07

502 71 2
                                    

Dua mata cantik perlahan terbuka, pandangan yang buram kini semakin jelas. Hening dan sedikit remang-remang cahayanya, membuatnya kesulitan mengetahui dia berada di mana sekarang.

Samar-samar gadis itu mendengar beberapa orang tertawa, detik berikutnya suara tawa itu berubah menjadi tegas.

Aera sadar bahwa sekarang dia berada di sebuah kamar yang tak terlalu luas, tetapi memiliki kasur yang lumayan besar. Sebuah lemari baju dan juga meja berukuran sedang.

Aera masih ngeblank dengan semua yang menimpanya. Kaki dan tangan telah dirantai, membuatnya jadi kesulitan bergerak. Dia sudah seperti tahanan saja.

Pintu kamar terbuka, Aera kini bisa melihat sosok tinggi tengah berjalan ke arahnya setelah menutup pintu.

Aera menatap tajam pria yang mendekatinya, mencoba untuk sekali saja menendang wajahnya.

   "Selamat malam sayang." Pria itu berucap sembari duduk di tepi ranjang, menatap Aera dengan senyuman yang mengembang.

Di sisi lain, terlihat guru dan para siswa lainnya masih sibuk mencari Aera yang hilang. Mereka berteriak, sayangnya itu sia-sia saja.

Pak guru mulai khawatir, seharusnya dia meminta ganti tempat saja agar para muridnya aman.

Kembali ke Aera.

Gadis itu menatap nyalang sembari mengeraskan rahangnya, ingin sekali dia menonjok wajah pria itu juga kedua tangannya tak dirantai.

   "Ututu, wajahnya jangan galak-galak begitu."

   "Kau ... Cepat lepaskan aku!" teriaknya kesal.

   "Eum, apa imbalan bagiku jika melepaskanmu?"

   "Kau itu ... Tidak waras. Mati saja sana!"

   "Jangan dong. Kalau aku mati, nanti kau tidak punya siapa-siapa lagi, secara hanya aku satu-satunya orang yang kau butuhkan."

   "Sampai kapanpun, aku tidak pernah membutuhkanmu, Lee Jihoon!" teriaknya frustasi.

Begitu namanya disebut, dia tertawa terbahak-bahak layaknya orang gila. Matanya yang mampu membuat lawan bicara terdiam itu ia tunjukan pada Aera.

   "Kau yakin? Tempat ini jauh dari pemukiman warga, jadi kalaupun kau melarikan diri dari sini, aku tetap bisa menangkapmu."

   "Lepaskan aku Jihoon. Apa maumu? Uang?"

   "No, aku punya banyak uang jadi tidak memerlukan itu. Aku hanya membutuhkanmu saja."

Dia menangkup wajah Aera, melihat adanya kebencian yang dalam pada kedua manik indah itu.

   "Aera ... Akan kubuat tatapanmu itu menjadi memelas. Lihat saja!"

Dia menghempaskan wajah gadis itu dan berjalan keluar dari sana. Suara pintu terkunci terdengar, Aera diam tanpa bereaksi apa-apa. Detik berikutnya, air matanya mengalir. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia ketakutan setengah mati.

Aera memang nampak seperti gadis yang kuat, sayangnya dia tetaplah seorang perempuan yang memiliki hati rapuh. Bohong jika dia tidak takut dan ingin menangis, dikehidupan sebelum dia datang ke mari, Aera sering menangis diam-diam di dalam kamarnya.

Setelah puas menangis, dia kelelahan dan tertidur dengan posisi duduk. Seseorang mengawasi dia dari balik kamera pengawas, dia tersenyum sangat manis.

Kemanisan di dalam senyumannya itu mampu memikat ribuan gadis di luaran sana, sayangnya itu tidak berlaku untuk seseorang yang sedang dia sekap.

Ia juga sudah menyiapkan banyak sekali rencana kedepannya agar Aera perlahan-lahan mau menerimanya.

Tengah malam tiba, pintu tempat Aera disekap terbuka. Nampak Jihoon sedang berjalan mendekati gadis itu dan mulai menaiki ranjangnya.

Berbaring dan menghirup rakus aroma tubuh Aera yang sedang tertidur pulas. Ia memeluk pinggang ramping gadis tersebut dan mulai memejamkan matanya.

Keesokan paginya, Aera terbangun dengan merasa seperti ada sesuatu yang melilit ke tubuhnya.

Perlahan dia menatap ke arah perut dan menyadari ada sebuah tangan yang memeluk pinggangnya. Dengan cekatan, ia memukul keras tangan itu hingga pemiliknya terbangun.

   "Lancang sekali kau memelukku seperti itu?" Aera hampir akan menendang Jihoon, sayangnya kakinya tidak sampai.

   "Tidak ada salahnya memeluk istri sendiri!" jawabnya dengan menampakan senyuman jahilnya.

   "Dasar sinting."

   "Good morning, babe!" ucapnya lantas dengan nekat mengecup bibir Aera, membuat gadis itu kesal dan menggigit bibir bawahnya Jihoon hingga berdarah.

Begitu tautan mereka terlepas, nampak darah juga menempel pada bibir Aera. Jihoon menyeka darah di bibirnya dan tersenyum jahil lagi.

   "Kau itu nakal sekali."

Parahnya, dia menyeka darah pada bibir Aera dengan jempol dan menjilati jempolnya sendiri, membuat gadis itu bergidik ngeri.

    "Dia sinting ... Aku harus bisa keluar dari sini."

Keheningan terasa, Aera diam seribu bahasa sembari menatap pintu dengan tatapan kosong. Tidak ada jalan keluar lagi, semuanya buntu. Kamera pengawas di mana-mana, belum lagi para penjaga yang tersebar luas di daerah itu dengan pengawasan dua puluh empat jam.

                             🌸🌸🌸

Sudah sekitar seminggu Aera disekap oleh Jihoon, bahkan pihak kepolisian pun kewalahan mencari ke mana hilangnya Aera.

Di rumah, terlihat ibunya sedang menangis histeris. Areum selalu mencoba untuk menenangkan, tetapi tak bisa. Hatinya sangat sakit mengetahui saudaranya hilang, ibunya juga menjadi tak terurus.

Teman-teman Aera selalu datang ke rumahnya, meminta maaf berkali-kali pada keluarga gadis malang itu. Menurut mereka, itu adalah kelalian mereka sendiri. Harusnya mereka tak berpencar, sebaliknya mereka justru lebih bagus jika mencarinya bersama.

Jangan salahkan mereka, ini semua telah diatur oleh Jihoon sendiri. Sebelum penjelajahan itu terjadi, dia menyebar kertas di area jalan menuju daerah kekuasaannya. Jihoon itu, licik.

    "Ibu, sudah menangisnya. Aku akan terus mencari Aera, ibu istirahat saja."

   "Bagaimana ibu bisa beristirahat kalau anak ibu belum ditemukan. Aera itu dulu selalu mengeluh kalau dia takut dengan gelap, takut jika mendengar suara petir. Kasian, dia sendirian diluar sana!" ucap sang ibu dengan nada suara yang bergemetar.

Areum mengelus punggung ibunya pelan, menatap iba. Dia tahu hal itu, Aera pernah berteriak histeris kala lampu mati dan hujan yang tiba-tiba turun disertai dengan suara petir.

Bahkan Aera juga sempat sesak napas dan untungnya ada Areum yang langsung menenangkan gadis cantik itu.

Sayangnya, sekarang dia tidak tahu di mana. Kehilangannya seperti ditelan bumi, Areum menatap lantai dan membiarkan air matanya mengalir.

Pagi itu, nampak Jihoon dengan santainya duduk di tempatnya. Menatap malas ke arah guru yang sedang menerangkan materi.

Setelah bel terdengar, guru berpamit untuk keluar. Saat itu juga, Areum datang dengan wajah marahnya memasuki kelas saudaranya. Semua yang ada di sana terkejut dan memilih untuk diam.

Jihoon mengangkat satu alisnya sembari menatap Areum yang jelas berjalan ke arahnya. Gadis tersebut menendang meja milik Jihoon.

   "Di mana kau sembunyikan saudaraku?" teriaknya kesal.

   "Hee, kau menuduhku? Memangnya aku melakukan apa?"

   "Aku tahu itu pasti kau. Kau yang menculik Aera, kan? Kau itu sinting tak tahu malu. Cepat kembalikan Aera, dia bukan barang yang bisa kau pungut seenaknya!"

   "Tuduhan tanpa bukti, kau ingin aku anggap ini sebagai pencemaran nama baik?" Jihoon berdiri dan menatap nyalang ke arah Areum.

   "Cari dulu buktinya yang benar, baru kau bisa menuduh orang yang menjadi teraangkanya."

Jihoon berjalan sembari menyenggol bahu Areum, detik berikutnya gadis itu terduduk lemas. Aera jelas tak akan hilang begitu saja, pasti ada yang sedang menculiknya.

Dan Areum yakin dengan pasti, pelakunya adalah Jihoon.

Bersambung...

Aku di mana? (lookism)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang