10

3.7K 549 6
                                    

Happy reading!

Senin kali ini dimulai dengan terburu-buru. Dari apartemen, Via terlambat bangun sampai lupa sarapan. Perempuan itu memilih untuk menyantap sarapan di kedai kopi langganannya. Dia tidak menyangka jika Hot Americano ukuran tall dengan ekstra espresso shot yang dia santap pagi ini berulah.

Via memulai paginya di toilet setibanya di SmallHelp. Dia tidak sempat meletakkan barang-barangnya di kantor. Begitu tiba di lantai 36, Via tergesa menuju toilet, yang letaknya tidak jauh dari lift.

Ketika dirinya sedang tidak bersuara dalam bilik, beberapa langkah kaki memasuki toilet. Mereka berhenti di depan bilik toilet untuk memoles wajah. Via, yang sudah menyelesaikan urusannya sebelum mereka masuk, memilih tetap bergeming saat mereka memulai percakapan.

"Dengar gosip panas dari anak developer nggak?"

Dugaan Via sementara, suara pertama yang dia dengar adalah staf junior Dinara, yang bekerja di lingkup sumber daya manusia perusahaan. Suaranya pernah Via dengar beberapa kali di ruang kerja terbuka SmallHelp.

"Gosip apaan?" Tanggapan itu datang dari staf lainnya. Via mengenal suaranya, staf junior Evan yang terkenal menyimpan gosip-gosip di SmallHelp.

"Itu loh, Bos Ganteng," jawab Si Suara Pertama.

"Bos Ganteng? Mas Dimas?" Kali ini, suaranya berbeda. Suara Sasi, staf juniornya. Dia bersuara cukup lantang dibandingkan dua orang sebelumnya.

"Sssh! Jangan keras-keras, Si. Ntar ada yang dengar," ujar si suara pertama yang membawa gosip.

Suara Sasi terdengar sinis saat berkata, "Siapa yang bakal dengar sih? Kan cuman kita berempat di sini.

Berempat? Gumam Via dalam hati.

Suara yang dia dengar hanya tiga. Berarti satu orang lagi sama sekali tidak bersuara. Via menyiagakan telinganya untuk menangkap gosip yang sedang mereka bahas.

"Eh! Cerita sih. Gosip apaan soal Mas Ganteng kepunyaan kita?"

"Dia ternyata punya pacar gaes!"

"Seriusan?"

"Doi sudah ada yang punya?"

Hati Via mencelos. Mereka bilang apa?

"Ssst! Inka! Sasi! Nggak usah toa gitu dong ngomongnya!" Sahut Si Orang Pertama.

Via mendengar Sasi dan Inka, bawahannya Evan, tertawa canggung menanggapi.

"By the way, siapa perempuan beruntung itu, Ca?" Tanya Inka kemudian.

Ada jeda lagi. Tidak lama, dua suara yang didengar Via sebelumnya dan satu suara baru yang baru dia dengar berseru kompak. Sepertinya, mereka sudah mendapat jawabannya.

"Ternyata ya, diem-diem," ujar Inka. Kemudian perempuan itu bergumam panjang, terpukau dengan jawaban Si Pembawa Gosip.

"Masa sih?" Kali ini, Sasi yang bersuara. Dia terdengar kurang yakin dengan jawaban yang didengarnya.

"Masa sih Caca boong. Kalau dia share ke kita, gosipnya nggak mungkin salah dong."

Via kemudian mendengar suara baru itu terkekeh pelan. Suara yang belum didengarnya dengan jelas sejak kedatangan mereka di toilet.

"Kenapa nggak di-announce sih? Minimal ke kita gitu. Kecewa deh," ujar suara itu. Via mengenalnya sebagai staf juniornya Dinara yang lain.

Perlahan, suara empat orang itu menjauh. Mereka sudah keluar dari toilet, meninggalkan Via yang mematung dalam salah satu bilik.

***

Harinya tidak berakhir di situ. Via mendapat kejutan lain yang menanti di ruangannya. Ketika masuk, Via hanya menemukan Revan, Haifa, dan Sasi tengah berdiri. Tidak ada Rafi sama sekali.

"Rafi masih belum ada kabar juga?" Sahut Via, melirik ke arah kursi Rafi yang kosong. Seperti biasa, Via berjalan menuju mejanya di tengah. Ruang kerja Via bersama timnya memang menyerupai ruang rapat untuk enam orang. "Kalian kenapa berdiri begitu? Duduk dong. Kalian nggak kerja?"

Revan, Haifa, dan Sasi saling melempar pandang. Seolah menunjuk siapa yang bisa bicara leih dulu alasan mereka tidak langsung bekerja. 

"Mbak, Rafi bilang dia resign."

Kalimat itu cukup membuat Via terdiam.

"Rafi... resign? Dia resign kamu bilang??"

Sang pembawa kabar, Haifa, mengangguk pelan. 

Sebetulnya, ini bukan pertama kali terjadi. Sejak Haifa bergabung, ada dua orang junior setelahnya dan satu seniornya di tim Via yang mengundurkan diri dari tim. Alasan mereka mundur karena tidak tahan dengan beban kerja yang ada. Ketiga orang itu kerap mengeluh dari pertama bekerja bahwa tugas dan tuntutan yang diberikan Via sangat menekan mental mereka. 

Tapi Rafi... dia berbeda. Bukan karena statusnya sebagai junior di kampusnya dulu, melainkan sosoknya yang tahan banting dengan sikap Via yang termasuk kejam.

Rafi bergabung lebih dulu daripada Haifa. Selama bekerja dengannya, Rafi termasuk staf junior dengan kinerja bagus. Sigap, efisien, dan tidak membuang waktu dengan aktivitas mubazir. Tidak heran kalau Sasi, Haifa, dan Revan sangat mengagumi etos kerja Rafi. Diam-diam, Via juga mengacungi jempol sosok Rafi dalam bekerja. Rafi tidak pernah ambil pusing kalau Via tidak menyukai hasil pekerjaannya dan memintanya untuk mengulang lagi dari awal.

Makanya, berita ini membuat Via kebakaran jenggot. Dia merasa dikhianati oleh sikap Rafi. Tindakannya seperti menikamnya dari belakang setelah menjilat di hadapan Via habis-habisan. 

"Kenapa bisa? Kamu kok bisa tahu soal Rafi resign?" 

Pertanyaan itu sampai tidak terpikirkan Via saking kagetnya mendengar kabar tersebut. 

Haifa mengulurkan surat pengunduran diri Rafi kepada Via, yang ditemukannya di atas meja Rafi. Via langsung membacanya dengan cepat. Tangannya langsung mengepal erat. Dia geram karena surat itu sudah ditulis Rafi tiga minggu lalu.

Pengecut! Hanya itu yang bisa dikatakan Via dalam hatinya. Dia benar-benar kecewa dengan Rafi. Padahal, Rafi termasuk staf yang ingin dia rekomendasikan untuk memimpin tim baru untuk tim konsultan bersama Sasi.

"Mbak Via," Kali ini, Sasi yang memanggil Via. Nada suaranya penuh kehati-hatian untuk menyampaikan berita lainnya, "Tadi Mas Dimas--"

Ucapan Sasi terpotong dengan ketukan pintu dari Dinara. Perempuan itu masuk ke dalam kantornya dengan wajah serius. Tidak ada senyum manis yang biasa tersungging di bibirnya.

"Mbak Livia, aku mau bicara sebentar."

Via sedikit terkejut dengan cara Dinara memanggilnya. Sangat formal. Padahal Dinara jarang sekali memanggilnya mbak. Dia lebih banyak memanggil dengan sebutan kakak. 

"Bicara aja, Din."

Dinara menggeleng cepat, "Nggak di sini. Kita bicara di ruanganku."

Via sedikit gugup dengan sikap Dinara. Via memutuskan untuk tidak banyak bertanya.

"O... oke."

Meski Via memilih abai dengan sikap aneh Dinara, tiga staf junior Via sangat menyadari alasan  Dinara menjadi sangat tidak ramah pada pagi kali ini.

(Bersambung...)

FLAW(LESS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang