Bab 1

22 4 0
                                    


"Irsyad, nanti lu jadi seksi konsumsi ya. Pokoknya kita bertujuh harus punya tugas masing-masing, jadi gak ngebebanin satu orang aja."

"Siap."

"Pokoknya, pastiin peralatan masing-masing lengkap, dan siap dipakai pas hari-H, apalagi yang penting-penting jangan sampai lupa. Sebelum berangkat kita nanti nginap di rumah gue aja. Dan masukin barang ke carrier H-1, semua harus liat apa yang kita bawa. Jadi kalau ada yang kelupaan bisa diingatkan."

"Bang, perizinannya aman, kan?"

"Aman, tenang aja. Status gunungnya aman kita daki, dan polsek serta puskesmasnya gak jauh, jadi bisa buat surat keterangan disana."

"Perlu pake porter, gak?"

"Gak usah deh, 7 orang cowok bawa barang mampulah. Kalau ada porter nanti ada yang gak nyaman dengan orang baru."

Seperti biasa Aska menjadi planner di kelompok kami, Wira memang leader, tapi Aska selalu punya planning yang bagus. Rencananya kami akan mendaki gunung sebelum pulang ke kampung masing-masing untuk libur semester ini.

"Syad."

"Hm, apa?"

"Lu dapat undangan nikahan si riska, gak?"

"Riska mana?"

"Anak manajemen, di bandung sih nikahannya, 2 hari sebelum jadwal kita mendaki."

"Gak dapat, malas juga ke bandung kalau gak diundang."

"Beneran lu gak dapat?"

"Mungkin pas dia sebar undangan, lu gak ada kali."

"Yah, baguslah gue bisa simpan tenaga buat daki entar. Memang kalian semua dapat?"

"Gue dapat dari lakinya sih, satu organisasi sama gue."

"Sama gue juga."

"Yang dapat dari Riska siapa dong?"

Reza, Aska dan Arga mengangkat tangannya.

"Yah udah, gue di kost-an aja, ntar kalau dah balik kabarin ya."

"Yoi."

Hari terasa cepat berlalu, besok keenam temanku itu berangkat ke bandung pada pagi hari untuk menghindari macet. Tapi kami melupakan sesuatu, 2 hari lagi jadwal kami mendaki itu libur nasional, kami ingatnya hanya libur semester saja. Aska mencoba melakukan booking online tapi tidak bisa, rata-rata penginapan penuh. Jadinya Aska memintaku berangkat duluan kesana. Mencari rumah atau hotel yang bisa kami tinggali selama disana. Sebab setelah mendaki kami berencana menginap dan esoknya jalan-jalan di kota sekitaran gunung. Jadi malam ini gue bakalan naik kereta ke Jawa Tengah. Diiringi tatapan makhluk-makhluk menyebalkan ini, gue memasukkan satu-persatu barang ke dalam tas carrier.

"Jas hujannya taruh diluar aja, Syad. Jadi kalau kehujanan gak repot buka tas." Wira memberiku usul yang langsung kuturuti.

"Syad, kalau ketemu lumpia di Semarang, salam ya."

"Hahaha...."

"Demen banget lu pade ngeliat gue susah."

"Yaelah syad, ntar juga ketemu disana. Pokoknya habis dari Bandung kita susulin lu deh,"

"Omongan lu kagak bisa dipegang, Za."

"Lu tahu ada yang bisa dipegang dari gue, tapi cuma cewek yang boleh megangnya."

"Bangsat, otak lu mesum terus."

"Pikiran lu tuh yang ngeres, Syad. Gue kan ngomongin hati, ya kali gue kasih nih hati ke cowok."

"Udah Syad, gak usah diladeni kunyuk satu ini, gak beres-beres."

"Ah, babang Wira mah gitu, kejam nian pada dedek Reza ini."

Sementara dibelakang Ferdi dan Arga sudah tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan Reza.

"Kereta jam berapa, Syad?"

"Jam setengah delapan, Fer."

"Oh, Lu hati-hati di jalan ya, jangan mudah percaya sama orang yang baru lu kenal. Dan jangan terlalu baek jadi orang, nanti mudah dimanfaatin."

"Lu pesannya ngeri banget, kayak orang mau kemana aja."

"Benar kata Ferdi, Syad. Jangan lupa kalau ada uang di invest jangan lu habisin begitu aja, hidup itu panjang."

"Eh, ini si Akbar pake ikut-ikutan lagi."

"Nanti cari temen pilih-pilih ye sob, gue tahu lu orangnya mudah kasihan sama orang lain. Nyari cewek juga yang bener, jangan naksir dikit langsung gas, liat dulu sifatnya."

"Pade gila ya lu pada? Salah makan obat? Perasaan gue yang minum antimo, kok lu semua yang pada mabok?"

"Hahaha.... Itukan karena kita sayang sama elu, bro." Arga memelukku dari belakang yang membuatku langsung berontak.

"Eh, jauh-jauh lu dari gua, gerah tau."

Bang Wira didepan gue cuma senyum-senyum aja melihat kelakuan temannya yang memang absurd ini.

Teman-teman gue bersikeras nganterin ke stasiun yang jaraknya tak jauh dari rumah Aska, gue kira cuma bang Wira, Aska sama si kunyuk Reza, ternyata Ferdi, Arga, dan bahkan Akbar yang paling mageran juga ikut mengantar gue. Saat gue menurunkan barang dan bersiap masuk ke stasiun, teman-teman gue satu persatu turun, dan mereka memeluk gue bergantian, bahkan saat giliran bang Wira dan Reza memeluk gue dengan erat, seakan kalau bisa nih badan gue mau dijadiin satu sama badan mereka.

"Perasaan gue kagak enak, lu semua pada kenapa dah?"

"Gue pengen lu tau, kalau kita sayang ama lu, Syad."

"Iya, gue tahu. Jangan-jangan lu ada firasat gue mau mati ya?"

"hush, kalau ngomong sembarangan aja lu, kalau ada malaikat lewat berabe tahu."

"Iya, gue masuk ya, bentar lagi keretanya jalan."

"Dah, Syad. Hati-hati di jalan."

"Selamat tinggal, Syad."

Aku hanya geleng-geleng lihat teman-temanku yang memang suka gak jelas ini. Memasuki kereta gue duduk dan bersiap beranjak ke Semarang, Aska sudah mengatur, dari sana akan ada travel yang menjemput gue ke Wonosobo.

Hampir tengah malam ketika kereta tiba di stasiun Semarang. Sopir travel yang menjemput gue ke Wonosobo ternyata masih muda, ketika gue cerita mau cari penginapan buat 7 orang, dia menawarkan rumahnya, yang baru saja dibeli, sementara dia sendiri masih tinggal dengan orangtuanya. Jarak rumahnya pun tak begitu jauh dari lokasi pendakian. Setelah tawar menawar harga, gue setuju untuk menyewa rumahnya selama 3 hari. Jadi, mas supir langsung nganterin gue ke rumah tersebut dan memberikan kuncinya kepada gue ketika kami sampai.

Gue langsung masuk ke kamar tamu, tempatnya bersih, terawat, tanpa pikir panjang langsung merebahkan badan di ranjang yang empuk dan dunia mimpi menghampiri badan gue yang letih banget.

Gue bangun kesiangan, ya karena kemarin baru tidur jam 4 subuh. Gue mengecek chat terakhir yang gue kirim ke Aska tentang lokasi tempat ini, yang dibalas ok. Rencananya sehabis dari kondangan, mereka langsung berangkat kesini. Besok kami bisa mulai mendaki setelah mengurus segala perizinannya. Gak banyak sih cuma surat keterangan sehat dari puskemas setempat dan simaksi.

Gue memutuskan keluar buat beli logistik sekalian jalan-jalan sebentar. Suasana disini adem banget, sumpah. Nuansa khas pegunungan dengan warga lokalnya yang bermata pencaharian sebagai petani benar-benar kayak gambaran gue waktu sd. Template anak sd kalau gambar kan begitu, dua gunung di tengahnya matahari, terus sawah, ada yang nambah laut, kalau dulu gue nambahin buletan-buletan di tengah sawah, kalau ada yang nanya, gue jawab aja kotoran kerbau. 

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang