36

2K 448 34
                                    

Happy reading :)
.
.

Apa mimpimu yang sebenarnya?

Pertanyaan basa-basi yang kerap ditanyakan di setiap sesi tanya-jawab ketika berada di banyak situasi. Entah itu dalam seminar untuk para mahasiswa maupun freshgraduate mengenai karier masa depan, pertanyaan dalam wawancara 1-on-1 dengan pewarta yang haus informasi, bahkan muncul dalam deep-talk dengan orang-orang terkasih.

Mimpi Via itu sederhana. Ia ingin menjalani hidup sempurna. Hidup sempurna versinya adalah hidup dengan keluarga yang utuh dan harmonis, memiliki pasangan yang mampu melengkapi kekurangannya, dan kaya raya dari bisnis yang dimilikinya.

Namun, tidak semua mimpinya terwujud. Keluarganya hancur, tidak lama setelah ia dinyatakan lulus SMA. Hidup berjauhan dari ibunya, yang memilih kembali ke Jogja bersama Leo, dan ayahnya, yang tidak ingin lagi ia hubungi. Dia pun belum menemukan pengganti Dimas, yang kini sudah menjadi ayah bagi putrinya yang paling dinanti keluarga besar Putera. Ia juga tidak ingin repot-repot mencari yang baru dalam waktu cepat karena masih belum bisa melakukannya.

Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah menjadi kaya raya. Ia tidak menargetkan dirinya harus seperti Bill Gates, Jeff Bezos, atau Elon Musk, yang total kekayaannya bisa saja membayar utang negara kecil entah di mana. Yang terpenting, Via ingin mimpinya dapat membungkam semua orang yang pernah menyakitinya.

Orang tuanya. Kakaknya. Kerabatnya.

Dimas. Putera Group.

Kemudian ... tiga orang yang ada di hadapannya kini.

Tarik napas, buang dalam satu embusan. Via secara intens melakukannya hingga rasa takut yang menguasainya itu memudar.

Kalimat itu akhirnya terucap sudah. Rasa sesak yang sebelumnya terkumpul di balik rongga dadanya mengendur. Bahu yang tadinya menegang kembali rileks setelah Via mengucapkan kalimat itu dengan mantap.

"Kamu ... serius mau mundur?" Nara mengulang perkataan Via. Memastikan. "Beneran, Vi?

Via mengangguk dengan mantap. "Iya. Gue yakin."

Tanpa sepengetahuan mereka, Via berlatih sesering mungkin untuk mengucapkan kalimat itu di depan cermin sejak awal tahun. Ini adalah satu dari sekian rencana yang ia rancang sejak memutuskan pulang dari Jogja. Ah, tidak. Sebenarnya, ini adalah satu dari sekian rencana Via setelah memutuskan bergabung dengan usaha milik Aries dan Oji, ditambah Nara sebagai pemegang modal usaha terbesar. 

Tiga tahun, batinnya kala merancang rencana hidupnya yang baru. Ia butuh tiga tahun untuk mematangkan semuanya, baik secara bisnis, finansial, dan orang-orang yang akan ia ajak untuk bekerja dengannya. Maka dari itu, ia sudah menekankan bahwa masa kerjanya bersama Aries, Oji, dan Nara hanya berlangsung selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu, ia ikut membantu ketiganya memantapkan Q&A Corps, memperkuat lini bisnis mereka, dan memperbesar skala usaha. 

Selagi melakukan semua itu, Via diam-diam membangun bisnis rintisannya bersama Rafi dan Sasi, mantan bawahannya di SmallHelp. Kalau  Aries, Oji, dan Nara telah menginisiasi dan mempersiapkan Q&A Corps selagi memegang peran penting di SmallHelp, harusnya dia juga bisa melakukannya.

"Tapi, gue kira elo bakalan negosiasi kontrak. Makanya, kami sama sekali nggak menolak waktu kamu menentukan waktu kerja selama tiga tahun dalam kontrak. Kami kira, elo menetapkan waktu seperti itu untuk membuktikan seberapa pentingnya elo untuk perusahaan ini." Nara berujar.

BRAK!

Semua langsung menolah pada satu sumber suara. Oji. Sorot matanya, tawa sinisnya itu. Via tahu kalau orang itu yang paling tidak senang dengan keputusannya.

FLAW(LESS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang