6

4.4K 595 2
                                    

Seperti biasa, selamat membaca :)

Hari-hari di kantor tetap berjalan seperti biasa. Hubungan boleh turun kelas, tapi kebersamaannya dengan Dimas sebagai rekan kerja tetap sama. Tidak ada yang berubah sejak Via dan Dimas resmi memutuskan hubungan yang menggantung.

Ada untungnya juga merahasiakan hubungannya dari staf bawah. Awalnya, Dimas ingin seluruh staf mengetahui hubungannya dengan Via tidak sekadar rekan kerja, melainkan calon pasangan hidup. Untungnya, Via menahan keinginan Dimas dengan dalih tidak ingin membuat heboh para staf. Via dapat meyakinkan Dimas kalau hubungan mereka tidak sepatutnya diumbar heboh. Cukup para jajaran eksekutif, teman-teman dekat Dimas yang ikut membangun bisnis SmallHelp, yang mengetahui hubungan lama mereka.

Begitu hubungan mereka selesai, Via meminta Dimas agar dia mengurus teman-teman Dimas untuk tidak mengumbar pupusnya hubungan mereka. Via juga tidak terusik dengan gosip-gosip murahan yang mengancam produktivitasnya sebagai konsultan bisnis kecil yang handal. Dalam tiga bulan ini, Via menjalani aktivitasnya secara normal.

Konsultan bertangan besi dari SmallHelp. Itulah julukan klien yang pernah menjadi mitra untuk tim konsultan SmallHelp. Via bertugas sebagai team leader konsultan khusus usaha kecil yang mengalami masalah dengan skala di atas 5 alias butuh pertolongan untuk tetap survive.

"Pagi, Mbak Livia."

Paginya hari ini dimulai dengan mendengar sapaan dari para junior yang telah tiba di kantor lebih dulu. Via membalas dengan senyum simpul dan anggukan kepala. Ia melangkah ke salah satu sekat yang menjadi kantornya selama satu tahun terakhir. Ruang kerjanya dengan tim kecil yang kerap berganti anggota.

"Pagi, Mbak Livia," sapa salah satu anggota tim Via yang telah bertahan selama delapan bulan, Sasi. Dia kembali sibuk memperhatikan layar laptop setelah menyapa Via. 

"Mbak, email saya udah dibaca?" Pertanyaan itu datang dari anggota baru tim Via, Revan. Dia baru saja lulus dari universitas bergengsi, jurusan bisnis manajemen kelas internasional. "Analisis saya soal ekspansi bisnis FrankFood. Hasilnya--"

Setelah meletakkan barang bawaan, Via menatap Revan dengan serius.

"Are you kidding me, smart ass? Kerjaan kamu masih bikin mata sakit. Ulang lagi sampai benar." Komentar Via, pedas. Revan menundukkan kepalanya, lesu.

Belum selesai, Via kembali menambahkan, "Jangan lupa review kerjaan kamu sama Sasi sebelum diserahkan. Jangan mentang-mentang kamu pinter, trus nggak mau share sama Sasi. Gitu-gitu dia senior kamu di tim ini. Understood?"

Jawaban sinis Via membuat anak baru itu menundukkan kepala lebih dalam lagi. Matanya kembali sibuk memperhatikan layar laptop dalam diam. Sasi hanya mengumbar senyum tipis ke arah Via sebelum kembali larut dalam pekerjaannya.

"Mbak Livia, Mas Oji barusan nanyain Mbak." Sahut seorang anggota timnya, yang baru menyelesaikan panggilan telepon, Haifa. Dia juga salah satu fresh graduate dari universitas bergengsi, jurusan teknik industri. "Mas Oji bilang meeting di ruang rapat general, lima belas menit lagi."

"Oke." Via langsung mempersiapkan barang-barangnya. Sebelum meninggalkan ruangan, dia kembali menoleh ke arah Haifa.

"Wait. Haifa, have you done your jobs?"

Haifa sempat terdiam sebelum akhirnya mengangguk. "U... udah kok."

"Are you sure? Mana laporan kamu minggu ini? Kenapa belum saya terima?"

"Err... itu..." Haifa tampak ragu menjawab pertanyaan Via.

"Trus, mana Rafi? Kok dia belum dateng?" Tanya Via tidak sabaran, menyebut anggota timnya yang belum terlihat batang hidungnya. Staf yang dulunya junior Via di jurusan Arsitektur itu masih belum meletakkan barang-barang pribadinya di meja.

FLAW(LESS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang