1

8.3K 929 15
                                    

Jaga kesehatan ya teman-teman. Cuaca lagi jelek banget, stay warm and eat regularly ya.

Happy reading :)

"Ibu."

"Hemm?"

"Apa Ayah adalah sosok yang tepat bagi Ibu, saat Ibu memutuskan untuk hidup bersama Ayah?"

Pertanyaan itu pernah ditanyakannya beberapa tahun silam, saat mencurahkan hatinya di dapur bersama Ibu. Sebelum dia mengalami pahitnya kehidupan dan percaya bahwa dunia masih berpihak padanya, hidup masih terasa sangat mudah untuk dilalui dan mimpi begitu mudah untuk digapai. Semua masih tersedia lengkap. Orang tuanya yang hidup bersama, kakak jahil tapi perhatian, sahabat yang selalu ada, dan kekasih yang begitu menyayanginya.

Dia juga tidak harus hidup prihatin. Ayah masih bisa menyanggupi kebutuhannya, Ibu masih meluangkan waktunya untuk bicara dari hati ke hati, dan Leo masih sering menghabiskan waktunya di rumah. Waktu itu sangat sempurna, semua dia lalui dengan sempurna.

Kembali ke pertanyaan awal. Jawaban Ibu akan pertanyaannya itu hanyalah sebuah senyum. Senyum yang awalnya dia artikan bahwa Ibunya sudah memilih sosok yang tepat dalam hidupnya, yaitu Ayah.

Bukan itu jawaban yang Via inginkan.

"Bu, jangan senyum aja dong. Aku kan mau tahu Ibu ke Ayah gimana."

"Senyum kan udah menjawab semuanya, Vi." Jawab Ibu menjabarkan maksud senyumnya.

"Kalau gitu, cerita lagi soal pertemuan Ibu sama Ayah."

Via merajuk. Ibu menggelengkan kepala saat itu, menjawab Via.

"Kamu kan sudah hafal jalan cerita Ibu dan Ayah. Kamu nggak bosan?"

"Nggak dan nggak akan pernah bosan!"

Di ingatannya, Ibu mengumbar senyum seraya mengacak rambut anak gadisnya. "Ibu yang bosan cerita, Nak."

"Semoga Via sama Azle bisa kayak Ibu sama Ayah. Bersama dalam jangka waktu yang lama dengan harmonis."

Ibu mengamininya. "Asal jangan lupa sama pendidikan kamu aja, Vi. Ibu nggak keberatan kok kamu punya pacar."

"Pacarannya juga jangan macam-macam! Awas aja kalo dia berani nyentuh kamu!" Celetuk Leo, yang mencuri dengar percakapan dapur ibu-anak dari ruang tengah.

"Rese banget sih Kak!" Via menghampiri Leo, menyerangnya yang asyik menyantap cemilan di depan televisi hingga tergelak nyaring. Seingatnya, Ibu hanya memperhatikan mereka dari jauh, sebelum Via mendengar Ibu bersuara, "Leo, Via. Makan malam!"

Dengan patuh, Leo dan Via duduk di meja makan yang terisi untuk tiga orang saja. Via tidak banyak tanya, langsung paham kalau Ayah mungkin lembur lagi. Namun tidak dengan Leo. Dia terlihat tidak senang melihat piring di meja Ayah tidak tersedia.

"Ayah lembur lagi?" Nada pertanyaan Leo tidak lagi riang saat menanyakan Ayah, saking bosannya menanyakan pertanyaan yang sama dalam waktu yang berdekatan.

Ibu mengangguk. "Ayah bilang nggak usah ditunggu." Dengan senyumnya, Ibu berkata, "Ayah lagi banyak pekerjaan."

Lagi-lagi, Via memergoki senyum sendu, yang baru disadarinya belakangan tampak menyedihkan itu, kembali tersungging di bibir Ibu.

***

Arti dari senyuman sendu itu terjawab sudah.

Via akhirnya menyadari jika senyum sendu itu bukan jawaban Ibu yang menyatakan kalau Ayah adalah sosok yang tepat. Ayahnya hanya seorang pengecut, yang abai dan tidak bertanggung jawab.

Kedua orang tuanya, yang biasa terlihat harmonis, saling melempar canda di meja makan, bahkan tidak jarang Via atau Leo mendapati kedua orang tuanya itu terlihat intim di ruang tengah, tiba-tiba saja berpisah. Dia tidak pernah menyadari kalau kedua orang tuanya berkonflik di kamar, tidak pernah menghabiskan waktu yang benar-benar berdua tanpa kedua anaknya, dan tidak pernah bicara baik-baik dengan serius. Dimulai dari salah paham, kemudian komunikasi dua arah terputus. Untuk menyambungnya kembali terasa sulit. Hal itu luput dari pengamatan Via, yang selalu melihat kedua orang tuanya adalah contoh sempurna dalam menjalin hubungan.

Di tengah kesibukkannya belajar untuk ujian nasional dan seleksi masuk universitas, dia harus menerima kenyataan kalau kedua orang tuanya bercerai. Alasannya? Dia tidak pernah tahu. Keduanya bercerai, lalu berpisah secara alami. Setiap Via bertanya pada Ibu, beliau selalu bungkam. Nama Ayah bahkan tidak boleh lagi terucap jika tidak ingin melihat Ibu berderai air mata, terisak sambil berteriak histeris hingga tidak jarang melukai tubuhnya.

Ayahnya? Dia sendiri tidak tahu keberadaan Ayah setelah pengadilan mengabulkan permohonan talak Ayah terhadap Ibu. Setelah bercerai, Ayah menghilang tanpa kabar. Ayah bahkan tidak lagi bekerja sebagai direktur di perusahaan milik negara yang berkantor di Bandung. Kabarnya, Ayah dipindahtugaskan ke Jakarta. Setidaknya, itu satu-satunya informasi yang dia dapat dari Ibu. Karena jawaban itulah yang selalu dipakai Beliau setiap tetangga menanyakan keberadaan Ayah.

Tentunya, Via tidak berhenti mencari informasi sampai di situ. Dia berusaha membujuk Ibunya untuk membuka mulut soal keberadaan Ayah, tapi yang didapat selalu sama: 'Ibu nggak tahu dan nggak mau tahu keberadaan Ayah'. Setidaknya, dia tahu kalau Ayah masih hidup karena saldo tabungannya selalu bertambah. Setiap bulan, dia selalu mendapatkan uang dari Ayah hingga Via mendapat pekerjaan tetap. Via, yang kerap merindukan Ayah, selalu mencoba menghubungi beliau. Namun Ayah tidak pernah mengangkat telepon atau membalas pesan darinya.

Leo juga tidak membantu. Dia memilih untuk tinggal terpisah sampai lulus kuliah begitu perceraian orang tuanya sah. Via juga tidak mendapatkan jawaban dari kakaknya, yang kembali melempar pertanyaan Via untuk dijawab Ibu dengan emosi meledak-ledak. Jelas sekali bahwa Leo sangat kecewa dengan perceraian kedua orang tuanya. Belum lagi, alasan sesungguhnya yang membuat mereka sepakat untuk berpisah tidak pernah terungkap. Itu yang membuat Leo geram.

Di tengah kebingungan Via akan hubungan orang tuanya, Ibu memutuskan kembali ke kampung halamannya, Yogyakarta. Tanpa berdiskusi, Ibu memutuskan untuk pergi selamanya dari kota yang menjadi rumah keduanya. Tempat kesukaannya yang berakhir sebagai tempat yang memberinya mimpi buruk. Sejak hari itu, kehidupan Via tidak lagi sama.

Via sendiri bertahan di kota kelahirannya, Bandung, dengan hidup sendirian. Ibu tidak pernah datang untuk menengoknya sama sekali sejak pergi dari Bandung. Via berhenti mengharapkan sosok Ayah, yang tidak pernah membalas pesan maupun mengangkat telepon darinya. Bahkan wisuda sarjana dan serangkaian prosesi wisuda lainnya, Via hanya ditemani Leo dan Dimas, kekasihnya, serta para sahabat yang telah menemaninya sejak sekolah.

Tentunya, dia tidak melupakan sahabat-sahabatnya yang setia menemani hari-harinya di Bandung. Para sahabat yang telah bersamanya sejak SMP, bahkan SD, hingga hari ini. Detik ini. Via memang tidak pernah secara gamblang mengatakan masalah pribadinya di hadapan mereka. Namun para sahabat, termasuk Azle yang pernah menjadi mantannya, sepertinya sudah tahu dengan kondisi kedua orang tua Via yang sebenarnya. Mereka saja yang tidak ingin memperjelas. Toh semuanya sudah terlihat sangat jelas, sejak Via hanya ditemani kakaknya ketika kelulusan SMA dan wisuda sarjana.

Entah apa jadinya dia tanpa dukungan kakak, sahabat, dan pacar. Mungkin, dia tidak akan melangkah sejauh ini. Dia belum tentu bisa bertahan sejauh ini.

Dia ingin menjaga semua itu tetap di sisinya. Dia tidak ingin kehilangan lagi. Apalagi kehilangan Dimas, kekasih yang selalu berada di sisinya selama bertahun-tahun.

Karena orang-orang itulah yang melengkapi hidupnya. Mereka yang membuat seorang Livia Octavira masih hidup dengan sempurna.

(Bersambung...)

Ada komentar barang kali? Monggo...

FLAW(LESS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang