17

3.8K 645 23
                                    

Terima kasih karena sudah memeriahkan bagian kemarin teman-teman.

Selamat membaca!
.
.

Pagi sudah menjelang. Keheningan tidak lagi bisa Via nikmati di tempat ini mengingat semakin siang, semakin banyak orang datang.

Begitu sampai, hal pertama yang terlihat adalah kawasan wisata Malioboro. Lokasinya juga tidak jauh dari stasiun, tidak perlu memesan ojek atau menyewa becak. Karena datang tanpa rencana yang jelas, Via memutuskan untuk berjalan menyusuri kawasan Malioboro. Toh tujuan awalnya kemari adalah melakukan riset di tengah pasar yang banyak terdapat pedagang kecil. Malioboro adalah tempat pertama yang terlintas di benaknya.

Via menyusuri jalanan dengan perasaan campur aduk. Kepalanya sakit usai membaca banyak berita soal Dimas dan Dinara. Setelah Leo memberitahunya, Via mencari banyak berita perihal pertunangan Dimas yang berlangsung pada hari Minggu.

Kemarin.

Satu hal lagi yang baru dia ketahui.

Pada akhirnya, Dimas benar-benar bertunangan dengan seseorang. Dan orang itu adalah orang yang dia kenal dekat. Rekan kerjanya sendiri. Junior yang pernah bekerja di bawahnya. Junior dengan kinerja impresif, tanpa mengandalkan nama besar orangtuanya. Via juga yang merekomendasikan Dinara untuk memegang sumber daya manusia perusahaan, ketika Dimas menolak. Via melakukannya karena melihat potensi Dinara dalam mengelola tim serta membaur bersama staf SmallHelp dengan mudah. Tidak pernah dalam benaknya terlintas kalau mereka bisa bersama, tanpa menyertakan nama besar yang melekat pada Dimas dan Dinara sejak lahir.

Via baru menyadari semua yang terjadi dua hari lalu. Pantas saja, Dimas tampak sibuk bekerja sampai Sabtu dini hari. Gelagatnya juga mencurigakan. Dia juga seperti ingin mengatakan sesuatu ketika mengantar Via pulang, tapi tidak kunjung bicara sampai Via gregetan. Ketika Via bertanya, Dimas hanya menggeleng. Sepanjang perjalananan menuju tower apartemen Via, Dimas mengendarai mobilnya dalam diam.

"Dim, elo terlalu banyak diam. Gue jadi merasa aneh deh." ujar Via setelah mobil Dimas berhenti sempurna di depan lobby apartemennya.

Dimas tersenyum simpul ketika menatapnya kala itu.

"Ini yang terakhir kok. Thanks ya, udah berbaik hati mengantar mantan lo pulang dengan selamat." ujar Via sambil membuka sabuk pengaman. "Selamat liburan, Dim. Jangan kerja mulu."

"Eh, Vi." Dimas akhirnya bersuara sebelum Via menutup pintu mobil Dimas.

"Apa?" tanya Via.

"Elo pasti baik-baik aja kan, kalau seandainya gue jadi mengirim elo ke Jogja?"

Awalnya, Via terdiam sebelum berkata, "Harus ke Jogja banget, Dim?"

Dimas mengangguk. "Anggap aja, kalau iya beneran, sekalian elo liburan. Elo belum pernah cuti sama sekali sejak gabung di SmallHelp."

Via cuma menyunggingkan senyum. "Buat apa cuti di luar jadwal cuti bersama, Dim? Mending kerja."

"Elo nggak butuh rekreasi memangnya?"

"Well, kerja udah jadi rekreasi sih," Via kemudian menghela napas, "Udah ah! Pulang gih, selamat liburan!"

"Elo nggak kangen sama mereka? Nyokap dan kakak lo?" Dimas menyebut dua sosok penting dalam hidup Via yang sudah lama tidak dijumpai. Seketika, suasana hatinya sedikit berubah.

"Bisa kan, nggak ngungkit soal keluarga gue? Elo kan tahu gue paling sensi kalau udah ngomongin soal keluarga, Dimas."

"Justru karena gue tahu, makanya Mau sampai kapan elo lari dari mereka dengan dalih karir lo, Vi? Mereka pasti kangen sama lo. Mereka satu-satunya yang elo punya. Gue dan elo bukan lagi pasangan, ingat?"

"Gue masih punya sahabat-sahabat gue. Elo juga, walau kita bukan lagi pasangan, elo tetap orang yang penting dalam hidup gue."

Dimas menggelengkan kepalanya. "Gue nggak bisa selamanya memperhatikan elo, Vi. Kalau gue punya pasangan, gue pastinya bakal fokus sama cewek gue. Mau berapa tahun pun kita dekat, kalau sekadar teman apalagi rekan kerja pastinya—"

"Elo kayaknya benar-benar udah siap membuang gue dari hati lo ya, Dim?" Via menyela dengan sinis.

"Bukannya elo duluan yang membuang gue dari hati lo, Vi?" sahut Dimas membalas. "Kalau elo dulu menerima gue, mungkin cerita kita bakal beda hari ini..."

"Mau pesan apa Mbak?"

Via menegakkan kepalanya. Suara sinis Dimas yang Via ingat hari itu membuatnya sadar kalau dia sedang mengantri di kedai kopi yang letaknya di tengah pertokoan. Di antara pertokoan yang menjual makanan dan pakaian khas, ada satu kedai kopi bermerek yang menjadi favoritnya.

"Hot american—" Via buru-buru menarik perkataannya, tidak memesan minuman yang biasa dipesan. "Ehm, hemm... yang menurut Mas enak apa ya?" tanya Via, meralat ucapannya.

"Mbak maunya kopi atau non kopi?" tanya pramusaji tersebut.

"Yang kopi apa, yang non kopi apa."

"Kita punya menu musiman untuk menu kopi maupun non kopi. Mungkin, Mbak mau coba?" Pramusaji tersebut menunjuk papan menu yang ada di atas kepalanya. Via justru memperhatikan papan lain yang menampilkan menu berupa tulisan dan harga sesuai ukuran.

"Caramel frappuccino," gumam Via, masih mendongak ke arah papan.

Pramusaji itu langsung memasukkan pesanan Via dengan lincah, "Whipped cream-nya mau dipakai?"

Via mengangguk. "Pakai."

"Tambahan espresso mungkin, biar lebih kerasa kopinya? Atau sirup?"

"Boleh. Espresso shots-nya 4 ya, Mas. Less sugar."

Dia menaikkan alisnya. "Empat, Mbak?"

Via mengangguk. "Kenapa memangnya, Mas?"

Dia menggeleng. "Ada tambahan lagi, Mbak? Mungkin makanannya sambil sarapan."

Via kali ini menggeleng dan membayar minumannya sesuai pesanan.

Setelah membayar, Via langsung duduk di salah satu bangku dekat pintu masuk. Satu-satunya tempat yang menurutnya luas untuk menyimpan bawaan. Setidaknya dia menunggu sampai siang. Dia tidak bisa memesan kamar hotel lewat aplikasi karena hampir semua kamar telah penuh dipesan, setidaknya untuk dua hari berikutnya. Satu-satunya cara adalah mendatangi satu per satu hotel yang ada.

Leonardo Augusta: Kamu di Jogja?

Pesan singkat dari kakaknya itu awalnya diabaikan Via. Setelah mengetahui kabar Dimas, dia tidak berselera untuk sekadar berbasa-basi dengan kakaknya.

Leonardo Augusta: Kakak tau kamu di Jogja
Leonardo Augusta: Kamu di mana?
Leonardo Augusta: Baru dateng?
Leonardo Augusta: Masih sekitaran stasiun? Malioboro kah?

Via tidak kunjung membalas. Dia sengaja meninggalkan ponsel di atas meja saat mengambil pesanannya. Begitu kembali, ruang obrolannya dengan Leo bertambah satu pesan baru dari Leo.

Leonardo Augusta: Ibu mau ketemu kamu, Vi. Kangen katanya.

Via memejamkan matanya. Tangannya tidak kunjung mengetik balasan, meski sudah membaca pesan Leo.

Leonardo Augusta: Balas pesan kakak, Vi.
Leonardo Augusta: Jangan-jangan kamu masih marah sama kakak?

Via menghela napasnya dengan kasar. Bagaimana mungkin dia tidak marah? Setelah semua yang dilakukan Leo beberapa tahun silam, mana mungkin Via tidak marah dengan perangainya yang jauh dari figur seorang kakak bagi Via saat itu?

(Bersambung...) 

Sampai ketemu di Bab berikutnya!

FYI, bagian terbaru FLAW(LESS) diunggah pada hari Senin dan Rabu ya. Bisa pada dua hari itu update bagian baru, atau salah satu hari saja. Tergantung chapter yang siap tayang :')

Jadi, tidak perlu diingatkan kapan update atau minta lanjut ya? Karena sabar itu indah, gaes.

FLAW(LESS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang