhatikan mereka dari jendela, ia tersenyum dan mulai berbicara dengan seseorang di telepon.

   "Tenang saja. Aera akan aman dengan ibu di sini, ada Hyungseok juga yang senantiasa menemaninya. Kau di sana harus berfokus pada Areum dan perhatikan dia. Kejadian yang menimpa Aera tidak bisa disepelekan."

   "Iya ibu. Tolong ya, kalau sesuatu terjadi pada Aera, langsung kabari kami."

Malam itu Aera masih terjaga. Ia menatap jendela kamar, jantungnya tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat. Sebuah bayangan laki-laki bertubuh tegap berdiri tepat pada jendela kamar, tubuhnya gemetar.

Aera diam di tempat, sama sekali tak berani untuk mengeluarkan suara. Suara ketukan terdengar, detik berikutnya hening.

Bayangan itu menghilang membuatnya bernapas lega. Namun, begitu berniat membalikan badan ia dikejutkan dengan sosok pria berwajah seram.

     "Ibu!" teriaknya yang baru saja bangun dari mimpi buruk. Napasnya terengah-engah, keringat dingin bercucuran.

Neneknya baru saja masuk dan memeluk Aera. Mengelus pelan pundak cucunya dan menenangkannya.

    "Sudah, tidak apa-apa. Ada nenek di sini."

Mimpi buruk tadi adalah awal dari bagaimana tersiksanya Aera dengan semua yang ia hadapi.

Peneroran mulai berdatangan, selama dua minggu lebih, Aera terus dihantui dengan rasa ketakutan yang luar biasa.

Sekalipun Hyungseok menginap di rumah, peneror itu masih gencar mengincarnya. Tak sekali ia mendapatkan pesan berupa ancaman akan membunuh Hyungseok jika laki-laki itu berani menyentuhnya.

Setelah peneroran bertubi-tubi, Aera kini sedang duduk di kelas dengan menatap ke luar jendela. Ia lelah dengan semua ini, tetapi tak berani memberitahukannya pada sang nenek ataupun Areum dan ibunya. Hanya Hyungseok yang berani ia beritahu.

    "Mau sampai kapan aku menderita begini? Aku lelah!"

Seseorang menepuk pundak Aera, ia terkejut dan hampir saja berteriak.

   "Maaf, aku tidak bermaksud untuk mengejutkanmu."

   "Ah, tidak apa-apa."

   "Itu ... Kepala sekolah memanggilmu."

   "Baiklah. Terima kasih!"

Aera bergegas pergi ke ruang kepala sekolah, sebelum itu dia mendengar beberapa gadis seperti sedang menggosipkan seseorang.

Setibanya di sana, dia diam sebentar. Setelah mengembuskan napasnya, dia memutar knop pintu lantas membukanya.

   "Selamat si-"

Ucapannya terhenti kala melihat siapa yang tengah duduk dengan kepala sekolah. Ia membulatkan matanya sempurna, tubuhnya gemetar dan tak mampu untuk bergerak. Tenggorokannya tercekat, kenangan buruk sebulan yang lalu kini harus terputar jelas di ingatannya.

Bersambung...

Aku di mana? (lookism)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang