Niel terpaku dan terdiam ditempat saking terkejutnya karena melihat seseorang yang sudah lama tidak dia lihat semenjak kepergian Mamanya dulu.
"Bang Saga." Gumamnya pelan.
Sagara sendiri yang melihat Adeknya itu ingin sekali memeluknya, tapi dia tahan karena takut jika Adeknya tidak menerima kehadirannya saat ini. Apalagi dia sudah 7 tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Adeknya ini.
"AKHHH PERGI!"
Niel dan Sagara yang mendengar teriakan yang begitu keras dari dalam langsung tersentak, dan Niel sendiri yang tau siapa pemilik suara tersebut segera berlalu menuju dapur dan terkejut ketika melihat Vian yang sedang meringkuk dilantai sambil terisak.
"Apa yang terjadi?" Tanya Niel menutut jawaban kepada kedua Adeknya itu yang hanya diam karena mereka juga bingung apa yang sebenarnya terjadi kepada Anak itu.
Niel yang tidak mendapatkan jawaban apapun langsung berdecih dan mensejajarkan tingginya dengan Vian, tangannya terulur untuk mengusap kepala Anak itu tapi nyatanya tangannya kembali ditepis seperti malam itu.
"Pergi.. pergi.. Vian mohon Papa pergi.. jangan deket-deket Vian.." Vian mundur sambil menatap takut Niel karena melihat wajah Abangnya itu seperti Papanya, Anak itu berhalusinasi.
"Vian ini Abang."
"Bukan! Ini Papa bukan Abang.." Vian menangis sambil menggeleng ribut dan memundurkan tubuhnya untuk menghindar dari Niel yang menurut Vian adalah Papanya dulu.
"Vian, liat baik-baik, ini Abang."
"Engga.. engga.. Ini Papa bukan Abang.. pergi.. Vian mohon pergi Pa.. Vian takut.. Ampun Pa Vian gak salah hiks.."
Edwin, Advin, begitupun dengan Sagara yang masih berdiri di ambang pintu hanya terdiam mendengar racauan Anak itu.
Vian mulai menarik rambutnya, memukul berkali-kali kepalanya karena merasa sangat berisik, "Berenti.. Vian mohon berenti.. kalian berisik.. udah sakit.. pergi.."
Niel yang tidak tega langsung membawa Vian ke dekapannya, tidak peduli jika Anak itu memberontak sambil terus memukuli punggungnya, "Mereka berisik.. suruh pergi.. Vian gak suka.." Vian terus meracau yang membuat Niel semakin erat memeluknya.
"Vian takut.. takut.."
Edwin yang sedari tadi diam langsung mengepalkan tangannya kuat ketika mendengar racauan Anak itu, dan entah kenapa kakinya berjalan dengan spontan untuk menghampirinya, mengusap lembut kepala Anak itu untuk memberinya ketenangan, dan tingkah Anak itu tak luput dari penglihatan Niel dan Advin yang merasa heran karena biasanya Edwin tipikal orang yang tidak peduli dengan siapapun. Atau mungkin Edwin bisa merasakan apa yang Anak itu rasakan mangkanya Anak itu bersikap seperti itu.
Setelah tidak lagi terdengar suara tangisan dan malah terdengar suara dengkuran halus akhirnya Niel mengangakat tubuh Vian kedalam gendongan koalanya.
"Jaga tatapan dan tingkah kalian berdua, Vian punya trauma dengan masalalunya. Kalo sampe hal seperti ini terjadi lagi Abang gak akan segan buat hukum kalian berdua."
Edwin yang mendengar itu entah kenapa merasa marah, dia tidak terima Abangnya berkata seperti itu, mengepalkan tangannya kuat sambil menatap tajam ke arah Abangnya itu yang sudah berlalu menuju kamar, "Terus gimana sama gua Bang?" Niel yang hendak masuk kedalam kamar langsung menghentikan langkahnya setelah mendengar suara Adeknya itu yang terdengar marah.
"Segitu ngebelanya lu sama Anak itu hah!" Edwin tiba-tiba berteriak yang membuat ketiga orang disana tersentak, mereka bingung kenapa tiba-tiba Edwin marah, "Gua juga ngalamin apa yang Anak itu alamain, tapi kenapa lu lebih peduli sama Anak itu dibanding gua yang jelas-jelas Adek lu! Adek kandung lu." Lanjutnya sambil mengontrol nafasnya yang tiba-tiba memburu karena emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malvian (On Going)
JugendliteraturDibuang.. dipungut.. lalu dibuang lagi. Hidupnya penuh dengan berbagai luka, tapi dia selalu bersyukur dengan hidupnya walaupun harus berjuang melawan rasa sakit. Namun semua itu berubah ketika dia bertemu dengan seseorang yang dia panggil Abang. Ap...